• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Category Archives: Estafet Working-Paper

Click this category, and you’ll find kind of continuous stories from the authors

Without You

24 Sunday Jun 2012

Posted by myaharyono in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerbung, cerita cinta, Mia Haryono, sahabat, without you

Prepared by: MH
Reviewed by: GP 

“Cantik.” puji gue kepada wanita yang sedang duduk di balik setir. Gue sendiri duduk di sampingnya.

“Mulai deh ngegombal.” jawabnya sambil mengibaskan rambut panjangnya dan tersipu.

Sore ini kami berniat menghabiskan malam minggu dengan menonton bioskop. Seperti biasanya kencan-kencan kami, gue awalnya datang ke rumah mewah milik orang tuanya. Lalu menitipkan motor butut gue di halaman parkir yang luasnya mengalahkan rumah keluarga gue. Wanita ini enggak mau gue bonceng, katanya panas lah, debu lah.

Beda dengannya. Dia enggak keberatan meninggalkan Cherry kesayangannya demi gue bonceng. Gue pernah iseng menanyakan apa dia enggak takut rambutnya kusut keseringan memakai helm gue. Jawabnya jujur sekali. “Rambut jadi lepek sih, tapi enggak sebanding dengan hepinya aku bisa meluk kamu.” Gue tiba-tiba tertawa sendiri mengingatnya.

“Mikirin apa sih? Kok jadi ketawa sendiri gitu.” selidik wanita ini. Dengan cepat  gue harus memutar otak agar dapat memberikan jawaban yang masuk akal.

“Tadi inget Didi di rumah, lucu banget. Ngebangunin aku tidur dengan nibanin. Gendut gitu kan badannya. Haha.” akhirnya gue menceritakan tentang Didi keponakan gue.

“Jadinya nonton di FX aja nih?” tanyanya kemudian, enggak terlalu excited dengan cerita gue tentang Didi.

Iya, kali ini gue ingin menonton di FX. Jauh dari kebiasaan gue dan wanita ini yang sering menonton bioskop di Citos.

“FX aja, bosen Citos.” tegas gue.

Maaf sayang, gue harus bohong. Gue ingin bernostalgia menonton di FX. Tempat gue dan dia menonton. Bioskop favoritnya. Dia menyukai bioskop itu dengan alasan yang sederhana. Karena pegangan samping kursinya bisa diangkat. Sehingga enggak ada lagi jarak di antara kami pada saat menonton. Dia kemudian akan bergelayut manja di bahu gue. Menyelipkan lengannya di lengan gue. Tindakannya itu membuat gue enggak bisa konsentrasi menonton. Dan susah bernapas. If you know what I mean.

Sebenarnya bukan bagian itu yang berkesan. Sungguh. Tapi ada kenangan lain bersamanya di bioskop ini. Gue dan dia pernah bertengkar hebat. Saling diam selama seminggu. Dan kami baikan di bioskop ini.

Sebelum bertengkar kami memang berencana akan menonton Harry Potter bagian terakhir. Tapi gue sudah enggak kepikiran lagi untuk menonton sama dia. Sebenarnya gue yang salah waktu itu, dia yang marah besar sama gue. Tapi gue gengsi juga berbaikan. Sampai sabtu pagi, ketika itu, gue menerima BBM darinya.

Aku tau kita lagi marahan. Tapi aku punya 2 tiket Harpot nih. Kan kamu janji mau nemenin aku nonton. Dateng ya di FX jam 7 malam nanti. Kalo kamu enggak dateng, aku nonton sendiri juga gpp sih…

Pesan darinya itu gue biarkan berstatus read. Gue tau dia pasti gondok setengah mati, karena pesannya sudah dibaca tapi enggak dibalas. Biasanya dia akan terus BBM gue, memancing pertengkaran. Tipikal wanita pada umumnya. Dan gue akan tetap diam mengacuhkannya. Tapi saat itu dia enggak menyerang gue. Gue tau dia pasti sedih. Itulah yang menyebabkan gue memutuskan datang tiba-tiba menyusulnya ke FX.

“Aku tau kamu pasti datang” katanya setelah bertemu dengan gue. Dia tersenyum.

Senyum yang gue suka, sejak pertama kali mengenalnya. Lesung di pipi kiri itu…ah bagaimana mungkin gue bisa melupakannya.

Dan sejak dia menghilang dari hidup gue, enggak ada lagi pertengkaran-pertengkaran konyol atau sekedar saling diam. Legakah gue? Jujur, enggak. Gue merindukannya. Dulu gue tersiksa karena selalu salah di matanya yang berujung dengan pertengkaran. Sekarang gue tersiksa karena tanpanya, enggak ada pertengkaran lagi yang berujung manis saat berbaikan. Berujung dengan senyumnya yang mendamaikan itu.

Tanpa dia, gue merasa…biasa saja.

Ya, sedikit aneh. Enggak sedikit. Banyak, terlebih dengan staus kami sebagai orang asing saat ini.

Stranger after lover.

Gue sempat membaca Timeline-nya yang menuliskan status itu. Gue masih bingung, katanya dia sayang banget sama gue.

Karena gue tau dia sangat menyayangi gue itulah, mungkin gue jadi memperlakukannya dengan enggak baik. Gue itu egois, hanya memikirkan diri sendiri. Semerajuk apapun dia meminta bantuan gue, kalau gue enggak mau ya enggak. Dia akan marah dan mendiami gue. Lalu gue akan membujuknya untuk enggak marah lagi? Big No. Marahnya akan reda dengan sendirinya, seperti caranya mengajak gue nonton itu lah, salah satu siasatnya untuk gencatan senjata.

Intinya, gue selalu menang dalam setiap pertengkaran dengannya. Tapi sekarang…apa yang bisa gue menangkan jika bahkan enggak ada hal yang dipertentangkan.

Bersama wanita yang masih serius menyetir di samping gue ini, entah kenapa gue seperti enggak menjadi diri gue sendiri. Gue sangat menjaga image. Gue berusaha menunjukkan hal-hal yang baik saja. Wanita ini engak seperti dia yang bisa menerima gue apa adanya. Herannya, gue menurut saja diperintah. Mungkin karena gue enggak mau kehilangan wanita ini juga. Mendapatkan wanita cantik itu susah. Dan kebanggaan tersendiri mendampinginya kemana-mana.

Satu hal yang enggak pernah gue duga, mendapatkan wanita ini harus gue bayar dengan kehilangan sahabat terbaik gue. Wanita itu.

And i hate to admit that i am lost without her.

“Sayang, sudah sampai nih. Kamu ngelamunin apa sih dari tadi?” gue dikagetkan dengan suara yang menyadarkan gue bahwa kami sudah berada di parkiran gedung ini.

“Mikirin mau makan apa sebelum nonton. Makanan favorit kamu aja ya, mie goreng. Inget kan aku sama kesukaanmu? Yuk ah turun.” kilah gue. Dia langsung tersenyum. Wanita ini begitu mudah disanjung. Jadi enggak akan ngambek berlama-lama. Tidak seperti….

Damn!

     I am lost, I am vain
     I will never be the same without you
     Without you
     I can’t win, I can’t reign
     I will never winthis game without you
     Without you
     I won’t run, I won’t fly
     I will never make it by without you
     Without you
     I can’t rest, I can’t fight
     All I need is you and I, without you 
     [David Gueta ft Usher]

 -to be continued-

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Seratus Dua Puluh Detik

10 Sunday Jun 2012

Posted by gelaph in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph. Grahita Primasari, cerbung, cerita cinta, cerita pendek, fiksi

Prepared by: GP
Reviewed by: MH 

Matahari telah terlelap ketika Cherry gue pacu keluar mall. Gagal sudah keinginan gue untuk memanjakan diri di salon. Hilang mood. Sebagai gantinya, gue malah pergi ke supermarket guna berbelanja keperluan bulanan.

Lampu merah menyala. Menghitung mundur seratus dua puluh detik sebelum akhirnya berganti hijau. Seratus dua puluh detik. Dua menit. Lumayan lama juga.

Ekor mata melirik jam tangan. Ah, sudah delapan menit lewat dari jam tujuh malam.

Astaga. Bahkan kegiatan melihat jam tangan pun dapat mengingatkan gue lagi dengannya. Gue ingat, ketika sedang menulis, ia harus berhenti menggerakkan pulpennya demi mengetahui jam berapa sekarang. Apabila sedang minum, ia terpaksa memindahkan gelasnya ke tangan kiri, sebelum akhirnya bisa melihat jam tangan.

“Kenapa pake jam tangan di sebelah kanan sih?” Protes gue pada suatu waktu. Saat itu tangan kanannya melepaskan genggaman tangan kiri gue demi mengecek, sudah terlalu larutkah bagi kami berdua dalam menghabiskan waktu bersama.

Ia hanya tersenyum. Tangan kanannya menggapai telapak tangan kiri gue. Jari-jari kami pun kembali bertautan, tergenggam erat satu sama lain.

“Kalau gue make jam di tangan kiri, jam tangan kita nggak akan pernah ketemu. Liat deh. Mereka bakal jalan sendiri-sendiri. Kasian kan?” Katanya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Ya, gue mengenakan jam tangan di sebelah kiri. Sedangkan ia, di tangan kanannya. Dan kami selalu tersenyum berpandangan penuh arti apabila kedua jam tersebut bergesekan, ketika kami bergandengan tangan.

Makanya gue benci melihat pemandangan di mallsore tadi. Bahwa ada tangan kiri lain yang bertaut dengan tangan kanannya. Wanita itu mengenakan jam tangan di sebelah kiri, persis seperti gue.

Lampu hijau menyala.

Thanks, God.Dua menit yang ditunggu akhirnya datang juga. Klakson berbunyi sana sini, khas Jakarta. Pertanda para pengemudi sudah tak sabar untuk segera memacu kendaraannya.

Cherry tepat berada di depan lampu lalu lintas ketika akhirnya si merah kembali menyala dan menghitung ulang seratus dua puluh detik. Lirikan maut polisi di ujung sana membuat gue tidak berani mengambil resiko dengan menorobos lampu merah.

Ah…sial. Maki gue dalam hati. Seratus dua puluh detik kedua yang harus dilewati malam ini. Dan lagu Tertatih oleh Kerispatih ter-shuffle di CD player Cherry. Seolah turut berbela sungkawa atas keadaan gue hari ini.

Begitu dalamnya aku terjatuh…
Pada kehampaan rasa ini…
Jujur… Aku tak sanggup…
Aku tak bisa…
Aku tak mampu…
Dan aku tertatih…
Semua yang pernah kita lewati…
Tak mungkin dapat kudustai…

Mendadak hujan turun. Langsung lebat. Seperti ada sepasang tangan raksasa yang menyiram permukaan bumi dari angkasa. Sontak pengguna jalan berlarian. Mencari tempat berteduh terdekat dari jangkauan.

Tak disengaja, mata gue terpaku pada seorang anak lelaki. Berusia kurang lebih sepuluh tahun. Berperawakan sedang, cenderung kurus. Kulitnya hitam, pertanda sering terbakar matahari. Sekarang ia basah kuyup, badannya menggigil kedinginan.

Berhenti di halte bus, ia meletakkan barang bawaan yang dipanggulnya. Semacam tongkat panjang yang diletakkan di bahu, yang di kedua ujungnya terdapat keranjang anyaman bambu.

Keranjang anyaman bambu tersebut dijadikan tempat duduk olehnya. Setelah gue teliti, ternyata kedua keranjang tersebut berisi cobek. Iya, cobek. Alat untuk mengulek sambal atau bumbu masakan. Terbuat dari batu. Berat sekali tampaknya.

Gue mengernyitkan dahi, bingung. Anak berusia segitu, jam segini, memanggul cobek? Siapa yang mau membeli benda tersebut di sini? Oh, atau mungkin ia baru saja pulang sehabis berjualan di pasar tradisional di perempatan sebelum ini.

Sang anak duduk termenung. Menunggu hujan reda. Barang dagangannya masih penuh, pertanda dewi fortuna belum mengunjunginya hari ini. Kedua tangannya tergenggam satu sama lain, diletakkan di depan mulut. Mengusir hawa dingin yang datang bersamaan dengan hujan.

Seketika, gue merasa tertampar keras di wajah. Ia masih belia, namun sudah harus memikul perjuangan berat hanya untuk bertahan hidup. Sementara gue? Beban terberat yang pernah gue rasakan hanyalah…patah hati.

Suara klakson mobil bersahut-sahutan seolah membentak gue untuk segera bangun dari lamunan.

Dan gue pun segera menjalankan Cherry perlahan. Konyol sekali rasanya kalau sampai harus terjebak selama seratus dua puluh detik untuk ketiga kalinya, di tempat yang sama.

***

Senin pagi. Identik dengan kesiangan atau terlambat bangun pagi. Kali ini penyebabnya adalah alarm telepon genggam tidak menyala. Gara-garanya ia mati kehabisan baterai, dan pemiliknya ini ketiduran semalam. Terlalu lelah untuk memberinya makan terlebih dahulu.

Tergesa-gesa gue menyusuri lobi, menuju ke lift. Untungnya gue kenal baik dengan para satpam gedung ini. Jadi gue bisa mempercayakan Cherry untuk dicarikan parkir oleh salah satu dari mereka.

Sambil menunggu lift, gue merapikan rambut. Dan pakaian. Serta napas yang masih memburu kencang.

Okay…. rileks…

Tarik napas….. Buang napas….

Tarik napas lagi….. Buang napas lagi…..

Tarik napas……

Hhhffftttt…..

Nyaris saja gue lupa membuang napas lagi ketika melihat sesosok lelaki yang tampak familiar berjalan mendekat.

Oh, God. No. Please, not now.

Sambil mengatur napas, gue berdoa dalam hati. Mudah-mudahan lelaki itu bukan dia. Gue belum siap bertemu dengannya saat ini. Semoga gue salah lihat, karena gue nggak mengenakan kaca mata gue pagi ini. Demi semua dewa dewi lift, please God. Please.

TING!

Syukurlah pintu lift akhirnya terbuka. Secepat kilat gue memasuki lift. Gue sempatkan untuk melirik ke arah lelaki mencurigakan itu. Dan, ah. Ternyata dewa dewi lift sedang tidak bersahabat. Doa gue tak terkabul.

Lelaki itu memang dia.

Rambut ikal, hidung mancung, kemeja abu-abu. Seratus persen itu memang dirinya. Gue tidak salah lihat.

Okay, Blackberry mana Blackberry? Dengan gaya yang sangat di-cool-cool-kan, gue mengambil Blackberry dari dalam tas. Ah, sial. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Nobody miss me.

Demi menghilangkan grogi, gue membuka linimasa Twitter. Kata-kata berseliweran di depan mata, tanpa ada satupun yang tertangkap di kepala.

Gue melirik ke penunjuk lantai di bagian atas lift.

Astaga naga terbang! Dari tadi baru sampai lantai tiga? Perasaan udah lama banget deh.

Mata gue terus mengawasi penunjuk lantai.

Lantai empat. Seorang wanita oriental berkemeja pink keluar, berbarengan dengan seseorang yang tampaknya merupakan teman lelakinya.

Lantai lima. Di Twitter ternyata sedang ramai permainan tagar #CapekGakSih. Ingin rasanya mem-post “#CapekGakSih satu lift sama #nomention?”, tapi itu terdengar terlalu kekanak-kanakan. Jadi gue batalkan.

Lantai enam. God please. Dua lantai lagi.

Lantai tujuh. Lift berhenti lagi. Seorang lelaki gemuk pendek bermata besar, masuk. Ia menekan angka sepuluh sebagai lantai tujuannya.

Gue mengalami seratus dua puluh detik mengingat caranya mengenakan jam tangan. Seratus dua puluh detik berikutnya mengamati bocah si pedagang cobek. Namun, rasanya tidak ada yang lebih lama dari seratus dua puluh detik di lift bersama dia, orang yang pernah gue sayang. Oh, atau mungkin sebenarnya masih gue sayang.

Saatnya melangkah keluar. Apakah gue harus menoleh ke belakang, sekedar memberi senyuman?

Sepersekian detik, gue merasa bimbang.

Tapi akhirnya gue memutuskan untuk tidak membuang energi. Yang berlalu, biarlah berlalu. Karena diri gue menolak untuk melihat ke belakang. Baik secara harfiah, maupun secara istilah. Terima saja, sayang.

TING!

(to be continued…)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Somebody That I Used to Know

17 Thursday May 2012

Posted by myaharyono in Estafet Working-Paper

≈ 2 Comments

Tags

@myaharyono, cerbung, cerpen, cinta, Mia Haryono, stranger

Prepared by: MH
Reviewed by: GP 

Dengan terburu-buru gue meninggalkan parkiran motor, karena waktu menunjukkan 10 menit lewat dari jam masuk kerja gue. Baru beberapa langkah kemudian gue tersadar masih mengenakan jaket merah kesayangan. Lalu gue pun kembali ke tempat motor diparkir untuk meninggalkan jaket ini.

SRREEEET.

Gue buka perlahan resleting jaket yang mengeluarkan suara seperti decitan. Membuat pikiran gue tiba-tiba tertuju pada sosok seseorang. Wanita yang setahun terakhir ini pernah mengisi hari-hari gue. Dia selalu menggoda tiap kali gue menboncengnya, dengan bilang jaket gue ini persis jaket tukang ojek. Dia semakin senang melihat mulut manyun gue, yang ngga terima disamakan dengan abang ojek. Tapi kadang gue juga membalas godaannya. Suatu waktu gue pernah mengantarnya pulang. Ketika sampai depan rumahnya, gue iseng menagih tarif bayaran. “Lima belas ribu aja, neng”. Tapi yang gue terima adalah sebuah tinju di lengan gue.

Melalui kaca spion motor, gue mendapati bibir gue menyunggingkan lengkungan senyuman. Jokes ojek kami berdua memang lucu sampai-sampai gue masih bisa tersenyum mengingatnya.

Jaket yang sudah gue lepaskan kemudian gue simpan di bawah jok motor dengan asal. Gue seperti masih mendengar suara wanita itu yang selalu mengkritik cara gue melipat jaket. Dan seperti biasa, gue hanya melenggang meninggalkannya yang masih ngomel-ngomel. Gue memang ngga pernah mau menuruti kata-katanya. Dan membuatnya kesal sudah menjadi hobi gue. Shit, kenapa gue jadi mengenang dia?

Faktanya tidak mudah melupakan kebiasaan yang pernah dijalani bersamanya. Jangan salah, meski gue lah yang menolak cintanya sampai dia memutuskan tali persahabatan dengan gue. Tapi bukan berarti gue bisa tenang. Gue akui sangat gelisah sebulan ini. Tidak terasa sudah berlalu empat minggu sejak kejadian di taman malam itu. Peristiwa malam itu terjadi begitu cepat. Di malam hari gue melihatnya menangis memohon cinta gue, keesokan harinya gue mendapati dia sudah memutuskan semua komunikasi dengan gue. Mengapa? Tidakkah gue berhak diberi penjelasan?

Setiap harinya gue berharap dapat bertemu dengannya di lingkungan kantor. Kami memang berada di gedung kantor yang sama. Tapi semesta sepertinya berkonspirasi dengannya, agar tidak mengijinkannya bertemu gue secara tidak sengaja. Gue ingin sekali bertemu dengannya, melihatnya. Bukan, bukan karena kangen. Mana mungkin? Gue yang tidak menginginkannya, bukan? Tegas gue dalam hati. Gue selalu berusaha meyakinkan diri, kalau memang gue tidak seharusnya memikirkan dia. Apalagi sampai ingin bertemu, karena gue tidak punya perasaan apapun padanya.

Gue melanjutkan langkah menuju gedung kantor dengan setengah berlari. Tampaknya banyak yang terlambat senin pagi ini sama halnya dengan gue. Antrean masuk gedung agak lebih panjang dari biasanya. Pak sekuriti memeriksa sau per satu yang akan memasui gedung sudah seperti di bandara saja. Setelah akhirnya berhasil melewati pintu detector gue kembali tergesa menuju lift.

DEG.

Di antara kerumunan orang-orang yang menunggu lift, sepertinya ada wanita yang mirip sekali dengan dia. Usaha gue mempercepat langkah kaki malah tampak seperti adegan slow motion. Benar kah itu dia?

Berdiri anggun dengan balutan baju merah muda. Tampak cerah. Tidak seharusnya wanita yang sedang patah hati berpenampilan seperti itu. Seharusnya dia terlihat memperihatinkan, bukan mengagumkan begini.

Lima langkah lagi untuk sampai lebih dekat padanya. Dia terlihat sibuk dengan blackberry putihnya. Apakah dia sedang berkirim BBM dengan seseorang? Secepat itu dia mendapatkan pengganti gue?

Lalu mengapa gue harus peduli?

Satu langkah lagi. Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah gue. Dia terlihat sedikit terkejut dan dengan cepat kembali membuang wajahnya dari gue. Dia bahkan tidak menggubris senyuman yang gue lemparkan padanya.

Astaga. Angkuh sekali wanita ini. Apakah dia sekarang sudah benar-benar tidak menganggap gue ada? Dia pura-pura tidak mengenal gue? Tidak cukup memutuskan kontak dengan gue, masih perlu dia memperlakukan gue seperti orang asing?

TING.

Pintu lift yang kami tunggu terbuka. Kami berbarengan memasuki lift tersebut. Kami berdua terdiam. Sangat tidak nyaman. Rasanya ingin sekali gue menariknya lalu mengeluarkan jeritan hati gue selama ini. Jadi begini perilakunya yang pernah mengatakan sangat menyayangi gue? Jadi begini caranya membalas penolakan gue? Membalas sakit hatinya dengan memberikan sakit yang sama pada hati gue?

Dia menunduk. Gue yang berdiri selangkah di belakangnya masih bisa memperhatikannya dari ujung rambut sampai kaki. Tubuh yang pernah memeluk gue dengan manjanya, kini seperti magnet dengan kutub yang sama sehingga memberikan tolakan kuat atas keberadaan gue.

TING.

Setelah dua menit lift bergerak akhirnya pintu terbuka. Dia dan juga beberapa orang melangkah ke luar dari lift. Dua menit terlama dalam hidup gue.

Please, tengok gue. Please. Mohon gue dalam hati. Gue masih berharap ada sedikit saja iba yang dia berikan pada pria yang sudah dia buat tercecer harga dirinya.

Dia tidak menengok. Dia terus berjalan memunggungi gue sampai pintu lift kembali menutup dan melanjutkan perjalanannya ke lantai atas.

Seperti gue yang harus melanjutkan perjalanan hidup tanpanya.

Per detik ini, hari-hari gue akan dilewati dengan kenyataan bahwa wanita itu kini hanya menjadi seseorang yang pernah gue kenal.

Now and then I think of when we were together
Like when you said you felt so happy you could die
Told myself that you were right for me
But felt so lonely in your company
But that was love and it’s an ache I still remember

But you didn’t have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don’t even need your love
But you treat me like a stranger and I feel so rough
[Gotye]

(to be continued..)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Si Jaket Merah

29 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerbung, cerita pendek, estafet WP, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Deru mesin sepeda motor terdengar menjauh. Begitu pun dengan punggung berjaket merah, yang pada akhirnya menyisakan sebias titik di ujung jalan.

Setelah beberapa detik termenung di balik jendela, gue merapatkan kembali kedua kelepak tirai merah muda bermotif bunga. Lelaki tersebut baru saja mengantar gue pulang dari taman. Dan mata gue mengekor kepergiannya dari balik jendela kaca.

Hmm, tampaknya sudah saatnya mandi. Gue nggak betah berlama-lama mengenakan pakaian yang berbau asap rokok. Dari dulu gue selalu suka melihat ia merokok, namun benci dengan baunya yang menempel di rambut dan baju. Apalagi kalau menempel di terusan biru laut favorit gue ini. Urghhh… mana rela?

“Bajunya cantik.” Begitu komentarnya ketika pertama kali melihat gue mengenakan pakaian ini.

“Tapi, cantikan lo sih…” lanjutnya dengan senyum jahil tertahan.

Gue yang tahu dia hanya bercanda, hanya ingin menggoda, mendaratkan sebuah pukulan ringan di bahunya sambil tergelak kencang.

Dan asal tahu saja, hari ini gue sengaja berdandan lebih keras dari biasanya. Itu semua karena gue berniat menyatakan cinta padanya di taman kota. Semua sel tubuh gue kuatkan untuk mengatakan bahwa betapa dia sangat berarti. Pun segenap keberanian gue kumpulkan untuk mengakui kalau ia diinginkan, lebih dari sekedar teman.

Namun sayangnya, gayung tidak bersambut. Alasannya standar saja, ia tidak bisa, katanya. Ia hanya menganggap gue sebagai sahabat baiknya. Tidak kurang, tidak lebih.

Tahukah ia, saat kalimat penolakan itu meluncur dari bibirnya, hati gue terluka? Seperti terkena silet tajam. Lukanya kecil, namun dalam. Meninggalkan perih yang tak tertahan.

Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah penolakan?

Air mata menetes lagi. Gue mengusap paksa, berusaha menghapus bayangannya yang berwujud dalam tangisan. Namun, semakin gue berusaha melupakannya, semakin ingatan tentangnya menancap kuat di kepala.

Dan sungguh, gue ingin melupakannya.  Melepaskannya. Merelakan hatinya yang tidak bisa dipaksa untuk mencinta.

Gue baru bisa memejamkan mata sekitar jam tiga dini hari. Untungnya besok adalah hari Sabtu, akhir pekan, sehingga gue bisa bangun agak siang.

Demi menghilangkan kesedihan, gue memutuskan untuk melakukan me time. Kali ini pilihan jatuh ke salon dan spa di salah satu mall ternama di bilangan Jakarta Selatan. Kayaknya enak nih dipijat. Apalagi plus lulur dan creambath. Ada getar bahagia yang terasa, hanya dengan membayangkan nikmatnya spa seharian.

Sudah tak sabar ingin memanjakan diri, gue pun langsung memacu Cherry si sedan merah di tol dalam kota. Tidak terlalu kencang tentu saja, mengingat Sabtu sore adalah waktu favorit Jakarta untuk menyuruh Si Komo menari-nari di tengah jalan raya.

Untungnya parkir mobil dengan mudah bisa gue temukan. Mendapat parkir di mall ini pada Sabtu sore sudah selayaknya dihitung sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, saking sulitnya.

Begitu turun dari mobil, gue melihat sekelompok remaja putra dan putri sedang tertawa bahagia. Canda riang mereka mengingatkan akan persahabatan gue dan dia yang kandas begitu saja karena ia menolak untuk menaikkan status hubungan kami.

Kaki gue melangkah memasuki ruang perawatan spa yang terdapat di lantai dasar mall. Bunyi pintu kaca yang berderit tertutup di belakang tidak mampu mengalihkan perhatian gue dari pemandangan di depan mata.

Si jaket merah.

Di depan meja kasir.

Digandeng seorang wanita langsing dan manis rupawan.

Ah, gue mengerti apa arti kata “tidak bisa” yang ia maksud. Kenapa kamu tidak berterus terang saja, sayang?

(to be continued..)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

When She Cries

09 Monday Apr 2012

Posted by myaharyono in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerbung, cerpen, cinta, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

“Ngga bisa. Pokoknya gue ngga bisa.” tegas gue.

“Kenapa ngga mau mencobanya dulu?” ucapnya sambil terisak.

Argh, wanita ini sungguh keras kepala. Pake acara menangis segala. Gue paling ngga bisa lihat wanita menangis sebenarnya. Tapi entah sudah berapa kali dia menitikkan air matanya di depan gue. Dan untuk kesekian kalinya gue ngga juga merasa iba. Gue sendiri heran mengapa hati gue ngga tergerak sedikitpun akan kesungguhan wanita ini. Gue kasihan padanya. Cintanya setengah mati sama gue. Sedangkan gue? Tidak memiliki perasaan apapun padanya.

Sudah setahun lamanya ketika pertama kali gue menolak cintanya. Tapi dia tetap gigih mengejar gue. Tetap setia bertahan menjadi teman gue. Bukan gue yang meminta, dia sendiri yang dengan suka rela melakukannya. Atas dasar ‘ngga enak’ ya gue pun tetap memperlakukannya sebagai teman baik.. Tapi kalau kebaikan gue diartikan terus-menerus olehnya sebagai harapan, lama-lama gue bingung juga.

Jujur, gue menikmati rasa sayangnya itu. Disaat gue susah, dia toh selalu ada buat gue. Bangga lah gue punya fans setia semacam dia. Tapi sebagai pria dewasa normal pada umumnya, gue juga ingin mengejar wanita. Wanita yang ingin gue sayang. Dan sayangnya, itu bukan dia. Dia yang kini menangis tersedu di hadapan gue karena cintanya ditolak untuk ke sekian kalinya.

Gue keluarkan sebatang rokok dari saku kantong lalu membakar ujungnya dengan korek api. Kondisi seperti ini membuat mood gue rusak. Dan hanya selinting tembakau yang dapat menyelamatkan ketegangan gue. Gue tarik satu hisapan panjang lalu mendongakkan wajah ke atas. Gue memainkan asapnya di dalam mulut sebelum menghembuskannya ke udara. Dari sudut mata gue bisa tau kalau wanita itu sedang memperhatikan gue. Gue melirik ke arahnya. Tak ada lagi air mata di wajahnya. Tersisa hanya lengkungan tipis bibirnya. Dia sedang tersenyum.

“Udah nangisnya? Kok sekarang senyum?” tanya gue yang terdengar cukup galak.

“Gue suka lihat gaya lo ngerokok. Makin jantan deh.” ucapnya sambil terkikik.

“Gak usah ngerayu. Kata-kata begitu doang ngga lantas bikin gue nerima cinta lo juga.” kata-kata gue langsung merubah mimiknya dari senyum menjadi semburat kesedihan. Sebelum dia mulai menangis lagi sebaiknya gue segera ajak pulang.

“Udah malam nih, makin sepi juga nih taman. Yuk, gue anter pulang.”

Sepanjang perjalanan mengantarnya pulang kami saling diam. Gue geser spion motor sedikit agar dapat memperhatikannya yang duduk di boncengan motor gue. Astaga, dia menangis lagi. Ah, bagaimana gue bisa berkonsentrasi mengendarai motor kalau begini. Ada ketakutan luar biasa kalau-kalau wanita yang sedang rapuh ini terjatuh dari motor gue.

Diam-diam aku berdoa. Mengapa Engkau membawanya masuk ke kehidupanku, Ya Tuhan? Sungguh aku sulit menentukan sikap menghadapi semua ini. Setiap jiwaku sepertinya ingin mati saja ketika melihatnya menangis. Beban yang kurasa sungguh berat karena tak mampu membalas cinta dan kebaikannya. Sangat ingin aku memantaskan diriku untuknya yang sudah dengan setia menantiku. Sudah kucoba dan tak bisa. Lalu apa yang harus aku lakukan? Mencintanya aku tak sanggup tapi meninggalkannya aku tak mampu.

Tiba di halaman depan rumahnya, tanpa banyak bicara dia menyerahkan helm kepada gue. Dia lalu melangkah pergi menuju pintu pagar dan membukanya. Bunyi decitan kunci dibuka terdengar memecahkan kesunyian malam ini. Dia membalikkan badan ke arah gue lalu berkata, “Thanks ya. Untuk semuanya. Bye.” Sambil mengusap pipi dengan punggung tangannya, dia pun membalikkan badan lagi.

Gerakannya yang beberapa kali membalikkan badan, menghapus air mata, mengunci pagar, lalu berjalan memasuki rumahnya terlihat anggun sekali. Dia layak mendapatkan pria yang tepat. Yang dapat mencintainya. Gue pasang kembali helm dan menstater motor gue. Bunyi raungan mesin pun mengiringi laju kendaraan roda dua yang meninggalkan rumahnya.

Doa sekali lagi kupanjatkan pada Tuhan, menemani perjalanan pulang di malam ini. Ya Tuhan, jangan biarkan dia menangis lagi.

Cukup jelas kan doa gue? Gue ingin dia tidak menangis lagi. Bukan menjauhi gue. Karena gue belum siap ditinggalkan olehnya.

Setelah malam itu, dia memutuskan segala komunikasi dengan gue. Dia benar-benar berusaha untuk melupakan perasaannya. Melupakan gue. Lalu mengapa gue harus kehilangan? Bukankah ini yang sejak awal gue inginkan. Bahkan gue pernah mencoba menjauhinya beberapa kali.

Selang beberapa hari tanpa kehadirannya, ada rasa gamang gue rasakan. Tapi nyali gue sangat ciut untuk menghubunginya. Ngga sanggup untuk menghadapinya. Sudahlah, gue tidak ingin mengganggunya lagi.

Sekarang, biarlah gue jalani kenyataan menjadi seorang stalker yang mengamati timeline-nya. Ya, membaca tweet-nya diam-diam karena dia sudah block account Twitter gue.

Melepaskanmu adalah bukti ketulusanku mencintaimu.

Gue baca berkali-kali kata demi kata.

Melepaskanmu. Adalah. Bukti. Ketulusanku. Mencintaimu.

Lalu air mata membasahi pipi.

Tuhan, apa yang telah aku lakukan?

When she cries at night
And she doesn’t think that I can hear her
She tries to hide
All the fear she feels inside

So I pray this time
I can be the man that she deserves
‘Cos I die a little each time
When she cries

– Restless Heart

(to be continued…)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: