Tags
Prepared by:
Roy Saputra (@saputraroy)
Alkisah, hiduplah seorang Pocong. Semasa jayanya, Pocong adalah seorang superstar, bintang film papan atas, dan bahkan pernah bermain iklan bareng Luna Maya di sebuah iklan sabun cuci. Luna Maya jadi ibunya, Pocong jadi baskom cuciannya. Berbagai judul film yang ada kata Pocong-nya, pasti ia yang perankan. Saking suksesnya, ia pernah mendapat gelar sebagai pemain film horror dengan bayaran tertinggi.
Tapi itu dulu.
Sekarang tawaran main film mulai berkurang. Meskipun ada, itupun untuk film komedi atau parodi. Tidak ada adegan kejar-mengejar calon korban, tusuk menusuk jantung, atau gigit mengigit leher. Yang ada hanya adegan lompat-melompat lalu kejedot tembok. Dan semua itu minim dialog. Padahal Pocong sudah ambil kelas aksen berbagai macam negara sebanyak 5 pertemuan di sela-sela jadwal shooting. Ia merasa kemampuan beraktingnya kurang dieksploitasi saat bermain film komedi. Ia ingin kembali bermain film horor namun tawaran sedang sepi.
Di masa sulit seperti ini, Pocong berbagi sewa apartemen dengan Kuntilanak di Jakarta Pusat. Kunti -begitu sapaan akrab Kuntilanak- juga seorang pemain film kawakan, seangkatan dengan Pocong, Suster Ngesot, dan Jelangkung. Kunti berkenalan dengan Pocong saat ia sedang jalan-jalan ke Singapura naik budget airlines. Bertemu saat Pocong sedang bingung ingin minta tolong siapa untuk mengambil fotonya di patung Merlion. Jangankan teman, jempol untuk menekan tombol kamera pun ia tak ada. Untung ada Kunti di situ, dan singkat cerita, mereka menjadi akrab.
Di suatu malam yang naas, mereka berdua sedang santai di ruang tengah apartemen. Ditemani lagu yang bermain pelan dari radio, Pocong duduk di sofa, menonton acara berita di televisi yang dengan santainya bertanya bagaimana-perasaan-anda pada korban bencana alam. Kunti sendiri rebahan di karpet, membaca majalah anak muda masa kini, sambil menggoyang-goyangkan kaki. Awalnya mereka berbincang tentang politik dan kaitannya dengan harga cabai yang melonjak. Namun saat ada kesempatan, Pocong curhat tentang kariernya yang semakin suram. Tadinya ia mau curcol, alias curhat colongan. Tapi karena banyak yang ingin ia bahas, sepertinya ini akan jadi curpandik, alias curhat panjangan dikit.
“Kun, tawaran main film sepi banget ya sekarang?” Pocong memulai sesi curhat malam itu.
“Iya, Cong. Musim film sudah berganti. Film-film horror sudah ndak happening lagi,” jawab Kunti dengan logat Jawa-nya, sambil sibuk membalik-balikkan halaman majalah.
“Tapi kan gue gak mesti main film horror, Kun. Film apa aja gue cocok kok,” balas Pocong sambil menggaruk-garuk pipinya yang bernanah. Entah apa yang di pikirannya sehingga ia yakin bisa berhasil main di film non horror dengan pipi yang kurang higienis.
“Yang lagi ngetop itu film dari akun Twitter gitu. Kamu main Twitter ndak, Cong?” tanya Kunti.
Pocong terdiam sejenak dan membuka akun Twitter dari gadgetnya. Akun @Pocong_Asli_Sumpah_Deh sudah ia buat sejak beberapa bulan lalu, tapi followernya hanya 3. Ibu, Bapak, dan seorang satpam yang ia ancam sebelumnya. Isi twitnya berkisar tentang kehidupan sehari-hari, sambil sering kali meng-RT[1] artis idolanya, Anisa Chibi. Suatu kali si satpam menge-twit bahwa Pocong sepi follower karena ia RT abuser dan sering pakai twitlonger. Pocong mengiyakan pernyataan itu, dengan meng-RT sampai perlu pakai twitlonger.
Begitu semangatnya mencari follower, Pocong sampai memasang bio: Folbek? Just mention. Tidak hanya sampai di situ. Ia membuat kuis. Jika followernya sudah sampai 100, ia akan bagi-bagi voucher pulsa. Tapi itu semua gagal. Sempat terpikir untuk meng-copy paste twit akun lain, namun ia punya prinsip lebih baik sepi follower daripada harus mencuri kreativitas orang.
Diam-diam, Pocong meng-log out Twitter, “Gak, Kun. Gue gak main Twitter. Ada film lain?”
“Hmm,” Kunti berpikir sejenak, “Sekarang juga lagi banyak film yang diadaptasi dari novel gitu, Cong.”
“Wah, cocok ini!” seru Pocong antusias.
“Tapi ceritanya tentang kaum urban gitu,” jelas Kunti, “Orang kantoran dengan problematikanya.”
Pocong tak mau mati angin, “Bisa lah gue jadi orang kantoran! Bisa!”
Kunti menoleh ke arah Pocong dan menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala, “Orang kantoran, Cong? Putih lonjong kayak kamu mah paling banter jadi pilar di lobby kantor. Atau mentok-mentoknya jadi cadangan kertas mesin fax.”
“Ck. Jaman bener-bener sudah berubah ya, Kun?” keluh Pocong.
Kunti menghela nafas dan menutup majalah yang sedari tadi ia baca, “Begitulah, Cong. Musim berganti. Masa jaya kita sudah lewat, meski begitu…”
“Gue tau, Kun!” teriak Pocong memotong petuah Kunti, “Kita bikin boyband aja! Kan lagi happening tuh. Nyanyi sambil joget-joget.”
Kunti menepuk jidat, “Boyband? Tapi aku kan perempuan?”
“Ya udah, ya udah. Idol group, gimana? Bikin AKB48. Anak Kuburan Belakang. Anggotanya 48 orang.”
“Cong, ada dua hal yang mesti aku sampaikan. Satu, AKB48 itu sudah ada, MONYONG. Dua, terakhir aku cek di Badan Setan Nasional[2], jumlah setan di Indonesia ndak sampai 48 deh!”
“Oh gitu ya? Ya udah, vocal group aja, gimana? Tapi tetep pake joget,” tawar Pocong.
“Memangnya kamu mau ajak siapa saja?”
Pocong menaikkan alisnya sebelah, “Setan Pondok Indah, Setan Rumah Kentang, ama Suster Ngesot.”
“Setan Pondok Indah itu sudah pindah,” kata Kunti menjelaskan, “Yang aku tau, dia pindah ke Pondok Labu. Namanya jadi Setan Pondok Labu sekarang. Sejak itu dia minderan, sudah jarang bergaul. Menurut dia, nama Setan Pondok Labu ndak keren dan jadi berasa mirip ulet.”
“Waduh. Kalo Setan Rumah Kentang gimana?”
“Sejak sukses buka Potato House di mall-mall jadi belagu dia sekarang. Sudah ndak level mainan sama kita. Padahal waktu masih jualan perkedel, sering banget pinjem duit sama aku buat beli pulsa. Sekarang mah sombong dia. Cuih!”
“Kun.”
“Ya, Cong?”
“MBOK YA NGELUDAHNYA YANG BENER,” protes Pocong sambil membersihkan ludah yang menempel di jidatnya.
“Maaf deh, maaf. Hihihihihi.”
“Kun, ketawanya biasa aja deh. Serem tau.”
“Oh iya, lupa. Ndak ada mangsa di sini. Hehehe.”
Pocong meneruskan, “Kalau Suster Ngesot gimana?”
“Jalan saja ngesot, gimana mau joget?”
Pocong menunduk lesu. Ada gurat putus asa yang tertempel di mimik wajahnya. Jaman benar-benar sudah berubah. Trend berganti, teman berpindah, semua berubah. Pocong merasa kalah, terdesak oleh perubahan-perubahan itu. Jaman seperti berlari meninggalkan Pocong dan jajaran artis horor lainnya.
Di tengah kebingungannya itu, Pocong melompat pelan ke arah jendela. Di setiap lompatan, ia teringat semua judul film yang pernah ia bintangi. Semua karya yang sempat ia banggakan. Tepat di lompatan yang terakhir, kariernya pun berhenti. Gegap gempita masa lalunya meredup seperti halnya langit Jakarta.
“Jakarta udah gak punya bintang ya, Kun. Dulu waktu pertama kali sampai Jakarta, rasanya bintang masih ada meski hanya beberapa,” ucapnya sambil menatap luasnya langit dari balik jendela lantai 23.
“Hihihihihi.”
“Kun…”
Oh iya. Hehehe. Tumben banget kamu lihat bintang,” goda Kunti.
“Dulu juga suka kali, Kun. Sebelum jadi seleb.”
“Mana sempat. Dulu itu kerjaan kita nakut-nakutin orang buat kesenangan. Makan sate gagak sepiring berdua. Ketawa-ketawa sampai pagi. Dulu mah lebih gak sempat untuk lihat bintang.”
“Iya ya. Duh, gue jadi kangen waktu dulu.”
“Dulu yang mana?” Kunti bangkit dari posisinya dan berjalan menghampiri Pocong, “Yang menakut-nakuti orang demi kesenangan, atau yang menakuti-nakuti orang karena tuntutan peran?”
Pocong tersenyum getir, “Entah lah, Kun. Rasanya semua berubah ya.”
“Satu-satunya hal yang ndak berubah adalah perubahan itu sendiri. Tinggal bagaimana kita menyikapinya saja, Cong.”
“Kun, lo abis baca apa sih? Kok jadi bener gini omongannya?”
“Ye, dibilangi bener malah bercanda. Pantes ndak ada yang ngajak main film!” jawab Kunti ketus.
“Hehehe. Gitu aja marah deh, Kun. Lanjut dulu ah petuahnya.”
“Ya intinya sih, nikmati saja saat ini dengan segala perubahannya, Cong. Ke depannya bagaimana, ndak ada yang tau,” tangan Kunti merangkul pundak Pocong, “Yang penting tetap jalani saja sambil terus merangkai mimpi.”
Mata keduanya menatap kosong pada langit Jakarta yang sepi. Bulan sedang tak muncul dan bintang sudah pudar ditelan cahaya lampu yang terpantul. Mulut keduanya hening. Hanya lagu dari radio yang sayup sayup terdengar mengisi ruang.
Lihat ke langit luas
Dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan khayalku
Selalu bermimpi dengan hariku
“Seperti aku ini,” lanjut Kunti memecah sepi, “Menikmati perubahan, menatap langit bersama bintang.”
“Tapi kan langit Jakarta sudah gak berbintang, Kun?”
“Siapa bilang bintang yang di langit? Di sebelahku kan bintang film kenamaan.”
“Ah, Kunti mah bisa aja deh.” Pocong menyenggol badan Kunti dengan sikunya yang terbungkus kafan.
Kikuk. Pocong dan Kunti mati gaya. Hanya ekor mata Kunti yang sesekali mencuri pandang ke arah pria berbungkus kain di sebelahnya itu. Perlu satu tarikan nafas bagi Kunti sebelum ia memberanikan diri mengatakan kalimat berikutnya.
“Seberapa jauh pun jaman berubah, kamu tuh tetap jadi bintang di hatiku, Cong.”
Pocong menoleh ke arah Kunti. Ada hening di antara mereka. Namun spasi ruang diam-diam mereka lahap dan keduanya kini mendekat. Saling menatap lompatan rasa yang terukir jelas di mata keduanya. Sama-sama membisu dan hanya menperdengarkan deru nafas yang memburu. Pipi merona, lalu mata Kunti terpejam. Disaksikan langit tak berbintang, keduanya saling melumat bibir, menikmati perubahan yang melupakan keindahan mereka.
Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang
Yang terindah meski terlupakan
Dan selalu terangi dunia
Mereka-reka, hanya aku dan bintang
“Cong…” Suara Kunti terdengar lirih.
“Hmm… Apa, Kun?” balas Pocong dalam desahan.
“Kamu… kamu belum mandi ya?”
Pocong menarik kepalanya sedikit dan mengendus kain kafannya sendiri, “Eh? Bau ya?”
“Ndak apa-apa. Mandinya lain kali saja. Sekarang diam dan lekas cium aku.”