Tags

, , , , ,

Prepared by: MH
Reviewed by: GP 

Dengan terburu-buru gue meninggalkan parkiran motor, karena waktu menunjukkan 10 menit lewat dari jam masuk kerja gue. Baru beberapa langkah kemudian gue tersadar masih mengenakan jaket merah kesayangan. Lalu gue pun kembali ke tempat motor diparkir untuk meninggalkan jaket ini.

SRREEEET.

Gue buka perlahan resleting jaket yang mengeluarkan suara seperti decitan. Membuat pikiran gue tiba-tiba tertuju pada sosok seseorang. Wanita yang setahun terakhir ini pernah mengisi hari-hari gue. Dia selalu menggoda tiap kali gue menboncengnya, dengan bilang jaket gue ini persis jaket tukang ojek. Dia semakin senang melihat mulut manyun gue, yang ngga terima disamakan dengan abang ojek. Tapi kadang gue juga membalas godaannya. Suatu waktu gue pernah mengantarnya pulang. Ketika sampai depan rumahnya, gue iseng menagih tarif bayaran. “Lima belas ribu aja, neng”. Tapi yang gue terima adalah sebuah tinju di lengan gue.

Melalui kaca spion motor, gue mendapati bibir gue menyunggingkan lengkungan senyuman. Jokes ojek kami berdua memang lucu sampai-sampai gue masih bisa tersenyum mengingatnya.

Jaket yang sudah gue lepaskan kemudian gue simpan di bawah jok motor dengan asal. Gue seperti masih mendengar suara wanita itu yang selalu mengkritik cara gue melipat jaket. Dan seperti biasa, gue hanya melenggang meninggalkannya yang masih ngomel-ngomel. Gue memang ngga pernah mau menuruti kata-katanya. Dan membuatnya kesal sudah menjadi hobi gue. Shit, kenapa gue jadi mengenang dia?

Faktanya tidak mudah melupakan kebiasaan yang pernah dijalani bersamanya. Jangan salah, meski gue lah yang menolak cintanya sampai dia memutuskan tali persahabatan dengan gue. Tapi bukan berarti gue bisa tenang. Gue akui sangat gelisah sebulan ini. Tidak terasa sudah berlalu empat minggu sejak kejadian di taman malam itu. Peristiwa malam itu terjadi begitu cepat. Di malam hari gue melihatnya menangis memohon cinta gue, keesokan harinya gue mendapati dia sudah memutuskan semua komunikasi dengan gue. Mengapa? Tidakkah gue berhak diberi penjelasan?

Setiap harinya gue berharap dapat bertemu dengannya di lingkungan kantor. Kami memang berada di gedung kantor yang sama. Tapi semesta sepertinya berkonspirasi dengannya, agar tidak mengijinkannya bertemu gue secara tidak sengaja. Gue ingin sekali bertemu dengannya, melihatnya. Bukan, bukan karena kangen. Mana mungkin? Gue yang tidak menginginkannya, bukan? Tegas gue dalam hati. Gue selalu berusaha meyakinkan diri, kalau memang gue tidak seharusnya memikirkan dia. Apalagi sampai ingin bertemu, karena gue tidak punya perasaan apapun padanya.

Gue melanjutkan langkah menuju gedung kantor dengan setengah berlari. Tampaknya banyak yang terlambat senin pagi ini sama halnya dengan gue. Antrean masuk gedung agak lebih panjang dari biasanya. Pak sekuriti memeriksa sau per satu yang akan memasui gedung sudah seperti di bandara saja. Setelah akhirnya berhasil melewati pintu detector gue kembali tergesa menuju lift.

DEG.

Di antara kerumunan orang-orang yang menunggu lift, sepertinya ada wanita yang mirip sekali dengan dia. Usaha gue mempercepat langkah kaki malah tampak seperti adegan slow motion. Benar kah itu dia?

Berdiri anggun dengan balutan baju merah muda. Tampak cerah. Tidak seharusnya wanita yang sedang patah hati berpenampilan seperti itu. Seharusnya dia terlihat memperihatinkan, bukan mengagumkan begini.

Lima langkah lagi untuk sampai lebih dekat padanya. Dia terlihat sibuk dengan blackberry putihnya. Apakah dia sedang berkirim BBM dengan seseorang? Secepat itu dia mendapatkan pengganti gue?

Lalu mengapa gue harus peduli?

Satu langkah lagi. Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah gue. Dia terlihat sedikit terkejut dan dengan cepat kembali membuang wajahnya dari gue. Dia bahkan tidak menggubris senyuman yang gue lemparkan padanya.

Astaga. Angkuh sekali wanita ini. Apakah dia sekarang sudah benar-benar tidak menganggap gue ada? Dia pura-pura tidak mengenal gue? Tidak cukup memutuskan kontak dengan gue, masih perlu dia memperlakukan gue seperti orang asing?

TING.

Pintu lift yang kami tunggu terbuka. Kami berbarengan memasuki lift tersebut. Kami berdua terdiam. Sangat tidak nyaman. Rasanya ingin sekali gue menariknya lalu mengeluarkan jeritan hati gue selama ini. Jadi begini perilakunya yang pernah mengatakan sangat menyayangi gue? Jadi begini caranya membalas penolakan gue? Membalas sakit hatinya dengan memberikan sakit yang sama pada hati gue?

Dia menunduk. Gue yang berdiri selangkah di belakangnya masih bisa memperhatikannya dari ujung rambut sampai kaki. Tubuh yang pernah memeluk gue dengan manjanya, kini seperti magnet dengan kutub yang sama sehingga memberikan tolakan kuat atas keberadaan gue.

TING.

Setelah dua menit lift bergerak akhirnya pintu terbuka. Dia dan juga beberapa orang melangkah ke luar dari lift. Dua menit terlama dalam hidup gue.

Please, tengok gue. Please. Mohon gue dalam hati. Gue masih berharap ada sedikit saja iba yang dia berikan pada pria yang sudah dia buat tercecer harga dirinya.

Dia tidak menengok. Dia terus berjalan memunggungi gue sampai pintu lift kembali menutup dan melanjutkan perjalanannya ke lantai atas.

Seperti gue yang harus melanjutkan perjalanan hidup tanpanya.

Per detik ini, hari-hari gue akan dilewati dengan kenyataan bahwa wanita itu kini hanya menjadi seseorang yang pernah gue kenal.

Now and then I think of when we were together
Like when you said you felt so happy you could die
Told myself that you were right for me
But felt so lonely in your company
But that was love and it’s an ache I still remember

But you didn’t have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don’t even need your love
But you treat me like a stranger and I feel so rough
[Gotye]

(to be continued..)

Advertisement