Tags

, , ,

Prepared by: GP
Reviewed by : MH

Sebuah Kisah Persahabatan Masa Kanak-kanak.
Terinspirasi dari lagu “Sahabat” yang dipopulerkan oleh Peterpan pada tahun 2003

Seekor kupu-kupu kuning terbang mengitari halaman rumah. Dengan mudahnya membuatku kagum, dan mau tak mau akhirnya ikut berlari sambil menggapaikan tangan ingin menangkapnya.

“Tita… Makan dulu sini. Habis itu tidur siang ya Sayang,” Mama melambaikan tangan dari depan pintu, memanggilku masuk ke dalam rumah.

Aku menggelengkan kepala, “Bentar lagi ah Ma”, dan kembali memusatkan perhatian penuh mengejar si kupu-kupu cantik.

“Kamu jangan main terus, nanti kecapekan. PR kamu apa hari ini?” Mama tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku, bertanya sambil mengelus rambutku.

Sambil melepaskan tangan Mama di rambut, aku mengeluh, “Aduh, Mamaaa. Iya, nanti aku kerjain. Aku mau main duluuu…”

Mama menghela napas panjang, “Oke kalau gitu. Lima menit lagi Mama panggil ya. “

“He-eh,” aku menjawab singkat dengan bola mata yang berputar mengikuti pergerakan si kupu-kupu.

Mama kembali masuk ke dalam rumah sehingga aku pun bisa berkonsentrasi penuh bermain dengan si kupu-kupu kuning.

Tiba-tiba saja, ia terbang keluar dari halaman rumah. Sungguh, aku tidak rela kalau dia sampai pergi. Setengah berlari aku mengejarnya. Dan terkikik geli ketika sayapnya bergesekan dengan telapak tanganku.

Tak jauh dari rumah, aku melihat Ina, teman bermainku sehari-hari. Ia tampak tertarik dengan kupu-kupu kuning yang sedang kujadikan target operasi.

“Ta, lagi ngejar kupu-kupu ya?” Tanyanya dengan wajah berbinar.

Sambil tertawa ringan, aku menganggukkan kepala.

“Ayo sini kita main mengejar kupu-kupu, Na.”

Beberapa menit kemudian, gelak tawa kami berdua memenuhi jalan setapak di belakang rumah. Orang-orang yang kebetulan melihat kami berdua hanya bisa tersenyum, mungkin teringat akan kenangan bahwa mereka pernah melakukan hal ini puluhan tahun lalu.

Siang ini tidak panas. Tampaknya matahari sedang tertidur di balik awan. Membuat aku dan Ina makin leluasa untuk terus berlarian mengejar si kupu-kupu. Kami terus berlari dan tertawa, sampai lupa waktu.

Saking asiknya mengejar kupu-kupu cantik, aku terlambat menyadari bahwa kami telah berada di pinggir sebuah sungai kecil.

Terlalu terlambat, bahkan. Karena aku tersadar bahwa jalan setapak tadi mengantarkan kami ke sungai ini setelah kakiku terpeleset di atas tanah licin di pinggirnya.

Terpeleset yang terlalu tiba-tiba, tidak diduga sama sekali, sehingga akhirnya…

BYUUUR!

Aku terjatuh ke sungai bahkan tanpa sempat menyadarinya.

“INAAA….! TOLOOOOONG….!”

Teriakan kencangku mengagetkan Ina. Mata besarnya menandakan bahwa ia bahkan tidak mengetahui bahwa aku telah terjatuh ke sungai.

Badan mungilku timbul tenggelam dipermainkan arus. Napasku mulai satu-satu, megap-megap layaknya ikan mas kehabisan air. Entah sudah berapa banyak air sungai terminum olehku.

Di tengah keputusasaan, tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang menarik bagian leher belakang kaosku. Ina yang melakukannya. Ia menarikku terus sampai ke pinggir. Dan dengan sentakan terakhirnya, aku akhirnya bisa naik kembali ke daratan dengan posisi telungkup.

Bayangkan ku melayang
Seluruh nafasku terbang
Bayangkan ku menghilang
Semua tanpa mu teman

Sambil terbatuk-batuk, aku mencoba duduk. Mengumpulkan napas yang tadi sempat menjadi barang langka. Ina hanya bisa terdiam. Memandangiku dengan takjub. Seolah aku ini hewan langka di sebuah kebun binatang.

“Kamu enggak apa-apa kan?” Akhirnya Ina memecah keheningan di antara kami berdua.

Aku menatap Ina sambil tersenyum lebar, “Iya. Aku enggak apa-apa kok. Makasih ya tadi udah nolongin aku.“

Ina hanya membalas ucapan terima kasihku dengan senyuman manis. Terlihat jelas kelegaan memancar di air mukanya.

“Makanya kamu belajar berenang dong. Biar yang tadi itu enggak akan kejadian lagi.”

Sambil mengibaskan bajuku yang basah, aku menjawabnya, “Iya. Aku pasti belajar berenang. Nanti tapinya. Sekarang aku mau pulang dulu. Pasti Mama bingung nyariin aku.”

Ina membantuku berdiri. “Okay. Yuk kita pulang. Udah sore.”

Kami pun bergandengan tangan menyusuri jalan setapak. Kaki berjalan setengah melonjak-lonjak, sedangkan tangan berayun ke depan dan ke belakang, berbarengan.

Ingatkan ‘ku semua, wahai sahabat
Kita untuk selamanya, kita percaya
Kita terbakar arang, dan tak pernah lelah
Ingatkan ku semua, wahai sahabat

***

Ina mengantarku sampai ke rumah. Begitu pintu terbuka, Mama kaget melihatku basah kuyup. Beliau langsung membuatkan segelas besar susu cokelat panas dan menyuruhku mandi air hangat. Tak lupa menyiapkan nasi dan semangkuk sup ayam sebagai makan siang yang terlambat.

Selesai makan, aku pun bercerita tentang permainan mengejar kupu-kupu bersama Ina yang menjadi penyebab kecelakaan sore ini. Dan tentu saja tentang Ina yang menolongku di sungai, karena aku memang tidak bisa berenang.

Mendengar ceritaku, Mama tidak berkomentar apa-apa. Ia hanya tersenyum lega sambil memelukku hangat.

“Ya sudah, sekarang kamu tidur ya. Kamu kelihatan capek banget.” Mama menuntunku ke kamar tidur. Menungguiku menemukan posisi nyaman, dan kemudian menyelimutiku sampai ke leher.

Tak sampai lima menit, terdengar hembusan napas halus yang teratur.

Setelah menutup pintu kamar anaknya, wanita cantik berusia tiga puluhan itu berbisik pelan, “Selama ini, aku mengira kamu itu hanya teman imajiner anakku. Tapi, siapapun kamu, terima kasih ya Ina, telah menolong Tita. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama Tante.”

….jawaban manis dari sahabat baik sang anak, yang tentu saja tidak dapat didengar oleh ibunda Tita.

-THE END-

Advertisement