• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: cerita pendek

Rafqiku

16 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 1 Comment

Tags

@cupahul, cerita pendek, cerpen, Ulfah Fitria

Prepared by Client:
Ulfah Fitria (@cupahul)

“Aku tunggu kamu di kafe tempat biasa ya. See you.” kata Rafqi sambil berlalu dan tersenyum.

Akupun membalas dengan anggukan dan senyuman yang kata Rafqi paling ‘bikin nagih’. Sejujurnya aku tidak mengerti apa artinya. Dan tidak ingin mencari tahu. Karena kadang kita memang tidak mau menggali lebih jauh apa alasan yang membuat kita bahagia. Asal hati senang, sudah cukup. Tidak peduli alasan di balik itu semua.

Segelas cappuccino dan sepotong blueberry cheesecake menemaniku menunggu kedatangan Rafqi. Langit agak muram sore ini, tapi aku tetap asik mendengarkan lagu dari pemutar MP3. Lagu-lagu pilihan aku dan Rafqi. Isinya lagu seputar pertemuan pertama kami sampai dengan soundtrack petualangan kami berdua. Kami memang suka traveling. Suka ke tempat-tempat baru. Atau lebih tepatnya, tempat baru buatku. Karena sebagian besar tempat yang kami datangi sudah pernah Rafqi jelajahi. Dia yang selalu tahu segalanya, dan itu salah satu alasan kenapa aku jatuh hati padanya. Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Cinta Pertama

09 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Fiction & Imagination

≈ 1 Comment

Tags

@armeyn, Armeyn Sinaga, cerita pendek, fiksi

Prepared by Client:
Armeyn Sinaga (@armeyn)

Terdengar suara langkah kaki yang sudah sangat kuhapal. Manda datang! Manda datang! MANDA DATANG!

“GUK! GUK! GUK!” aku menyalak dengan gembira.

Ada dua pasang kaki ketika aku mengintip dari sela-sela pagar. Lho, siapa itu? Manda dengan siapa?

Kucoba mengendus aroma yang dibawa oleh si makhluk asing. Tak pernah kucium sebelumnya. Tak familiar di hidungku. Siapa dia? Mau apa dia dengan tuanku?

“GUK! GUK! GUK!” kali ini kutujukan gonggongan kepada si makhluk asing.

Aku marah! Siapa dia dengan lancangnya bertamu ke sini?! Gonggonganku semakin keras dan bulu punggungku berdiri. Kutunjukkan gigi taring ketika pagar perlahan terbuka.

Manda datang bersama dengan seorang laki-laki. Badannya tinggi besar. Jauh lebih besar dari Manda. Matanya memicing menatapku seakan aku adalah musuhnya. Aku membalas dengan memicing lebih tajam sambil memamerkan deretan gigi.

“GRRRRRR….”aku menggeram sambil terus menatap si laki-laki misterius. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

27 Thursday Dec 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Grahita Primasari, penyesalan

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata

Baru saja gue pulang dari bersepeda. Hobi yang menjadi kegiatan rutin di akhir pekan. Ketika sedang meletakkan sepeda di halaman belakang rumah, Bellagio hitam gue berdenting pelan. Pertanda ada SMS masuk.

“Ah. Paling provider lagi bagi-bagi SMS gratis,” pikir gue sambil melenggang santai ke arah ruang tengah.

Gue melempar kupluk ke sofa. Kemudian membuka kaos yang penuh keringat dan membuangnya ke lantai. Ketika sedang asik mengunyah roti bakar yang sudah tersedia, Bellagio hitam gue berdenting sekali lagi.

Pandangan gue alihkan ke LED merah yang berkedip berulang kali. Dengan malas, gue menyentuh icon SMS di layar dua setengah inchinya.

“SELAMAT! Anda memenangkan sebuah sepeda motor…”

Icon delete langsung gue pencet paksa bahkan sebelum selesai membaca seluruh isi SMS. Pagi-pagi udah ada yang nipu aja. Dikiranya gue bego, apa?

Gue men-scroll kursor dan mendapati satu SMS lagi di bawahnya. Sebuah SMS superpanjang di bawah nama mantan orang terdekat gue dua bulan lalu. Ayudya Valencia. Atau biasa dipanggil dengan Ayu.

Mata gue membesar. Detak jantung gue meningkat dua kali lipat dari kecepatan normal. Ada apa ya? Kenapa dia tiba-tiba menghubungi gue? Toh selama dua bulan ini kami sudah tak ada kontak sama sekali.

Hai Ton, apa kabar?

Demikian kalimat pembuka SMS-nya yang semakin membuat jantung berdebar. Sambil menahan napas, gue melanjutkan membaca.

Aku tahu kamu pasti lagi main sepeda sekarang. Pake kupluk merah, celana pendek, sambil menggigit handphone lantaran celana kamu gak ada sakunya.

“FAK! Ini dia kenapa sih? Lagi kangen kali ya sama gue?” Gue memaki dalam hati. Karena hingga kalimat ini, gue masih belum mengerti apa maksudnya menghubungi gue lagi.

Kalau kamu nanti sudah selesai sepedaan, kamu buka link ini ya. Ini link blog baru-ku yang harus kamu baca. Soalnya tulisan ini buat kamu. Thank you. Last but not least, happy blessed birthday. :)

Kening gue berkerut dalam. Sekarang tanggal berapa sih? Gue bahkan tidak ingat kalau hari ini gue berulang tahun.

Dengan otak yang masih setengah linglung, link yang ia berikan langsung gue klik tanpa pikir panjang. Beberapa detik kemudian gue pun mendarat di sebuah blog berwarna pink cantik yang sangat girly.

Yang (Pernah) Terkasih.

Demikian judul postingannya yang hanya membuat gue menahan napas sekali lagi. Tidak terbayang sebelumnya bahwa gue akan menahan napas lebih lama lagi ketika selesai membaca tulisannya ini.

Akhirnya selesai sudah hubungan kita. Selesai setelah sekian lama hanya hambar terasa.

Saat kamu membaca tulisan ini, kemungkinan besar aku sudah melupakan kamu. Bahkan mungkin telah memiliki penggantimu.

Namun yang perlu kamu tahu adalah tentang aku yang sangat kecewa. Kecewa karena ternyata hanya sampai di sini saja hubungan kita. Kamu melepaskan aku semudah melempar topi kupluk ke atas sofa.

Ketika aku mengirimkan sebuah SMS yang meminta untuk putus hubungan, kamu langsung mengiyakan. Tanpa repot-repot menelepon atau ingin bertemu untuk membahas permasalahan. Hanya dengan cara membalas SMS-ku mengiyakan?

Ah, sudahlah. Toh aku tak menyesal memutuskanmu.

Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang jarang-jarang memberi kabar? Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang nyaris tak pernah memperhatikan? Boro-boro memperhatikan. Ingat saja tidak.

Dan maafkan kalau selama ini aku membuatmu repot.

Maaf jika aku sering minta jemput ke sana kemari, merengek minta ditemani, atau memohon dibawakan makanan pada malam hari.

Maaf.

Mungkin kamu perlu tahu bahwa itu kulakukan karena aku memang sangat mengandalkanmu. Terlalu mengandalkanmu. Karena siapa lagi yang bisa kuandalkan selain kamu, ya kan? Kamu tahu aku tinggal sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini.

Tapi aku mengerti. Mungkin kamu sudah terlalu lelah menghadapi kemanjaanku. Atau sudah tidak tahan menghadapi segala keinginanku.

Harapanku, kamu bisa menjadi lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang menghadapi semua masalah yang hinggap. Bukan malah menyeribukan langkah dan menguatkan derap. Lelaki yang merealisasikan janji, bukan hanya berakhir sekadar mimpi. Lelaki yang bisa menghargai perasaan, bukan hanya acuh melihat pengorbanan.

Sakit, tahu. Sakit. Mendapati kamu yang menghilang berhari-hari. Kemudian muncul begitu saja seolah tak ada yang menyakiti diri.

Butuh waktu berpikir, katamu?

Ah, terserah sajalah. Aku juga sudah lelah.

Sudah cukup aku menelan kekecewaan bulat-bulat. Semua sudah lumat. Sekarang aku hanya ingin semuanya lewat. 

Sederhana saja, mungkin kita memang tidak berjodoh.
Atau mungkin, memang aku yang terlalu bodoh.

-AV-

Gue tertegun ketika sampai pada titik terakhir postingan itu. Walaupun dia berusaha menutupi dengan apik, ada kemarahan dan kekesalan yang benar-benar terasa di setiap kalimat yang ditorehkan oleh mantan orang tersayang gue ini.

“Emangnya gue dulu begitu ya?” Pertanyaan tersebut terlontar dari hati kecil gue. Dan sebagai balasannya gue memperoleh hardikan “iyalah, Cumi! Pake nanya pula.”

Gue mengacak rambut keras-keras. Frustasi. Entah kenapa gue baru menyadari bahwa tulisan Ayudya itu semuanya benar. Gue memang lelaki yang gak bertanggung jawab. Sering menghindar dari masalah. Kabur begitu saja dan muncul seenak jidat.

ARGGGHHH! BEGO BANGET SIH GUE!

Demikian status Twitter yang gue update tiga puluh detik yang lalu. Status yang langsung mengundang keingintahuan para sahabat satu lingkaran.

@roysaputra: lo kenapa, Nyet?

@riandidendi: lah, baru nyadar lo bego? Ke mane aje?

@gadunganromeo: dari lahir elu emang udah bego, Cong.

Username mereka bertiga gue letakkan pada satu twit baru. Lalu gue ketikkan:

BERISIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIK………………..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dengan titik dan tanda seru yang masing-masing berjumlah dua puluh.

Dasar kampret nih para bocah. Mereka gak tahu sih gue lagi galau. Mereka gak tahu gue lagi menyesal setengah mati, lantaran kemarin dulu segampang itu melepas Ayu.

Have you ever felt so guilty and stupid at the same time?

I have. I feel it now. I really feel it now.

Mata gue hanya terpaku ke profil Ayu di Twitter. Menyusuri kegiatannya beberapa minggu terakhir. Sampai akhirnya layar web browser gue pindahkan ke aplikasi SMS. Dengan sangat ragu gue mengetikkan pesan untuknya.

“Hai. Kamu lagi apa?”

Pesan yang gue sesali tiga detik setelah memencet tombol kirim. Astaga. Gak ada pertanyaan yang lebih bego lagi, apa?

Tiga batang rokok sudah gue habiskan ketika akhirnya dentingan pelan itu terdengar. Hey world, she replied my text!

Ya walaupun hanya singkat saja dengan tiga kata. “Lagi nonton TV.”

Gue berpikir keras. Memikirkan hal yang bisa menarik perhatiannya.

“Kamu nonton TV di kost kan? Mau nganterin voucher restoran suki favorit kamu nih.”

Nyaris satu dekade rasanya ketika sepuluh menit kemudian ia membalas pesan gue. “Di kost. Kamu ke sini aja.”

Yeay! Ingin rasanya gue melakukan lari-lari bahagia ala striker yang baru saja memasukkan bola ke gawang. Tapi gue tahan. Toh ini baru langkah awal.

“Aku ke sana sekarang.”

Gue sedang mengambil kunci mobil ketika muncul “okay” dari Ayu.

“Aku otw ya.” Gue menyempatkan diri memberi kabar sebelum menginjak pelan pedal gas.

Tiga menit kemudian, muncul balasan darinya.

“Tapi aku mau ke supermarket sebentar sih. Kalau aku gak ada, nanti vouchernya titip ke si mbak aja.”

Sumpah. Saat ini gue mengerti perasaan kiper yang kebobolan di menit-menit akhir padahal timnya sudah memimpin. Sudah merasa di atas angin namun jatuh membentur bumi tanpa ampun. Sakit, Man. Sakit.

***

Beskap ini membuat gue susah bergerak. Namun apa daya, Tania memaksa gue menjadi salah satu pagar bagusnya. Karena ini pengalaman pertama menjadi panitia pernikahan, gue jadi agak gugup. Oh, atau mungkin gue gugup karena Ayu seharusnya muncul sebentar lagi.

Band pernikahan sedang menyanyikan Everlasting Love-nya Jamie Cullum ketika sesosok tinggi langsing itu muncul. Ia menggunakan gaun merah berbelahan dada rendah hari ini. Rambutnya digelung  ke samping, menonjolkan keindahannya leher dan bahunya. Wajahnya tampak lebih bersinar dibanding terakhir gue mengingatnya.

Kampret. Dia semakin cantik saja.

“Kamu sendirian aja?” Demikian suara halus itu menyapa telinga gue.

“Berdua kok, sama kamu,” kata gue sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Gak lucu kalau dia sampai melihat tangan gue yang agak gemetar lantaran bertemu dengannya.

Ia hanya tersenyum kecil. Lalu segera menggamit lengan Viona sahabatnya. Beranjak pergi meninggalkan gue. “Makan dulu ya,” pamitnya singkat.

Gue memandangi punggungnya. Menimbang-nimbang apa yang harus gue lakukan agar ia mau diajak berkencan sore ini. Tapi gue ragu. Atau lebih tepatnya, gue gengsi. Mau ditaruh di mana muka gue kalau ia menolak diajak pergi?

Namun entah setan dari mana yang membuat gue nekat.

“Ayu!”

Setengah berteriak gue memanggil namanya. Wanita bergaun merah itu memutar tubuhnya dalam gerakan lambat. Kepalanya menoleh senada dengan anggunnya.

“Ya?” Dia bertanya bingung.

Langkah kaki gue percepat menuju tempatnya. Setengah tersengal gue berbisik, “Temenin aku nonton 5cm yuk sore ini.”

Senyum Ayu yang sangat familiar melengkung indah. Namun sayangnya, jawabannya tidak seindah senyumnya.

“Aku gak bisa Ton. Maaf ya.”

“Kenapa? Kamu udah ada acara?”

Ayu menghela napas panjang, “Ya. Kurang lebih.”

“Aku makan dulu ya, Ton,” sambungnya lagi.

Déjà vu rasanya ketika ia meluncurkan kalimat pamit hendak makan. Sama seperti déjà vu ketika gue melihat punggung bergaun merahnya melenggang pergi.

Langkah kakinya gue amati. Ia berjumpa dengan sekawanan teman lama, cipika cipiki sana sini. Mengambil air putih dan meneguknya hingga tandas, lalu mendekati stand pasta. Tak lama kemudian ia asik memelintir spagheti sebelum akhirnya disuapkan ke mulut.

Eh, sebentar.

Disuapkan ke mulut lelaki?

Gue gak salah lihat kan?

Siapa dia? Kenapa dia menerima perlakuan semesra itu?

HHHHHHHHHH.

Gue menghela napas panjang. Helaan napas terpanjang yang pernah gue lakukan seumur hidup. Dada gue sesak seperti kekurangan oksigen. Seperti ada yang dicabut paksa di sana. Terkuak sudah penyebab Ayu menghindari gue. Ada dia yang lain di hatinya sekarang.

Mungkin Ayu benar.

Ia seperti kupluk yang dengan mudahnya gue lempar ke sofa. Namun sayangnya, gue nggak semudah itu bisa mendapatkannya kembali seperti gue memungut kupluk. Ada lelaki lain yang lebih cerdas, yang menyadari bahwa ia terlalu berharga untuk disia-siakan.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seiring dengan kehilangan kamu yang terlalu cepat.

Succesfully posted your tweet!

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Atas Nama Emansipasi Wanita

28 Friday Sep 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 3 Comments

Tags

@dendiriandi, atas nama emansipasi wanita, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Dendi Riandi, emansipasi wanita

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

“Riani. Riani. Riani.” Sebuah tangan menepuk-nepuk punggung tanganku secara perlahan.

“Eh, iya? Kenapa, Gas?” suara Bagas membuyarkan lamunanku dan menarikku kembali ke alam nyata. Ini semua gara-gara Sinta. Perkataan Sinta tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Membuat pikiranku melayang kemana-mana mengenai apakah aku harus mengikuti sarannya atau tidak.

“Kamu kenapa sih malam ini, Ri? Dari tadi kok kayak lagi nggak di tempat pikirannya?”

”Ah, enggak.” Aku langsung meminum segelas Hot Chocholate yang ada di atas meja untuk mengalihkan kegugupanku. Saat ini aku dan Bagas sedang berada di sebuah kedai kopi tempat biasa kami menghabiskan waktu sehabis pulang kantor. Namun karena minum terburu-buru, Hot Chocholate itu sedikit tumpah dari mulutku. Tumpahannya membasahi blazer-ku.

”Tuh, kan, kalau minum tapi pikirannya nggak di sini, ya begini jadinya. Ada yang lagi dipikirin ya?” Bagas bertanya sekali lagi sambil mengelap blazer-ku dengan tisu. Pria ini memang sangat perhatian sekali. Ini yang menjadi alasanku nyaman bersamanya.

”Nggak apa-apa kok, Gas. Benar. ”

“Kalau kamu lagi banyak pikiran, mending cerita deh. Aku Siap ngedengerin kok. Biasanya juga begitu, kan? Kamu cerita soal masalah kamu, soal keluarga kamu, soal urusan kantor, dan aku akan jadi teman yang selalu siap mendengarkan dan memberi masukan.”

Teman. Setiap kali aku mendengar kata itu, ada perih yang mengiris pelan-pelan hatiku. Mencoba memaksakan senyum palsu kepadanya. Damn you, Sinta. Kali ini elo benar. Mungkin aku memang harus mengikuti sarannya. Percakapan tadi siang pun kembali berputar di kepalaku.

***

”Eh, nek, lo udah sedekat apa sih dengan si Bagas ini? Jangan-jangan lo udah jadian ya?” Sinta, sahabatku bertanya di sela-sela makan siang kami di kafetaria kantor.

“HUSSH!! Ngomongnya pelan sedikit kenapa? Kan nggak enak kalau ada yang mendengar.” kucubit lengan Sinta karena kesal dia sudah menggodaku.

”Jadi bener nih, lo udah jadian?” Sinta mengonfirmasi sekali lagi.

Aku cuma menggelengkan kepala.

”Lho, tiga bulan kalian dekat, sering pulang bareng, ngopi-ngopi bareng, bahkan terakhir kali lo cerita kalau dia nganterin lo belanja sepatu dan tas, tapi dia belum juga nembak lo?”

”Ya gitu deh.”

”Hmm.. jadi selama ini lo digantungin, gitu?”

”Ya nggak gitu juga sih, Sin. Mungkin Bagas belum nemu waktu yang pas aja. Mungkin dia pengen kenal gue lebih dekat lagi.”

”Susah deh ngomong sama orang yang lagi falling in love. Memang Bagas orangnya kayak gimana sih, nek? Selain ganteng dan lucu, tentunya ya.”

”Ya, dia sangat hangat dan perhatian. Teman curhat yang baik dan enak. Kayaknya tahu banget soal isi hati dan cara handle perempuan, bahkan saat-saat emosi gue lagi nggak stabil gara-gara PMS. Mantan-mantan pacar gue dulu, nggak ada yang sangat perhatian dan sepengertian itu. Bahkan kalau ngantar gue belanja juga, dia nggak pernah nunjukin muka bete. Kalau dimintain pendapat soal mana baju atau sepatu yang lebih bagus, dia selalu tau pilihan terbaik. Pokoknya, bagi gue dia cowok yang sempurna banget deh.”

”Sempurna tapi kalau cuma jadi teman ya percuma, non. Terus, lo mau digantungin sampai kapan? Cucian basah kalau digantung sih bagus, bakal kering. Lah kalau hubungan digantung, ya bakal pahit jadinya.“

”kok lo ngomongnya gitu sih, Sin? Harusnya sebagai sahabat lo mendukung gue, bukan malah ngejatuhin kayak begini?“

”Justru karena gue sahabat lo, gue nggak mau lo terluka.“

”Terus, gue harus gimana, Sin?“

“Ya mungkin lo yang harus gerak duluan!”

“Tapi kan gue cewek, Sin. Masa cewek yang gerak duluan sih?”

“Kita nih perempuan, pengennya apa-apa yang enak harus Ladies First, tapi soal gerak duluan masih aja malu. Ri, dengerin ya, arwah Ibu Kita Kartini pasti nggak akan pernah tenang kalau lo masih teriak-teriak emansipasi tapi soal gerak duluan masih ngarep cowok yang bakal ngelakuin!”

Aku hanya bisa terdiam oleh perkataan Sinta.

***

Siang pun telah berganti malam. Di hadapanku sekarang bukanlah Sinta, tapi Bagas. Tapi perkataanya masih saja menghantuiku.

“Eh, maaf ya Ri. Aku jawab email dari kantor dulu. Dari si bos soal permintaan client kita yang kemarin.” Ucap Bagas lalu menatap serius layar smartphone-nya sambil sesekali jarinya menari mengetikkan beberapa kalimat di atas layar touchscreen gadget tersebut.

Bagas Candra Wijaya, anak baru special hiring yang ‘dibajak’ dari kantor pesaing. Usia awal tiga puluhan. Mempunyai wajah yang terbilang cukup tampan, berperawakan tinggi dengan badan yang cukup atletis karena sering fitness. Sorot matanya cukup tajam dan yang terutama lesung pipitnya ketika dia tersenyum bisa membuat luluh wanita manapun yang melihatnya. Dari semua hal tersebut, hal terpentingnya adalah dia masih single alias belum punya pacar. Aku bisa memastikan, hampir semua wanita di kantor ini jatuh cinta padanya. Tidak terkecuali aku, tentunya.

Semenjak kepindahannya, suasana di kantor juga menjadi berubah. Sikap dan pembawaannya yang sangat fleksibel dan tidak terkesan kaku – hasil dari budaya di kantor sebelumnya yaitu sebuah perusahaan swasta asing – sangat membawa pengaruh positif kepada kantorku, khususnya unit kerjaku yang sangat kaku. Yah maklum  hasil warisan budaya karyawan yang sudah cukup sepuh.

Balik lagi ke soal Bagas, dengan semua kelebihannya, usia masih muda namun sudah memegang jabatan marketing manager di kantorku, membuatku semakin tergila-gila kepadanya.

Oh iya, kenalkan namaku Riani. Wanita karir yang usia-nya tiga tahun lagi menginjak kepala tiga. Wajahku tidak terlalu cantik, namun teman-temanku bilang cukup manis, tipe cewek yang cantiknya tidak membosankan. Tinggi badan rata-rata, kulit berwarna coklat, tidak putih seperti para model iklan pemutih kulit di televisi itu. Aku cenderung pendiam, tidak akan memulai pembicaraan jika tidak ditanya terlebih dahulu.

Dengan semua hal-hal tersebut, sebenarnya membuatku minder karena harus bersaing dengan wanita-wanita yang di-cap cantik di kantorku untuk memperebutkan Bagas. Bahkan untuk berbicara urusan di luar pekerjaan dengan dirinya saja aku tak pernah berani. Tapi semuanya berubah setelah kejadian di suatu malam ketika pertama kalinya aku bisa berbicara Bagas.

***

“Lagi nunggu taksi ya?” terdengar suara dari dalam mobil bersamaan dengan diturunkan kaca jendela depan. Mobil ini tiba-tiba saja berhenti tepat di depanku yang sedari tadi sedang menunggu taksi. Dari dalam mobil sedan berwarna hitam metalik itu kini terlihat jelaslah siapa yang berbicara

“Eh, Bagas. Kirain siapa? Iya, nih lagi nunggu taksi. Tapi, dari tadi satupun tidak terlihat.”

”Bareng sama aku aja yuk!”

”Nggak usah, Gas. Nanti ngerepotin”

“Enggak, nggak sama sekali. Memangnya pulangnya ke arah mana?” tanyanya lagi.

“Oh, dekat kok. Kost-an ku di daerah Setia Budi. Aku nunggu taksi saja” ucapku.

Ah, bodoh! Bodoh! Bodoh! Inilah kelemahan wanita nomor satu, gengsinya terlalu tinggi. Seorang pria tampan yang aku kagumi meminta untuk mengantarku pulang, tapi aku malah menolaknya.

“Wah kebetulan banget, itu searah dengan apartemenku. Apartemenku di daerah Bunderan HI situ. Ayolah, naik mobilku saja. Dijamin, nggak akan diculik kok.” Ucap Bagas sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis dan sangat menggoda.

“Tapi bener ya, aku nggak diculik dan langsung diantar pulang dengan selamat?” balasku sambil tersenyum juga.

“Swear!!!” sebuah huruf huruf V dibentuk dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Lalu aku pun masuk ke dalam mobilnya. Kelemahan wanita nomor dua adalah mudah luluh oleh bujuk rayu dan senyum manis seorang cowok tampan.

Kejadian antar pulang sehabis kami lembur pada malam itu, mungkin menjadi awal aku jatuh cinta kepada Bagas. Maksudku, benar-benar jatuh cinta. Sebelumnya, aku hanya nge-fans saja. Maklum, Bagas adalah favorit cewek-cewek di kantorku.

Setelah malam itu, hampir setiap habis lembur di kantor aku selalu diantar pulang oleh Bagas. Tentu saja hal ini membuat iri sebagian besar wanita-wanita di kantor. Aku merasa diriku jadi bahan gosip utama oleh mereka. Namun di dalam hatiku, aku tersenyum bahagia karena bisa dekat dengan Bagas. Bahagia karena akulah wanita yang dipilih untuk diantar pulang bersama Bagas.

Tiga bulan telah berlalu semenjak malam itu. Entah sudah berpuluh-puluh kali aku duduk di kursi sebelah kiri mobilnya dalam perjalanan pulang menuju kost-an-ku. Memperhatikan dia bercerita tentang segala hal, dari masalah kerjaan hingga mengomentari juri reality show acara masak yang sok galak itu. Di malam-malam yang lain, giliran aku yang bercerita keluh kesahku. Tentang keluargaku, tentang adik-adikku yang masih bersekolah dan hal-hal lainya.

***

”Sori ya, obrolan kita keganggu kerjaan kantor. Sampai mana tadi obrolan kita?” untuk kesekian kalinya suara Bagas menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya Bagas telah selesai dengan urusan email kantor tadi. Smartphone-nya ditaruh kembali ke dalam kantung kemeja. Matanya kembali menatapku dalam-dalam. Sorot mata yang membuatku tak kuat menatap balik karena wajahku pasti akan bersemu merah.

Di sinilah kami duduk sekarang. Di sebuah kedai kopi favorit kami, tempat kami menghabiskan waktu sepulang kantor hingga larut malam. Biasanya untuk melanjutkan obrolan kami yang tidak selesai di dalam mobil.

“Oh iya, aku ingat. Soal kamu yang sepertinya sedang ada pikiran, dan aku sebagai teman kamu siap mendengarkan.” Bagas tersenyum kepadaku.

”Teman?” Sebuah pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.  Sekali lagi kata-kata Sinta pun melintas dalam otakku

”Iya, sebagai teman.” Jawab Bagas dengan nada sedikit bingung.

”Gas,…..”

”Iya, kenapa Ri?”

”Aku mau tanya sesuatu. Tapi janji ya jangan marah?” Aku menarik napas sebentar, “menurut kamu, aku ini kamu anggap sebagai apa sih selama ini? Teman kantor, sahabat, atau…. apa?” Nafasku tertahan seketika setelah aku mengatakan kalimat tadi. Aku nggak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulutku.

”Bagiku…. ya kamu lebih dari seorang teman kantor. Kamu itu sahabatku yang paling dekat. Memang kenapa, Ri?” Bagas berkata dengan nada yang semakin kebingungan

”Cuma sahabat aja, Gas? Gak lebih?” ada keheningan yang cukup panjang setelah aku mengucapkan pertanyaan itu. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Rasanya aku bisa mendengar setiap gerak dari detik jarum jam di atas tembok sana. Tapi anehnya, detak jantungku berdegup semakin cepat.

“Iya, Ri. Kamu kok tiba-tiba nanya hal itu sih?” Bagas masih terlihat bingung kemana arah dari pertanyaanku. Atau mungkin dia pura-pura bingung. Inilah kelemahan wanita nomor tiga: nggak bisa mengutarakan maksud sebenarnya atas apa yang mau diucapkan.

Aku menghela nafas panjang. Panjang sekali.

”Gas, gimana kalau aku ingin lebih dari sekedar sahabat dengan kamu? Aku ingin menjadi kekasihmu. Tiga bulan waktu yang kita lalui bersama, sudah cukup bagiku untuk menyakini kalau aku sangat sayang sama kamu.”

Kali ini waktu bukan hanya terasa berjalan sangat lambat, tapi berhenti sama sekali. Bumi sepertinya terbalik tiba-tiba hingga membuat perutku terasa diaduk-aduk dan sangat mual. Ingin rasanya aku berlari ke luar pintu karena kebodohan atas ucapanku barusan. Tapi setidaknya di atas langit sana, Ibu Kartini  sudah bisa tersenyum karena salah satu kaumnya menjalankan emansipasi dengan benar. Bukan hanya menuntut soal hak, tapi juga emansipasi kewajiban. Wanita bisa juga bergerak duluan, mengutarakan isi hatinya kepada pria terlebih dahulu.

”Maaf, Ri. Aku tahu kamu wanita yang sangat baik. Aku juga nyaman ngobrol dan jalan sama kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa. Bagiku, kamu tidak lebih dari sekedar sahabat.”

Ada hangat yang terasa dari pelupuk mataku. Sebutir air mata tidak terasa mengalir melewati pipi.

”Kenapa, Gas? Kenapa? Apa aku tidak begitu cantik untuk menjadi kekasihmu? Atau aku kurang baik? Terus selama ini, apa maksud kamu mengantarkanku pulang, menemaniku belanja dan obrolan-obrolan nggak penting kita lewat telepon hingga larut malam? Jawab, Gas?” Kali ini air mata sudah mengalir deras dari kedua mataku.

”Bukan itu masalahnya, Ri!”

”Kalau bukan itu masalahnya, terus apa, Gas?” suaraku sedikit meninggi. Bingung, sedih dan marah bercampur menjadi satu di dalam dadaku. Sepertinya Bagas sangat tidak siap dengan pertanyaanku tadi.

”Jujur Ri, selama ini aku sudah berusaha untuk mencoba dekat denganmu. Aku berharap aku bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi nyatanya sekian lama aku dekat denganmu, rasa cinta itu tidak pernah ada. Maafkan aku, Ri. Bukan maksudku menyakitimu. Kamu terlalu baik untuk aku sakiti. Maaf, tapi aku bukan pria yang selama ini kamu kira.”

Nafasku tiba-tiba berhenti. Aku tidak bisa bernafas. Rasanya tenggorokanku tercekat. Tidak percaya dengan apa yang baru kudengar barusan. Ratusan bahkan ribuan kalimat rasanya ingin melompat keluar dari mulutku, namun sia-sia.

”Maksud kamu apa sih, Gas?”

”Aku bukan pria normal, Ri,” Bagas menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya “Aku gay. Ri”

Pandanganku mendadak kabur lalu berubah menjadi gelap.

 -The End-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

God Knows

01 Wednesday Aug 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@sanny_nielo, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Julianti Chiasidy

Prepared by Client:
Julianti Chiasidy (@sanny_nielo)

Sore itu, senja turun perlahan membungkus bumi. Dari jendela tempat aku duduk, aku menikmati semburat oranye yang menyilaukan dan nyanyian dengkuran halus di sisi kananku. Aku menoleh perlahan, di sanalah kudapati sosoknya sedang tertidur. Dengkuran halusnya, bukti betapa lelah harinya. Dan aku hanya bisa menarik nafas panjang. Kembali aku menikmati semburat oranye yang merambat masuk lewat celah-celah jendela, berpadu dengan dengkurannya.

Aku mengingat percakapan kami.

“Jangan terlalu menyiksa diri, kamu nggak perlu ambil semua tanggung jawab itu..”

Dia tersenyum. “Ini satu-satunya cara, supaya aku bisa mengalihkan pikiranku..”

“Mengalihkan dari apa? Dari Giana?”

“Dari Giana dan dari Papa, San..”

“Ada cara lain, El, nggak harus kaya gini..”

Dia, si Ello tersenyum. “Ini yang terbaik. Oke, nanti sore ya, di ruang rapat..” Ello berlalu dengan map tebalnya.

Aku menarik nafas panjang lagi, dan menatap wajah Ello yang masih tidur. Lelaki gigih, dengan berjuta mimpi dan keyakinan. Pribadinya yang supel, membuat dia memiliki banyak teman. Dan sisi charming-nya membuat banyak gadis jatuh cinta. Dari sekian gadis yang menyukainya, hatinya tertambat pada Giani Lupita. Gadis yang justru tidak menyukainya.  Sesuai dengan kegigihannya, Ello mengejar Giani hingga keujung dunia. Ya, Ello berangkat ke Perth dua bulan lalu, hanya untuk mengejar Giani. Sayangnya, Ello kembali sia-sia, dengan wajah suntuk dan penampilan lusuh. Hatinya telah tertolak.

Aku sama sekali tidak habis pikir. Bagaimana bisa Giani menolak laki-laki yang sampai menyusul dia ke Perth, hanya untuk menunjukkan kesungguhan hatinya dan perasaannya. Sampai hari ini, Ello sama sekali nggak mau cerita. Perihal dia tidak berhasil membawa Giani pulang. Tapi, aku sering mendapati Ello menatap foto Giani di Blackberry-nya, dan sesekali tersenyum nanar.

Suara Ello yang akhirnya terbangun dari tidur memecahkan lamunanku.

“San, jam berapa?”

“Setengah enam, El..”

Ello mengangkat badannya, dan merenggangkan punggungnya. “Ayo balik..”

“Kumpulin nyawa dulu..”

Ello tersenyum sambil mengucek matanya. “Pegel, San.. Capek juga ya..”

Aku mendengus. “Percuma, kamu nggak pernah dengerin kata-kataku..”

Ello menoleh ke arahku, memajukan wajahnya, sangat dekat. “Aku dengerin kok, kadang-kadang..” Kemudian dia tersenyum menggoda.

“Kamu selalu gitu, nggak takut kalo aku jatuh cinta sama kamu..”

“Kalo kamu jatuh cinta, ya nggak papa, masalahnya kan, aku mau nangkap cinta kamu yang jatuh apa nggak..”

“Eksplisit ya, bilang aja kamu nolak aku..”

“Siapa bilang..” Ello bangkit berdiri, menyilangkan tas slempangnya. “Ayo pulang..”

Aku tersenyum, ikut berdiri dan memanggul ranselku.

Ello berjalan di depanku, dan aku mengikutinya. Menyusuri lorong ruang rapat beragam Himpunan Mahasiswa yang sepi, masih dengan semburat oranye yang perlahan menghilang.

“El, percaya sama aku. Suatu hari, luka hati kamu karena Giani pasti sembuh.. dan kamu, kamu sama sekali nggak akan kaya Papa kamu.. Jangan sedih terus, El..”

Ello menoleh ke belakang, dan tersenyum. “Kamu juga bisa nemuin yang lebih baik dari aku..”

Aku tertunduk, nggak nyangka Ello bakal ngomong kaya gitu. Meski nggak ada maksud apa-apa, tapi kata-kata Ello itu cukup menyakitkan.

Ello mengulurkan tangan kanannya ke belakang, dan menggandeng tangan kiriku. “Jangan berdiri di tempat yang aku nggak bisa lihat..”

Dan selanjutnya kami memilih untuk diam.

***

NIELO. Sanny + Ello.

Aku menutup organizer bersampul beludru merah, dengan jahitan NIELO di atasnya. Desta, sahabatku, bilang, diary beludru itu adalah diary of Nielo. Ya, sebuah diary berisi cinta bertepuk sebelah tangan antara aku dan Ello.

Kami bertemu semester 4 dan aku jatuh cinta beberapa bulan berikutnya. Ello adalah sosok sahabat yang baik. Dia selalu berusaha ada, sekalipun dengan beragam kesibukan yang memang sudah dia tekuni sejak sebelum dia patah hati. He’s my guardian angel.

Seperti beragam kebetulan yang ada di bumi ini, aku juga nggak pernah tahu, bagaimana bisa aku dekat sama Ello. Sampai seperti saat ini. Layaknya sebuah persahabatan, banyak hal yang kami ceritakan. Kami saling berbagi bersama. Dan hari demi hari, kami semakin dekat. Begitupun dengan perasaanku yang semakin menguat.

Satu hal yang menarik dari kami, aku dan Ello adalah dua pribadi yang saling menjaga satu sama lain. Tapi kami sama-sama tidak dapat mengungkapkannya. Kami nyaman untuk selalu bersama, meski kami sadar, ada satu pembatas besar yang tidak akan pernah bisa kami lewati.

“Kalo aku bisa menemukan orang lain yang lebih baik daripada kamu, aku akan lakukan. Kenyataannya hingga saat ini, kamu adalah yang terbaik yang bisa aku miliki namun tidak aku miliki. Bagaimana caranya aku bisa mencari yang lain?”

“Kamu tahu sendiri, ketika kita bersama, akan ada banyak sekali luka. Kita sudah dewasa, San.. Kita nggak bisa berhenti seenaknya.”

“Apa kita memang nggak bisa melawan?”

“Apa kamu mau melawan?”

Aku terdiam, menggenggam telapak tanganku kuat-kuat. “Kita memang tidak pernah bisa melawannya.”

Ello menggenggam tanganku. “Mungkin kita memang hanya bisa sebatas ini, San. Tapi, aku benar-benar nyaman. Dan aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau ada hal yang bisa kita lawan, pasti akan kita lawan.”

Aku mengangguk sambil menahan air mataku, ini selalu jadi topik yang menyakitkan.

“Jangan menangis karena kita tidak bisa saling memiliki, tetapi bersyukurlah, karena Tuhan mu dan Tuhan ku, masih mengijinkan kita bertemu dan berbagi rasa. Masih mengijinkan aku untuk tetap menggenggam tanganmu seperti saat ini.”

Aku mengangguk lagi. “Dengarkan aku, Ello.. Jika kita bertemu lima tahun lagi, dan segalanya belum berubah, ayo kita bersama. Aku janji, saat itu, aku akan jauh lebih kuat. Aku akan melawan segalanya  dan aku pasti bisa mendampingimu.”

Ello menatapku bingung, namun akhirnya dia memutuskan untuk mengangguk dan tersenyum.

“Aku boleh memelukmu?”

Ello merentangkan kedua tangannya dan aku langsung memeluknya. Aku tumpahkan beragam duka dan luka yang selama ini ku simpan, akan ku kenang hari ini sebagai satu hari terbaik dalam hidupku.

“Apa kamu menyayangiku?”

“Iya aku menyayangimu..” Ello mengusap punggungku yang bergetar dengan tangis pilu.

***

Ello memang tidak pernah mengingkari janjinya, aku pun tidak, kita tetap berkirim kabar, sampai sebuah email membawaku kemari. Aku duduk tenang di kursi deretan depan, dengan dress tertutup dan high heels 12 cm, dan riasan sederhana, sesekali aku melempar senyum, menyembunyikan luka menganga yang sekali lagi tertoreh dalam.

Wedding Bell berdering, dan Ello menggandeng Giani memasuki pintu gereja dan melangkah dengan pasti menuju altar.

Inilah alasan akhirnya Ello mendapatkan Giana.

“Apa alasanmu menolakku, G?”

“Karena kamu selalu bersama gadis itu, gadis yang tidak aku sukai..”

“Sanny maksud kamu?”

Giani mengangguk. “Ada pilihan yang harus kamu buat, aku atau dia..”

Dear Giani, kamu tidak perlu meminta Ello membuat pilihannya. Takdir kami telah memilih dengan baik, terlebih Tuhan kami.

 –The End–

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: