Tags

, , ,

Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)

Sebelumnya pada cerita Fix You Part 1. Ketika berada dalam stasiun MRT yang dipadati para penduduk maupun turis asing, mataku menangkap seorang lelaki yang sedang duduk di sana. Orang Indonesia juga, sama denganku yang sedang melancong ke negeri singa ini. Kami berbincang sesaat, ia menjelaskan alasannya traveling.

“Saya justru sedang berlari. Saya ke sini untuk mengambil sebuah keputusan berat, melupakan seseorang.”

“Ketika takdir mempertemukan kita lagi, saya benar-benar berharap akan melihat senyummu yang hilang.”

***

Jakarta, Sebuah Rumah Sakit, pukul 17.35

“Duluan ya Jes, sekali lagi selamat, salam buat Adam.” ujarku sambil tersenyum. Setelah bercipika-cipiki, aku keluar dari kamar perawatan, kemudian menuju kafetaria, sambil menimbang-nimbang, akan macetkah kalau pulang sekarang?

Melewati UGD, aku memperhatikan seorang pasien yang baru masuk. Terbaring lemas di sebuah brankar. Parasnya tak terlihat, tertutup oleh tubuh seorang suster. Korban kecelakaan, kah? Aku memalingkan muka. Takut akan melihat darah, luka atau sejenisnya. Lalu pandanganku menangkap kaki pasien di atas brankar itu.

Sandal jepit hitam itu…

***

Aku menyusuri koridor rumah sakit dengan segelas teh hangat yang kubeli dalam perjalanan. Masih dengan pergumulan yang sama, untuk apa aku ke sini? Memuaskan rasa penasaran yang membekas? Atau menoleh ke belakang dan menagih permintaan yang pernah terlepas?

Bagaimana aku menemukannya di rumah sakit sebesar ini? Lagipula…

Dari mana aku akan mulai?

Sambil mempertimbangkan untuk melontarkan pertanyaan kepada suster cantik di meja receptionist yang ada di hadapanku, aku memilih duduk di ruang tunggu rumah sakit dan menikmati cangkir tehku. Mempersiapkan berbagai pilihan jawaban kalau saja kami bertemu dan ia masih mengingatku.

TING!

Elevator  yang berada tak jauh dariku berbunyi. Betapa sepinya tempat menyeramkan ini saat bukan jam besuk, sampai aku bisa mendengar jelas dentingan elevator atau sekedar detak jam dinding di sudut ruangan.

Aku menoleh, membawa sejuta harapan ialah yang akan muncul dari balik pintu besi. Tapi bukan, dan terulang sampai dentingan yang kelima. Aku menarik nafas berat. Mulai menyesali kebodohanku. Bagaimana mungkin aku berharap takdir akan mempertemukanku dengannya di rumah sakit ini? Sekali lagi aku menghela nafas. Berat rasanya mengetahui ia mungkin ada di bawah atap yang sama denganku saat ini, tapi aku tidak memiliki keberanian atau kesempatan untuk menemukannya.

Aku bangkit untuk membuang gelas tehku yang masih separuh. Membulatkan tekad untuk menyeret kakiku pulang. Di depan tempat sampah, aku bertemu seorang suster yang membawa sekantong sampah untuk dibuang. Karena transparan, aku bisa dengan jelas memperhatikan isinya. Sandal jepit hitam. Hanya sebelah, tapi persis dengan yang kuingat semalam.

“Suster…”

“Ya?”

“Sandal itu…”

“Oh sandal jepit ini? Sudah putus, Mbak…” jelasnya sambil mengerutkan kening. Bingung karena aku jelas tidak nampak seperti pemulung.

“Eh iya, hmm… Suster tau pemiliknya kenapa?”

“Oh, semalam kecelakaan, Mbak, diserempet motor, tapi nggak kenapa-kenapa. Cuma persendian kaki kanannya…”

“Kenapa?” Aku memotong penjelasanya karena rasa penasaran yang melanda. Aku mulai merasa telapak kedua tanganku berkeringat. Ciri fisik yang muncul, ketika aku sedang gugup.

“Saya kurang ngerti, tapi kayanya dirujuk sama dokter untuk operasi… Memangnya kenapa, Mbak?”

“Dia… mungkin orang yang saya cari, suster…” jawabku pelan.

Kening sang suster terlipat. Mukanya kebingungan.

“Suster tau dia akan dioperasi di mana? Atau dia di rawat di mana sekarang?”

Kali ini sang suster menatapku dengan pandangan seolah aku akan membunuh salah seorang pasiennya. Aku memaksakan senyum, mencoba melunakkan pandangannya. Aku memang melanggar aturan, tapi itu karena aku sedang berusaha mencari informasi. Setidaknya, jika pemilik sandal jepit hitam yang sudah putus dihadapanku ini bukan dia, mungkin hatiku akan jera. Rasa keingintahuan ini… mungkin akan hilang. Mungkin.

“Saya nggak bisa kasih tau, Mbak…”

Sudah kuduga. Aku hanya mengangguk. Kemudian mengucapkan terima kasih. Paling tidak aku tahu, ia yang aku cari tidak lagi mengenakan sandal jepit hitam.

“Tapi mungkin ia akan dioperasi di Penang…”

Aku masih mendengar suster mengucapkan kata-kata itu. Aku terdiam. Lama membeku di tempatku.

“Suster, namanya?”

Yang menyaksikanku hanya tempat sampah. Sang suster sudah menghilang entah ke mana.

***

Aku menyusuri koridor rumah sakit sekali lagi. Berjalan menuju pintu keluar, sambil mengumpulkan pecahan akal sehatku. Menyesali kesempatan yang sekali lagi pergi. Meminta hatiku untuk menyerah.

Kakiku yang hanya terbalut sandal jepit berwarna kesukaanku, pink, melangkah tanpa arah. Sampai aku menyadari telah melewati kafetaria rumah sakit sekali lagi.

“When you try your best but you don’t succeed…”

Aku menengok ke arah kafetaria. Tiba-tiba ada lagu itu, yang mengalun pelan di relungku. Mengiringi pandanganku pada seseorang, yang saat ini duduk di dalam kafetaria seorang diri.

Entahlah, tapi hatiku terasa bahagia. Senyum terlukiskan di wajahku tanpa kusadari.

Aku memutuskan untuk memasuki kafetaria. Ia masih diam. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Masih menahan sakit. Hanya sumbernya yang berbeda.

Waktu itu hatinya. Hari ini, fisiknya. Aku memberanikan diri mengambil tempat di hadapannya. Ia mendongak.

“Kamu…”

Aku tersenyum.

“Saya Sari.”

((bersambung))