• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: Mia Haryono

Sebuah Cerita di Suatu Sore

21 Saturday Jul 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerita cinta, cerpen, fiksi, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Setelah tak pernah lagi berbicara hampir 6 bulan lamanya, entah bagaimana dan apa yang membawa aku dan dia kembali duduk bersama, berdampingan.

Seperti saat ini, sore hari di sudut kantin kantor. Sebuah kedai makan yang biasanya dipenuhi para karyawan, karena letaknya yang dekat gedung perkantoran. Di kantin itu juga tempat aku dan dia biasa bercengkerama sambil menikmati menu sarapan pagi.

Dulu.

Saat masih tak ada jarak di antara kami.

Kini.

Dua jengkal jemari yang memisahkan posisi dudukku darinya menandakan hubungan kami yang sudah tidak lagi dekat.

Saat awalnya memasuki kantin ini bersamanya, aku hampir tidak percaya dengan yang terjadi. Ini gila. Dan sambil berdoa dalam hati, aku berharap tidak ada satupun yang mengenali kami.

Beberapa meja sudah terisi dengan pasangan pria dan wanita. Ada yang sedang tertawa lepas berdua, ada yang sedang berfoto berdua, dan ada juga yang terlihat sedang bertengkar. Namun setelah melewati meja-meja tersebut, aku tersadar bahwa pasangan seperti yang kulihat tadi tidak ada. Hanyalah meja-meja tanpa pengunjung. Kosong.

Rupanya penglihatanku tadi adalah fatamorgana. Bayangan pasangan-pasangan itu sebenarnya pengalaman aku bersamanya, di berbagai meja di kantin ini.

Kami pernah bahagia bersama. Kami pernah konyol bersama. Kami pernah tersiksa bersama.

Karena kepalang terus berjalan melewati meja-meja kosong itu, akhirnya aku memilih tempat di sudut ruangan. Untungnya, kantin sore ini tidak banyak pengunjung. Dan kali ini dengan penglihatan yang nyata, kulihat meja di samping kanan ditempati dua pria yang sedang menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Meja di depan kami hanya tersisa gelas-gelas bekas diminum yang belum sempat dibersihkan.

Seharusnya sebagai dua anak manusia yang bertemu kembali setelah sekian lama, kami akan berpelukan lalu mengobrol penuh antusias. Tidak, kami hanya diam. Ada kecanggungan besar membatasi kami.

Ucapan pertama yang keluar dari mulutnya, saat kami sudah sama-sama nyaman dengan posisi duduk adalah panggilan kepada pelayan. Tanpa menanyakan dulu padaku, dia memesan dua gelas es teh manis. Kebiasaan kami dulu di kantin ini.

Setelah pelayan membawakan minuman dan berlalu, barulah kami benar-benar bisa memulai obrolan. Dan inilah kami berdua. Satu hal yang tidak pernah berubah. Sama-sama susah menghentikan percakapan. Terus dan terus terlena dalam perbincangan ringan.

Dan aku masih tidak dapat memercayai apa yang terjadi sore ini, mengingat pertengkaran hebat kami lima bulan silam. Pertengkaran yang berakhir dengan saling menangis, karena keputusan untuk harus saling menjauh.

Demi menghargai wanita yang sedang dekat dengannya, aku memutuskan keluar dari hidupnya. Aku tak sudi dianggap wanita kesepian yang masih mengejar mantan terkasihnya.

Jauh di lubuk hati kami, perpisahan sebagai sahabat jauh lebih menyakitkan. Tapi kami sama-sama tau, meski tidak bisa kembali dekat seperti dulu kami akan selalu menjadi sahabat di hati. Ditambah kenyataan kami yang berada dalam gedung yang sama untuk mencari nafkah, pertemuan mendadak memang tidak bisa dihindari. Selama lima bulan terakhir ini hubungan kami hanya sebatas tegur sapa. Tidak lebih. Tidak seperti saat ini.

Dia terus menambah batang rokoknya, tampak sangat menikmatinya. Kulirik jam di tangan kiriku, sudah hampir 50 menit kami lewati. Tidak terasa kami sudah terseret pada pembicaraan yang tak terarah. Namun, tak satupun dari kami yang menyinggung kehidupan cinta masing-masing.

Lagipula aku tak ingin mengetahuinya. Aku tak ingin menghancurkan suasana kebersamaan saat ini. Maka kubiarkan saja asumsi dia masih bersama wanita itu, agar perasaan aku dapat tetap murni bersahabat dengannya.

Sampai akhir perbincangan kami, aku masih belum dapat tenang karena was-was. Aku takut dia akan menanyakan kabar percintaanku. Sungguh aku malu mengaku padanya, bahwa sampai saat ini belum juga menemukan pengganti dirinya.

Setelah satu jam menghabiskan waktu di sudut kantin pun, kami akhirnya memutuskan menyudahi reuni ini. Waktu menunjukkan pukul 4 lebih 15 menit, sudah lewat seperempat jam dari jam pulang kantor kami.

Lalu kami berdua berjalan beriringan keluar dari kantin. Setiap langkahku dipenuhi dengan berbagai pikiran. Aku tau banyak yang sudah memperingatkanku, untuk tidak mengulang lagi kebodohan. Tapi satu hal yang tak bisa kupungkiri, semesta rupanya belum menghendaki aku sepenuhnya keluar dari hidupnya.

Setidaknya, sampai sore ini.

-The End-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Althaf

30 Saturday Jun 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 2 Comments

Tags

@myaharyono, Althaf, baby, cerita bayi, cerita pendek, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

30 Juni 2011.

Beep.

Sebuah broadcast message gue terima di blackberry gue.

“Alhamdulillah.” gue mengucapkan kata pujian kepada Tuhan enggak lama setelah membacanya.

“Oppie melahirkan.” Gue kemudian menyampaikan berita itu kepada pria yang sedang duduk di sebelah gue di kantin kantor.

“Laki-laki.” lanjut gue sebelum pria itu sempat bertanya. Fokusnya masih tertuju pada semangkuk bubur yang sedang disantapnya sebagai menu sarapan.

“Nanti pulang kerja langsung jenguk ya?” ajak gue.

“Jangan pulang kerja, nanti waktu kita enggak banyak. Minggu aja.” dia menawar ajakan gue.

“Udah pulang dari RS dong si Oppie. Ke rumah berarti ya jenguknya?” Dia mengangguk pelan.

Gue sebenarnya sangat-sangat enggak sabar untuk melihat bayinya Oppie. Gue sudah mengikuti perkembangannya selama dia masih ada di rahim sahabat gue itu. Tapi apa boleh buat, gue kan masih mengandalkan pria yang tampangnya lurus saja, meski mendengar kabar gembira ini.

Satu hal yang gue enggak suka dari pria ini adalah kurang excited terhadap seputar anak kecil atau bayi. Sangat-sangat bukan calon-suami-able.

Hari minggu siang, jadilah kami berdua pergi menjenguk Oppie dan bayinya seperti yang dia mau. Sebagai hadiah untuk keponakan tercinta ini, gue membawakannya sebuah boneka jerapah.

“Kamu kasih kado jerapah?” tanyanya sambil tertawa. “Mau didoktrin pelan-pelan supaya suka jerapah juga kayak kamu? Dia tertawa lepas.

Sebuah tinju gue daratkan di bahunya. Motor yang kami kendarai oleng. Hampir saja jantung gue lompat saking kagetnya.

“Udah jangan ketawa terus, bawa motornya pelan-pelan” suara gue naikkan tingkat volumenya agar bisa didengar mengalahkan kebisingan jalan raya.

Setelah hampir 45 menit menempuh perjalanan, kami sampai juga di rumah Oppie.
“Aku mau lihat keponakanku. Udah dikasih nama, Pi?” tanya gue dengan semangatnya.

“Udah tante. Tapi tante dan om cuci tangan dulu sana sebelum liat bayi ganteng.” kami berdua mengikuti instruksi Oppie.

Sementara pria yang sudah berbaik hati mengantarkan gue ini duduk istirahat, gue langsung menghamburkan diri ke kamar tempat si bayi berada.

Mungil dan merah, dalam lilitan kain. Bayi itu mengulet-ulet enggak mau diam sambil memainkan liur di dalam mulutnya.

Subhanallah.

“Namanya Khalafi Shafwan Althaf. Artinya anak laki-laki yang baik, berhati lembut dan penuh belas kasih.” jelas sahabat gue itu.

“Amiin.” jawab gue. “Namanya seindah orangnya. Aku boleh cium?” gue kemudian memasang muka memelas.

“Kamu gendong juga. Biar nular cepat nikah terus punya bayi sendiri.”

“Takut.”

“Harus coba sayang. Kamu tuh sama saja sama laki kamu, takut anak kecil. Bawa Althaf ke dia, biar dia suka terus jadi pingin cepet-cepet deh.” si Oppie mengikik pelan.

Iya gue takut gendong bayi. Gue takut bayinya menangis. Kalau sudah begitu gue akan dipenuhi rasa bersalah. Apakah gue melukainya sampai menangis? Atau malah bayi itu menangis karena menolak gue?

Bayi ganteng ini terus menatap gue. Kedua tangan mungilnya dikepak-kepakan di kasur. Kemudian mengarahkannya ke gue. Seolah si bayi ingin digendong.

Oppie kemudian mengangkat Althaf.

“Ayo, siapkan posisi gendong. Hati-hati ya.”

Gue menahan nafas.

Beberapa detik kemudian, bayi ini sudah ada didalam gendongan gue.

Diluar dugaan, bayi ini enggak menangis. Malah masih menatap gue, tersenyum. Gue angkat sedikit tubuh mungilnya lalu gue kecup kening dan pipinya.

Bayi ini tampak kegirangan. Boys will be boys.

Gue melangkahkan kaki keluar dari kamar si bayi yang penuh dengan boneka dan hiasan lucu. Jerapah dari gue sudah gue berikan tadi waktu datang. Dan sekarang si jerapah bergabung dengan boneka-boneka lain milik Althaf.

Gue hendak mengantarkan bayi laki-laki ini ke pria yang sedang duduk di ruang tamu, berbincang dengan Ayahnya si bayi.

“Ini loh bayi gantengnya. Namanya Althaf.” gue kemudian duduk di samping pria itu.

“Halo Althaf.” Sudah begitu saja kata yang keluar dari bibir pria itu. Benar-benar kaku menghadapi bayi.

Bayi Althaf ini juga menatap si pria. Tangannya malah mencoba meraih muka si pria.

“Itu Al sepertinya pingin interaksi sama kamu. Jangan takut.” kata Oppie pada pria itu.

Kemudian pria itu memegang tangan si mungil lalu menggoyangkannya. Si mungil tertawa, dia senang sepertinya.

Si pria juga tertawa. “Eh dia ketawa. Lucu banget.” ucapnya. Lalu tangan yang satunya mengelus rambut Althaf. “Rambutnya banyak ya.”

“Hadeuh, ngelusnya kaku banget. Kayak kamu elus rambut aku aja, sayang.” goda gue.

Dia nyengir lebar.

Lima belas menit berikutnya, si pria itu malah enggak ada berhentinya bermain dengan si bayi. Sampai waktunya si bayi minum ASI.

Kami pun pamit pulang.

Di perjalanan pulang, tiba-tiba pria itu bersuara. Memecahkan keheningan di antara kami.

“Kita nikah yuk. Aku ingin punya kayak Al juga.”

Lamaran macam apa ini? Di motor dan di tengah kemacetan. Begitu tiba-tiba dan tak terduga. Saking bahagia mendengarnya sampai-sampai mau jatuh dari motor rasanya.

Sungguh Althaf rupanya seketika membawa perubahan besar pada pria yang sedang membonceng gue ini. Si pria yang selama ini mengaku belum siap menikah, seperti mukjizat, setelah melihat Althaf keraguan dan ketakutannya menghilang.

Dia ingin segera menjadi Ayah. Sangat mengejutkan.

Semengejutkan kecelakaan yang merenggut nyawa pria itu tiga hari setelahnya.

***

Satu tahun kemudian.

“Selamat ulang tahun, Althaf sayang.” Gue menyerang bocah ganteng ini dengan ciuman bertubi-tubi.

Waktu sangat cepat berlalu. Rasanya baru kemarin Al dilahirkan, lalu gue dan dia menjenguknya. Ah…hati ini terasa sesak karena memikirkannya.

Gue masih belum dapat melupakannya. Sejak kepergiannya, satu-satunya yang dapat menghibur gue adalah Althaf. Gue rutin ke rumah Oppie hanya untuk bermain dengan Althaf, bayi yang sangat disayangi pria itu. Bayi yang telah membuatnya memutuskan untuk siap berumah tangga. Gue merasa berhutang budi pada Althaf.

Meski akhirnya kenyataan berjalan enggak seperti harapan.

Dengan bermain bersama Althaf gue merasakan kehadirannya. Sangat kental terasa. Seperti kami sedang tertawa-tawa bertiga.

Gue tau dia masih ada bersama kami.

“Al sayang, mari kita doakan Om baik-baik ya di sana. Dia pasti sudah bahagia di tempat dimana dia dicintai sekarang.”

Bocah itu menatap gue dengan matanya yang sipit. Makin lama seperti bocah korea deh.

Lalu Al tertawa sendiri. Sangat menggemaskan. Gue serbu si asem ini lagi dengan kelitikan di perut. Al makin senang.

“Al sayang, doakan tante cepat dapat pengganti Om ya?”

Al menatap gue dengan bengong. Lalu menganggukkan kepalanya dan tertawa lagi sambil teriak kecil.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Without You

24 Sunday Jun 2012

Posted by myaharyono in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerbung, cerita cinta, Mia Haryono, sahabat, without you

Prepared by: MH
Reviewed by: GP 

“Cantik.” puji gue kepada wanita yang sedang duduk di balik setir. Gue sendiri duduk di sampingnya.

“Mulai deh ngegombal.” jawabnya sambil mengibaskan rambut panjangnya dan tersipu.

Sore ini kami berniat menghabiskan malam minggu dengan menonton bioskop. Seperti biasanya kencan-kencan kami, gue awalnya datang ke rumah mewah milik orang tuanya. Lalu menitipkan motor butut gue di halaman parkir yang luasnya mengalahkan rumah keluarga gue. Wanita ini enggak mau gue bonceng, katanya panas lah, debu lah.

Beda dengannya. Dia enggak keberatan meninggalkan Cherry kesayangannya demi gue bonceng. Gue pernah iseng menanyakan apa dia enggak takut rambutnya kusut keseringan memakai helm gue. Jawabnya jujur sekali. “Rambut jadi lepek sih, tapi enggak sebanding dengan hepinya aku bisa meluk kamu.” Gue tiba-tiba tertawa sendiri mengingatnya.

“Mikirin apa sih? Kok jadi ketawa sendiri gitu.” selidik wanita ini. Dengan cepat  gue harus memutar otak agar dapat memberikan jawaban yang masuk akal.

“Tadi inget Didi di rumah, lucu banget. Ngebangunin aku tidur dengan nibanin. Gendut gitu kan badannya. Haha.” akhirnya gue menceritakan tentang Didi keponakan gue.

“Jadinya nonton di FX aja nih?” tanyanya kemudian, enggak terlalu excited dengan cerita gue tentang Didi.

Iya, kali ini gue ingin menonton di FX. Jauh dari kebiasaan gue dan wanita ini yang sering menonton bioskop di Citos.

“FX aja, bosen Citos.” tegas gue.

Maaf sayang, gue harus bohong. Gue ingin bernostalgia menonton di FX. Tempat gue dan dia menonton. Bioskop favoritnya. Dia menyukai bioskop itu dengan alasan yang sederhana. Karena pegangan samping kursinya bisa diangkat. Sehingga enggak ada lagi jarak di antara kami pada saat menonton. Dia kemudian akan bergelayut manja di bahu gue. Menyelipkan lengannya di lengan gue. Tindakannya itu membuat gue enggak bisa konsentrasi menonton. Dan susah bernapas. If you know what I mean.

Sebenarnya bukan bagian itu yang berkesan. Sungguh. Tapi ada kenangan lain bersamanya di bioskop ini. Gue dan dia pernah bertengkar hebat. Saling diam selama seminggu. Dan kami baikan di bioskop ini.

Sebelum bertengkar kami memang berencana akan menonton Harry Potter bagian terakhir. Tapi gue sudah enggak kepikiran lagi untuk menonton sama dia. Sebenarnya gue yang salah waktu itu, dia yang marah besar sama gue. Tapi gue gengsi juga berbaikan. Sampai sabtu pagi, ketika itu, gue menerima BBM darinya.

Aku tau kita lagi marahan. Tapi aku punya 2 tiket Harpot nih. Kan kamu janji mau nemenin aku nonton. Dateng ya di FX jam 7 malam nanti. Kalo kamu enggak dateng, aku nonton sendiri juga gpp sih…

Pesan darinya itu gue biarkan berstatus read. Gue tau dia pasti gondok setengah mati, karena pesannya sudah dibaca tapi enggak dibalas. Biasanya dia akan terus BBM gue, memancing pertengkaran. Tipikal wanita pada umumnya. Dan gue akan tetap diam mengacuhkannya. Tapi saat itu dia enggak menyerang gue. Gue tau dia pasti sedih. Itulah yang menyebabkan gue memutuskan datang tiba-tiba menyusulnya ke FX.

“Aku tau kamu pasti datang” katanya setelah bertemu dengan gue. Dia tersenyum.

Senyum yang gue suka, sejak pertama kali mengenalnya. Lesung di pipi kiri itu…ah bagaimana mungkin gue bisa melupakannya.

Dan sejak dia menghilang dari hidup gue, enggak ada lagi pertengkaran-pertengkaran konyol atau sekedar saling diam. Legakah gue? Jujur, enggak. Gue merindukannya. Dulu gue tersiksa karena selalu salah di matanya yang berujung dengan pertengkaran. Sekarang gue tersiksa karena tanpanya, enggak ada pertengkaran lagi yang berujung manis saat berbaikan. Berujung dengan senyumnya yang mendamaikan itu.

Tanpa dia, gue merasa…biasa saja.

Ya, sedikit aneh. Enggak sedikit. Banyak, terlebih dengan staus kami sebagai orang asing saat ini.

Stranger after lover.

Gue sempat membaca Timeline-nya yang menuliskan status itu. Gue masih bingung, katanya dia sayang banget sama gue.

Karena gue tau dia sangat menyayangi gue itulah, mungkin gue jadi memperlakukannya dengan enggak baik. Gue itu egois, hanya memikirkan diri sendiri. Semerajuk apapun dia meminta bantuan gue, kalau gue enggak mau ya enggak. Dia akan marah dan mendiami gue. Lalu gue akan membujuknya untuk enggak marah lagi? Big No. Marahnya akan reda dengan sendirinya, seperti caranya mengajak gue nonton itu lah, salah satu siasatnya untuk gencatan senjata.

Intinya, gue selalu menang dalam setiap pertengkaran dengannya. Tapi sekarang…apa yang bisa gue menangkan jika bahkan enggak ada hal yang dipertentangkan.

Bersama wanita yang masih serius menyetir di samping gue ini, entah kenapa gue seperti enggak menjadi diri gue sendiri. Gue sangat menjaga image. Gue berusaha menunjukkan hal-hal yang baik saja. Wanita ini engak seperti dia yang bisa menerima gue apa adanya. Herannya, gue menurut saja diperintah. Mungkin karena gue enggak mau kehilangan wanita ini juga. Mendapatkan wanita cantik itu susah. Dan kebanggaan tersendiri mendampinginya kemana-mana.

Satu hal yang enggak pernah gue duga, mendapatkan wanita ini harus gue bayar dengan kehilangan sahabat terbaik gue. Wanita itu.

And i hate to admit that i am lost without her.

“Sayang, sudah sampai nih. Kamu ngelamunin apa sih dari tadi?” gue dikagetkan dengan suara yang menyadarkan gue bahwa kami sudah berada di parkiran gedung ini.

“Mikirin mau makan apa sebelum nonton. Makanan favorit kamu aja ya, mie goreng. Inget kan aku sama kesukaanmu? Yuk ah turun.” kilah gue. Dia langsung tersenyum. Wanita ini begitu mudah disanjung. Jadi enggak akan ngambek berlama-lama. Tidak seperti….

Damn!

     I am lost, I am vain
     I will never be the same without you
     Without you
     I can’t win, I can’t reign
     I will never winthis game without you
     Without you
     I won’t run, I won’t fly
     I will never make it by without you
     Without you
     I can’t rest, I can’t fight
     All I need is you and I, without you 
     [David Gueta ft Usher]

 -to be continued-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Rumah

09 Saturday Jun 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 2 Comments

Tags

@myaharyono, cinta, Mia Haryono, nyaman, Rumah

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Nama saya Sani. Wanita berusia 30 tahun. Saya sudah hampir 8 tahun mengadu nasib di Jakarta. Keluarga saya tinggal di kota kecil di daerah Jawa Tengah, tepatnya di Boyolali. Kesibukan bekerja dan berbagai aktifitas membuat saya enggak punya jadwal rutin untuk pulang mengunjungi orang tua. Sebenarnya itu hanya alasan semata saja. Sudah tiga tahun terakhir ini saya memang sengaja menghindar pulang ke rumah.

Kadang saya enggak tega mendengar suara ibu di telepon yang mengiba menanyakan keadaan si sulungnya ini. Di setiap desahan napasnya menyiratkan kerinduan yang dalam.

“Minggu depan ono libur kejepit. Kowe mulih kan, Ndok?” tanya ibu minggu lalu.

“Sani..hmm..sudah ada jadwal motret sama klub fotografi di Ujung Genteng, Bu. Iya, enggak bisa di-resechedule lagi.” jawab saya berbohong. Terpaksa.

“Kalau gitu ngesok-ngesok motretnya ke kampung kita wae, biar kowe bisa sekalian mulih.” sungut ibu.

Setelah menutup telepon ibu, lalu saya memesan tiket kereta untuk pulang ke kampung halaman. Sekarang di sini lah saya berdiri. Pukul 5 lewat 30 menit di stasiun kereta api. Pinggang sudah enggak karuan rasanya karena berjam-jam duduk. Salah satu alasan mengapa saya malas pulang kampung. Belum lagi hiruk pikuk di dalam stasiun tua yang kotor ini sangat membuat saya alergi. Setiap mata yang lalu lalang tergesa di sekitar saya terlihat lelah. Beberapa di antara yang lewat bahkan ada yang

Home

sempat melirik sinis, seolah berkata “Masih ingat rumah?”.

Cuekin. Cuekin. Perasaan kamu aja ini, San.

Dari stasiun saya harus naik angkutan umum lagi. Kurang lebih lima belas menit lagi saya akan sampai ke rumah. Saat itu fajar seharusnya sudah terbit.

Rumah. Saya mencoba mendefinisikan kembali apa itu rumah. Rumah adalah tempat di mana kita merasa nyaman di dalamnya. Apakah rumah kedua orang tua saya disebut rumah?

Tidak.

Itulah alasan utama saya jarang kembali pulang. Rumah ibu bapak adalah sekedar tempat saya berasal, tapi sudah lama tidak memberikan kenyamanan lagi di dalamnya.

Bukan, bukan karena rumahnya yang sederhana dan sempit. Keluarga saya bukan keluarga berada. Bapak hanya seorang PNS dengan penghasilan yang memaksa kami harus hidup ala kadarnya. Saya dulu pernah mencintai rumah tua kami. Dulu, sebelum saya memasuki usia yang dianggap perawan tua oleh tetangga sekitar. Gunjingan mereka yang memandang masih sendiri di usia 30 adalah tanda enggak laku-laku, sungguh menyakitkan buat saya. Dan omongan sekitar itulah yang membawa pengaruh buruk bagi ibu yang akhirnya selalu mengomel tiap kali saya pulang.

Mereka pikir saya tidak tertekan? Tolong jangan buat saya tambah tertekan.

Pikiran saya terhenti oleh sebuah mini bus yang datang dari arah selatan. Angkutan dengan nomor trayek yang akan membawa saya menuju kampung halaman. Saya segera berdiri dari tempat duduk di halte dekat stasiun ini. Tanpa perlu melambaikan tangan lagi, kendaraan itu sudah berhenti di depan saya. Masih ada tempat kosong, beruntung sekali saya tidak perlu terjebak di dalam angkutan yang mengetem menunggu peumpang sampai penuh.

Seandainya penantian saya terhadap jodoh secepat saya menunggu angkutan umum di pagi ini.

Saya butuh ketenangan di tempat asal saya, bukan petuah-petuah yang seolah menuding negatif atas pilihan hidup yang saya jalani. Tiga tahun yang lalu, saya memilih untuk menolak dijodohkan.

Penolakan saya terhadap perjodohan yang sudah diatur ibu dengan salah seorang temannya. Saya saat itu punya ego yang tinggi. Saya enggak mau dijodohkan, saya mau mencari sendiri. Saya mau menikahi pilihan saya sendiri.

“Mana buktinya? Katanya mau pilihan kowe dewe? Lah wuis bertahun-tahun ndak juga ono yang dikenalin ke ibu toh, Ndok.” Saya teringat omelan ibu sewaktu saya pulang lebaran tahun lalu. Ibu lalu mulai menyalahkan saya lagi karena tidak menuruti perintahnya.

Ah ibu, haruskah Sani mengorbankan perasaan sendiri untuk kebahagiaan ibu.

Saya sudah terlalu sering tidak mengindahkan saran ibu bapak. Menolak dikenalkan sana-sini. Apakah sudah saatnya bagi saya untuk mengalahkan ego seorang anak kali ini? Untuk kebahagian kedua orang tua yang sangat menginginkan melihat anaknya menikah, mumpung masih ada waktu di dunia ini.

Ya ampun sungguh menyakitkan. Tahukah para orang tua, bahwa belum menikah itu juga menjadi PR terbesar seorang anak kepada orang tuanya. Karena ternyata sukses saja belum cukup. Untuk sebagian mereka masih malah ada yang merasa berdosa karena terlambat menikahkan anaknya. Dan sungguh bukan keinginanku untuk belum menikah di usia 30 ini. Seseorang berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Ini hidup saya, saya lah yang menjalaninya. Tapi kebahagiaan yang saya jalani ternyata menyakiti kedua orang tua saya. Dan apakah ada yang lebih menyakitkan dari melihat ibumu menangis karenamu?

Pertigaan jalan memasuki kawasan kampung saya sudah terlihat. Saya segera menenteng tas bawaan dan memeriksanya kembali agar jangan ada yang tertinggal.

“Pertigaan depan, Pak.” Kemudian saya turun dari kendaraan berasap tebal ini dan menyerahkan uang pas sebagai ongkos naik angkutan. Lalu kendaraan itu berlalu meninggalkan saya yang segera menutupi hidung akibat polusi. Jalanan masih kosong sehingga saya bisa langsung menyeberanginya.

Saya menyusuri gank setapak yang menuju rumah ibu bapak. Kalau di kota besar pagi buta begini mungkin penduduknya masih tertidur pulas, ditambah lagi ini hari libur. Di kampung sudah banyak yang beraktivitas. Seperti ibu-ibu yang sedang metani (mencabut rambut putih) di halaman rumahnya.

“Eh nak Sani. Kowe mulih. Mampir sek.” salah seorang tetangga menyapa. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya tau itu hanya basa-basi. Tapi  saya senang, karena keramahan seperti ini sudah jarang sekali ditemui di kota saya tinggal sekarang.

Beberapa langkah lagi saya segera sampai rumah. Sedikit terhalang anak-anak kecil yang bermain sambil berlarian.

“Eh berhenti, berhenti dulu. Nih, Mbak Sani kasih duit buat jajan ya. Bagi-bagi ya.” Lalu saya membagikan beberapa lembar uang kertas. Jumlahnya bahkan enggak cukup untuk membeli semangkok bakso di Jakarta, tapi sudah membuat bocah-bocah kampung ini girang. Membuat hati saya hangat melihat keceriaan mereka.

“Assalammualaikum, Ibu. Sani mulih, Bu.” Suara saya yang tiba-tiba muncul di pintu rumah membuat ibu terkaget. Lalu berlarian memeluk putrinya yang pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu ini.

Ada genangan di mata ibu. Ada cinta mengambang di sana. Lalu ada Bapak yang juga memandang sendu penuh rindu. Dan adik laki-laki remaja semata wayang yang sudah beranjak dewasa. Sudah pantas menyandang predikat pria penakluk gadis remaja sekarang.

Mereka bertiga memeluk saya erat. Menciumi kening saya bertubi-tubi. Saya layangkan lagi pandangan kepada ketiganya satu-persatu. Tidak ada kekecewaan akan sikap saya yang seolah sudah melupakan mereka selama ini. Saya mengerti akhirnya, selama ini saya hanya takut mereka marah. Saya hanya menghindari omongan miring. Saya lari menghindari masalah. Dan ketiga orang terkasih ini enggak pernah marah sedikitpun pada saya.

Dan seketika, saya pun menyadari definisi arti rumah yang sebenarnya.

Rumah adalah tempat di mana ada orang yang mencintai dan menantimu untuk pulang.

Thanks, God. I’m home.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Somebody That I Used to Know

17 Thursday May 2012

Posted by myaharyono in Estafet Working-Paper

≈ 2 Comments

Tags

@myaharyono, cerbung, cerpen, cinta, Mia Haryono, stranger

Prepared by: MH
Reviewed by: GP 

Dengan terburu-buru gue meninggalkan parkiran motor, karena waktu menunjukkan 10 menit lewat dari jam masuk kerja gue. Baru beberapa langkah kemudian gue tersadar masih mengenakan jaket merah kesayangan. Lalu gue pun kembali ke tempat motor diparkir untuk meninggalkan jaket ini.

SRREEEET.

Gue buka perlahan resleting jaket yang mengeluarkan suara seperti decitan. Membuat pikiran gue tiba-tiba tertuju pada sosok seseorang. Wanita yang setahun terakhir ini pernah mengisi hari-hari gue. Dia selalu menggoda tiap kali gue menboncengnya, dengan bilang jaket gue ini persis jaket tukang ojek. Dia semakin senang melihat mulut manyun gue, yang ngga terima disamakan dengan abang ojek. Tapi kadang gue juga membalas godaannya. Suatu waktu gue pernah mengantarnya pulang. Ketika sampai depan rumahnya, gue iseng menagih tarif bayaran. “Lima belas ribu aja, neng”. Tapi yang gue terima adalah sebuah tinju di lengan gue.

Melalui kaca spion motor, gue mendapati bibir gue menyunggingkan lengkungan senyuman. Jokes ojek kami berdua memang lucu sampai-sampai gue masih bisa tersenyum mengingatnya.

Jaket yang sudah gue lepaskan kemudian gue simpan di bawah jok motor dengan asal. Gue seperti masih mendengar suara wanita itu yang selalu mengkritik cara gue melipat jaket. Dan seperti biasa, gue hanya melenggang meninggalkannya yang masih ngomel-ngomel. Gue memang ngga pernah mau menuruti kata-katanya. Dan membuatnya kesal sudah menjadi hobi gue. Shit, kenapa gue jadi mengenang dia?

Faktanya tidak mudah melupakan kebiasaan yang pernah dijalani bersamanya. Jangan salah, meski gue lah yang menolak cintanya sampai dia memutuskan tali persahabatan dengan gue. Tapi bukan berarti gue bisa tenang. Gue akui sangat gelisah sebulan ini. Tidak terasa sudah berlalu empat minggu sejak kejadian di taman malam itu. Peristiwa malam itu terjadi begitu cepat. Di malam hari gue melihatnya menangis memohon cinta gue, keesokan harinya gue mendapati dia sudah memutuskan semua komunikasi dengan gue. Mengapa? Tidakkah gue berhak diberi penjelasan?

Setiap harinya gue berharap dapat bertemu dengannya di lingkungan kantor. Kami memang berada di gedung kantor yang sama. Tapi semesta sepertinya berkonspirasi dengannya, agar tidak mengijinkannya bertemu gue secara tidak sengaja. Gue ingin sekali bertemu dengannya, melihatnya. Bukan, bukan karena kangen. Mana mungkin? Gue yang tidak menginginkannya, bukan? Tegas gue dalam hati. Gue selalu berusaha meyakinkan diri, kalau memang gue tidak seharusnya memikirkan dia. Apalagi sampai ingin bertemu, karena gue tidak punya perasaan apapun padanya.

Gue melanjutkan langkah menuju gedung kantor dengan setengah berlari. Tampaknya banyak yang terlambat senin pagi ini sama halnya dengan gue. Antrean masuk gedung agak lebih panjang dari biasanya. Pak sekuriti memeriksa sau per satu yang akan memasui gedung sudah seperti di bandara saja. Setelah akhirnya berhasil melewati pintu detector gue kembali tergesa menuju lift.

DEG.

Di antara kerumunan orang-orang yang menunggu lift, sepertinya ada wanita yang mirip sekali dengan dia. Usaha gue mempercepat langkah kaki malah tampak seperti adegan slow motion. Benar kah itu dia?

Berdiri anggun dengan balutan baju merah muda. Tampak cerah. Tidak seharusnya wanita yang sedang patah hati berpenampilan seperti itu. Seharusnya dia terlihat memperihatinkan, bukan mengagumkan begini.

Lima langkah lagi untuk sampai lebih dekat padanya. Dia terlihat sibuk dengan blackberry putihnya. Apakah dia sedang berkirim BBM dengan seseorang? Secepat itu dia mendapatkan pengganti gue?

Lalu mengapa gue harus peduli?

Satu langkah lagi. Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah gue. Dia terlihat sedikit terkejut dan dengan cepat kembali membuang wajahnya dari gue. Dia bahkan tidak menggubris senyuman yang gue lemparkan padanya.

Astaga. Angkuh sekali wanita ini. Apakah dia sekarang sudah benar-benar tidak menganggap gue ada? Dia pura-pura tidak mengenal gue? Tidak cukup memutuskan kontak dengan gue, masih perlu dia memperlakukan gue seperti orang asing?

TING.

Pintu lift yang kami tunggu terbuka. Kami berbarengan memasuki lift tersebut. Kami berdua terdiam. Sangat tidak nyaman. Rasanya ingin sekali gue menariknya lalu mengeluarkan jeritan hati gue selama ini. Jadi begini perilakunya yang pernah mengatakan sangat menyayangi gue? Jadi begini caranya membalas penolakan gue? Membalas sakit hatinya dengan memberikan sakit yang sama pada hati gue?

Dia menunduk. Gue yang berdiri selangkah di belakangnya masih bisa memperhatikannya dari ujung rambut sampai kaki. Tubuh yang pernah memeluk gue dengan manjanya, kini seperti magnet dengan kutub yang sama sehingga memberikan tolakan kuat atas keberadaan gue.

TING.

Setelah dua menit lift bergerak akhirnya pintu terbuka. Dia dan juga beberapa orang melangkah ke luar dari lift. Dua menit terlama dalam hidup gue.

Please, tengok gue. Please. Mohon gue dalam hati. Gue masih berharap ada sedikit saja iba yang dia berikan pada pria yang sudah dia buat tercecer harga dirinya.

Dia tidak menengok. Dia terus berjalan memunggungi gue sampai pintu lift kembali menutup dan melanjutkan perjalanannya ke lantai atas.

Seperti gue yang harus melanjutkan perjalanan hidup tanpanya.

Per detik ini, hari-hari gue akan dilewati dengan kenyataan bahwa wanita itu kini hanya menjadi seseorang yang pernah gue kenal.

Now and then I think of when we were together
Like when you said you felt so happy you could die
Told myself that you were right for me
But felt so lonely in your company
But that was love and it’s an ache I still remember

But you didn’t have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don’t even need your love
But you treat me like a stranger and I feel so rough
[Gotye]

(to be continued..)

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

  • gelaph's avatar
  • clients's avatar
  • myaharyono's avatar

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph's avatar gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients's avatar clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono's avatar myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

Tweets by myaharyono

Gelaph on Twitter

Tweets by gelaph

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Subscribe Subscribed
    • working-paper
    • Join 41 other subscribers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...
 

    %d