Prepared by: GP
Reviewed by: MH
Matahari telah terlelap ketika Cherry gue pacu keluar mall. Gagal sudah keinginan gue untuk memanjakan diri di salon. Hilang mood. Sebagai gantinya, gue malah pergi ke supermarket guna berbelanja keperluan bulanan.
Lampu merah menyala. Menghitung mundur seratus dua puluh detik sebelum akhirnya berganti hijau. Seratus dua puluh detik. Dua menit. Lumayan lama juga.
Ekor mata melirik jam tangan. Ah, sudah delapan menit lewat dari jam tujuh malam.
Astaga. Bahkan kegiatan melihat jam tangan pun dapat mengingatkan gue lagi dengannya. Gue ingat, ketika sedang menulis, ia harus berhenti menggerakkan pulpennya demi mengetahui jam berapa sekarang. Apabila sedang minum, ia terpaksa memindahkan gelasnya ke tangan kiri, sebelum akhirnya bisa melihat jam tangan.
“Kenapa pake jam tangan di sebelah kanan sih?” Protes gue pada suatu waktu. Saat itu tangan kanannya melepaskan genggaman tangan kiri gue demi mengecek, sudah terlalu larutkah bagi kami berdua dalam menghabiskan waktu bersama.
Ia hanya tersenyum. Tangan kanannya menggapai telapak tangan kiri gue. Jari-jari kami pun kembali bertautan, tergenggam erat satu sama lain.
“Kalau gue make jam di tangan kiri, jam tangan kita nggak akan pernah ketemu. Liat deh. Mereka bakal jalan sendiri-sendiri. Kasian kan?” Katanya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
Ya, gue mengenakan jam tangan di sebelah kiri. Sedangkan ia, di tangan kanannya. Dan kami selalu tersenyum berpandangan penuh arti apabila kedua jam tersebut bergesekan, ketika kami bergandengan tangan.
Makanya gue benci melihat pemandangan di mallsore tadi. Bahwa ada tangan kiri lain yang bertaut dengan tangan kanannya. Wanita itu mengenakan jam tangan di sebelah kiri, persis seperti gue.
Lampu hijau menyala.
Thanks, God.Dua menit yang ditunggu akhirnya datang juga. Klakson berbunyi sana sini, khas Jakarta. Pertanda para pengemudi sudah tak sabar untuk segera memacu kendaraannya.
Cherry tepat berada di depan lampu lalu lintas ketika akhirnya si merah kembali menyala dan menghitung ulang seratus dua puluh detik. Lirikan maut polisi di ujung sana membuat gue tidak berani mengambil resiko dengan menorobos lampu merah.
Ah…sial. Maki gue dalam hati. Seratus dua puluh detik kedua yang harus dilewati malam ini. Dan lagu Tertatih oleh Kerispatih ter-shuffle di CD player Cherry. Seolah turut berbela sungkawa atas keadaan gue hari ini.
Begitu dalamnya aku terjatuh…
Pada kehampaan rasa ini…
Jujur… Aku tak sanggup…
Aku tak bisa…
Aku tak mampu…
Dan aku tertatih…
Semua yang pernah kita lewati…
Tak mungkin dapat kudustai…
Mendadak hujan turun. Langsung lebat. Seperti ada sepasang tangan raksasa yang menyiram permukaan bumi dari angkasa. Sontak pengguna jalan berlarian. Mencari tempat berteduh terdekat dari jangkauan.
Tak disengaja, mata gue terpaku pada seorang anak lelaki. Berusia kurang lebih sepuluh tahun. Berperawakan sedang, cenderung kurus. Kulitnya hitam, pertanda sering terbakar matahari. Sekarang ia basah kuyup, badannya menggigil kedinginan.
Berhenti di halte bus, ia meletakkan barang bawaan yang dipanggulnya. Semacam tongkat panjang yang diletakkan di bahu, yang di kedua ujungnya terdapat keranjang anyaman bambu.
Keranjang anyaman bambu tersebut dijadikan tempat duduk olehnya. Setelah gue teliti, ternyata kedua keranjang tersebut berisi cobek. Iya, cobek. Alat untuk mengulek sambal atau bumbu masakan. Terbuat dari batu. Berat sekali tampaknya.
Gue mengernyitkan dahi, bingung. Anak berusia segitu, jam segini, memanggul cobek? Siapa yang mau membeli benda tersebut di sini? Oh, atau mungkin ia baru saja pulang sehabis berjualan di pasar tradisional di perempatan sebelum ini.
Sang anak duduk termenung. Menunggu hujan reda. Barang dagangannya masih penuh, pertanda dewi fortuna belum mengunjunginya hari ini. Kedua tangannya tergenggam satu sama lain, diletakkan di depan mulut. Mengusir hawa dingin yang datang bersamaan dengan hujan.
Seketika, gue merasa tertampar keras di wajah. Ia masih belia, namun sudah harus memikul perjuangan berat hanya untuk bertahan hidup. Sementara gue? Beban terberat yang pernah gue rasakan hanyalah…patah hati.
Suara klakson mobil bersahut-sahutan seolah membentak gue untuk segera bangun dari lamunan.
Dan gue pun segera menjalankan Cherry perlahan. Konyol sekali rasanya kalau sampai harus terjebak selama seratus dua puluh detik untuk ketiga kalinya, di tempat yang sama.
***
Senin pagi. Identik dengan kesiangan atau terlambat bangun pagi. Kali ini penyebabnya adalah alarm telepon genggam tidak menyala. Gara-garanya ia mati kehabisan baterai, dan pemiliknya ini ketiduran semalam. Terlalu lelah untuk memberinya makan terlebih dahulu.
Tergesa-gesa gue menyusuri lobi, menuju ke lift. Untungnya gue kenal baik dengan para satpam gedung ini. Jadi gue bisa mempercayakan Cherry untuk dicarikan parkir oleh salah satu dari mereka.
Sambil menunggu lift, gue merapikan rambut. Dan pakaian. Serta napas yang masih memburu kencang.
Okay…. rileks…
Tarik napas….. Buang napas….
Tarik napas lagi….. Buang napas lagi…..
Tarik napas……
Hhhffftttt…..
Nyaris saja gue lupa membuang napas lagi ketika melihat sesosok lelaki yang tampak familiar berjalan mendekat.
Oh, God. No. Please, not now.
Sambil mengatur napas, gue berdoa dalam hati. Mudah-mudahan lelaki itu bukan dia. Gue belum siap bertemu dengannya saat ini. Semoga gue salah lihat, karena gue nggak mengenakan kaca mata gue pagi ini. Demi semua dewa dewi lift, please God. Please.
TING!
Syukurlah pintu lift akhirnya terbuka. Secepat kilat gue memasuki lift. Gue sempatkan untuk melirik ke arah lelaki mencurigakan itu. Dan, ah. Ternyata dewa dewi lift sedang tidak bersahabat. Doa gue tak terkabul.
Lelaki itu memang dia.
Rambut ikal, hidung mancung, kemeja abu-abu. Seratus persen itu memang dirinya. Gue tidak salah lihat.
Okay, Blackberry mana Blackberry? Dengan gaya yang sangat di-cool-cool-kan, gue mengambil Blackberry dari dalam tas. Ah, sial. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Nobody miss me.
Demi menghilangkan grogi, gue membuka linimasa Twitter. Kata-kata berseliweran di depan mata, tanpa ada satupun yang tertangkap di kepala.
Gue melirik ke penunjuk lantai di bagian atas lift.
Astaga naga terbang! Dari tadi baru sampai lantai tiga? Perasaan udah lama banget deh.
Mata gue terus mengawasi penunjuk lantai.
Lantai empat. Seorang wanita oriental berkemeja pink keluar, berbarengan dengan seseorang yang tampaknya merupakan teman lelakinya.
Lantai lima. Di Twitter ternyata sedang ramai permainan tagar #CapekGakSih. Ingin rasanya mem-post “#CapekGakSih satu lift sama #nomention?”, tapi itu terdengar terlalu kekanak-kanakan. Jadi gue batalkan.
Lantai enam. God please. Dua lantai lagi.
Lantai tujuh. Lift berhenti lagi. Seorang lelaki gemuk pendek bermata besar, masuk. Ia menekan angka sepuluh sebagai lantai tujuannya.
Gue mengalami seratus dua puluh detik mengingat caranya mengenakan jam tangan. Seratus dua puluh detik berikutnya mengamati bocah si pedagang cobek. Namun, rasanya tidak ada yang lebih lama dari seratus dua puluh detik di lift bersama dia, orang yang pernah gue sayang. Oh, atau mungkin sebenarnya masih gue sayang.
Saatnya melangkah keluar. Apakah gue harus menoleh ke belakang, sekedar memberi senyuman?
Sepersekian detik, gue merasa bimbang.
Tapi akhirnya gue memutuskan untuk tidak membuang energi. Yang berlalu, biarlah berlalu. Karena diri gue menolak untuk melihat ke belakang. Baik secara harfiah, maupun secara istilah. Terima saja, sayang.
TING!
(to be continued…)