Tags
Prepared by: MH
Reviewed by: GP
Nama saya Sani. Wanita berusia 30 tahun. Saya sudah hampir 8 tahun mengadu nasib di Jakarta. Keluarga saya tinggal di kota kecil di daerah Jawa Tengah, tepatnya di Boyolali. Kesibukan bekerja dan berbagai aktifitas membuat saya enggak punya jadwal rutin untuk pulang mengunjungi orang tua. Sebenarnya itu hanya alasan semata saja. Sudah tiga tahun terakhir ini saya memang sengaja menghindar pulang ke rumah.
Kadang saya enggak tega mendengar suara ibu di telepon yang mengiba menanyakan keadaan si sulungnya ini. Di setiap desahan napasnya menyiratkan kerinduan yang dalam.
“Minggu depan ono libur kejepit. Kowe mulih kan, Ndok?” tanya ibu minggu lalu.
“Sani..hmm..sudah ada jadwal motret sama klub fotografi di Ujung Genteng, Bu. Iya, enggak bisa di-resechedule lagi.” jawab saya berbohong. Terpaksa.
“Kalau gitu ngesok-ngesok motretnya ke kampung kita wae, biar kowe bisa sekalian mulih.” sungut ibu.
Setelah menutup telepon ibu, lalu saya memesan tiket kereta untuk pulang ke kampung halaman. Sekarang di sini lah saya berdiri. Pukul 5 lewat 30 menit di stasiun kereta api. Pinggang sudah enggak karuan rasanya karena berjam-jam duduk. Salah satu alasan mengapa saya malas pulang kampung. Belum lagi hiruk pikuk di dalam stasiun tua yang kotor ini sangat membuat saya alergi. Setiap mata yang lalu lalang tergesa di sekitar saya terlihat lelah. Beberapa di antara yang lewat bahkan ada yang
sempat melirik sinis, seolah berkata “Masih ingat rumah?”.
Cuekin. Cuekin. Perasaan kamu aja ini, San.
Dari stasiun saya harus naik angkutan umum lagi. Kurang lebih lima belas menit lagi saya akan sampai ke rumah. Saat itu fajar seharusnya sudah terbit.
Rumah. Saya mencoba mendefinisikan kembali apa itu rumah. Rumah adalah tempat di mana kita merasa nyaman di dalamnya. Apakah rumah kedua orang tua saya disebut rumah?
Tidak.
Itulah alasan utama saya jarang kembali pulang. Rumah ibu bapak adalah sekedar tempat saya berasal, tapi sudah lama tidak memberikan kenyamanan lagi di dalamnya.
Bukan, bukan karena rumahnya yang sederhana dan sempit. Keluarga saya bukan keluarga berada. Bapak hanya seorang PNS dengan penghasilan yang memaksa kami harus hidup ala kadarnya. Saya dulu pernah mencintai rumah tua kami. Dulu, sebelum saya memasuki usia yang dianggap perawan tua oleh tetangga sekitar. Gunjingan mereka yang memandang masih sendiri di usia 30 adalah tanda enggak laku-laku, sungguh menyakitkan buat saya. Dan omongan sekitar itulah yang membawa pengaruh buruk bagi ibu yang akhirnya selalu mengomel tiap kali saya pulang.
Mereka pikir saya tidak tertekan? Tolong jangan buat saya tambah tertekan.
Pikiran saya terhenti oleh sebuah mini bus yang datang dari arah selatan. Angkutan dengan nomor trayek yang akan membawa saya menuju kampung halaman. Saya segera berdiri dari tempat duduk di halte dekat stasiun ini. Tanpa perlu melambaikan tangan lagi, kendaraan itu sudah berhenti di depan saya. Masih ada tempat kosong, beruntung sekali saya tidak perlu terjebak di dalam angkutan yang mengetem menunggu peumpang sampai penuh.
Seandainya penantian saya terhadap jodoh secepat saya menunggu angkutan umum di pagi ini.
Saya butuh ketenangan di tempat asal saya, bukan petuah-petuah yang seolah menuding negatif atas pilihan hidup yang saya jalani. Tiga tahun yang lalu, saya memilih untuk menolak dijodohkan.
Penolakan saya terhadap perjodohan yang sudah diatur ibu dengan salah seorang temannya. Saya saat itu punya ego yang tinggi. Saya enggak mau dijodohkan, saya mau mencari sendiri. Saya mau menikahi pilihan saya sendiri.
“Mana buktinya? Katanya mau pilihan kowe dewe? Lah wuis bertahun-tahun ndak juga ono yang dikenalin ke ibu toh, Ndok.” Saya teringat omelan ibu sewaktu saya pulang lebaran tahun lalu. Ibu lalu mulai menyalahkan saya lagi karena tidak menuruti perintahnya.
Ah ibu, haruskah Sani mengorbankan perasaan sendiri untuk kebahagiaan ibu.
Saya sudah terlalu sering tidak mengindahkan saran ibu bapak. Menolak dikenalkan sana-sini. Apakah sudah saatnya bagi saya untuk mengalahkan ego seorang anak kali ini? Untuk kebahagian kedua orang tua yang sangat menginginkan melihat anaknya menikah, mumpung masih ada waktu di dunia ini.
Ya ampun sungguh menyakitkan. Tahukah para orang tua, bahwa belum menikah itu juga menjadi PR terbesar seorang anak kepada orang tuanya. Karena ternyata sukses saja belum cukup. Untuk sebagian mereka masih malah ada yang merasa berdosa karena terlambat menikahkan anaknya. Dan sungguh bukan keinginanku untuk belum menikah di usia 30 ini. Seseorang berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Ini hidup saya, saya lah yang menjalaninya. Tapi kebahagiaan yang saya jalani ternyata menyakiti kedua orang tua saya. Dan apakah ada yang lebih menyakitkan dari melihat ibumu menangis karenamu?
Pertigaan jalan memasuki kawasan kampung saya sudah terlihat. Saya segera menenteng tas bawaan dan memeriksanya kembali agar jangan ada yang tertinggal.
“Pertigaan depan, Pak.” Kemudian saya turun dari kendaraan berasap tebal ini dan menyerahkan uang pas sebagai ongkos naik angkutan. Lalu kendaraan itu berlalu meninggalkan saya yang segera menutupi hidung akibat polusi. Jalanan masih kosong sehingga saya bisa langsung menyeberanginya.
Saya menyusuri gank setapak yang menuju rumah ibu bapak. Kalau di kota besar pagi buta begini mungkin penduduknya masih tertidur pulas, ditambah lagi ini hari libur. Di kampung sudah banyak yang beraktivitas. Seperti ibu-ibu yang sedang metani (mencabut rambut putih) di halaman rumahnya.
“Eh nak Sani. Kowe mulih. Mampir sek.” salah seorang tetangga menyapa. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya tau itu hanya basa-basi. Tapi saya senang, karena keramahan seperti ini sudah jarang sekali ditemui di kota saya tinggal sekarang.
Beberapa langkah lagi saya segera sampai rumah. Sedikit terhalang anak-anak kecil yang bermain sambil berlarian.
“Eh berhenti, berhenti dulu. Nih, Mbak Sani kasih duit buat jajan ya. Bagi-bagi ya.” Lalu saya membagikan beberapa lembar uang kertas. Jumlahnya bahkan enggak cukup untuk membeli semangkok bakso di Jakarta, tapi sudah membuat bocah-bocah kampung ini girang. Membuat hati saya hangat melihat keceriaan mereka.
“Assalammualaikum, Ibu. Sani mulih, Bu.” Suara saya yang tiba-tiba muncul di pintu rumah membuat ibu terkaget. Lalu berlarian memeluk putrinya yang pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu ini.
Ada genangan di mata ibu. Ada cinta mengambang di sana. Lalu ada Bapak yang juga memandang sendu penuh rindu. Dan adik laki-laki remaja semata wayang yang sudah beranjak dewasa. Sudah pantas menyandang predikat pria penakluk gadis remaja sekarang.
Mereka bertiga memeluk saya erat. Menciumi kening saya bertubi-tubi. Saya layangkan lagi pandangan kepada ketiganya satu-persatu. Tidak ada kekecewaan akan sikap saya yang seolah sudah melupakan mereka selama ini. Saya mengerti akhirnya, selama ini saya hanya takut mereka marah. Saya hanya menghindari omongan miring. Saya lari menghindari masalah. Dan ketiga orang terkasih ini enggak pernah marah sedikitpun pada saya.
Dan seketika, saya pun menyadari definisi arti rumah yang sebenarnya.
Rumah adalah tempat di mana ada orang yang mencintai dan menantimu untuk pulang.
Thanks, God. I’m home.
Ini judulnya cerpen apa curhat, Mi….? *kabur naik kuda putih*
Actually, ini bukan pengalaman gue kok tp orang lain :D