Tags

, , ,

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Hari ini saatnya gue belajar mata pelajaran Sejarah Manusia Abad 21. Dan tadi gue bangun kesiangan, jadi agak telat sign in di virtual college modul. Dosen dan semua mahasiswa sudah lengkap ketika gue bergabung di kelas ini.

Ding!

Sebuah broadcast message muncul di dinding kamar yang gue jadiin layar komputer. Melihat ID dan wajah pengirimnya aja udah bikin gue mules.

Bapak Dosen Killer yang Suka Ngiler:
Grahita. Kemana saja kamu? Terlambat lagi, terlambat lagi.

Zzzzz si bapak ini yah. Kenapa harus di broadcast message sih? Kenapa nggak personal message aja? Bikin malu aja deh. Gengsi kan sama Raka, gebetan gue yang gantengnya bikin garuk-garuk meja.

Hmmm… tapi masih untung sih dia nggak melakukan broadcast video call. Bisa keliatan muka malu gue diomelin sama dia di depan para mahasiswa lain. Ehem, di depan Raka maksudnya.

Kuliah Sejarah hari ini membahas peralatan elektronik yang digunakan oleh manusia abad 21. Gue hanya bisa prihatin melihat peralatan yang mereka gunakan. Masak mereka harus membawa laptop, handphone, dan MP3 untuk fungsi yang berbeda? Sementara sekarang, hanya butuh satu alat kompak yang disebut handtool. Berukuran seperti handphone manusia abad 21, namun bisa dipakai sebagai laptop juga. Tinggal pilih menu laptop, maka akan bisa menyulap permukaan datar vertikal sebagai layar, dan permukaan datar horizontal sebagai keyboard. Dan lagi, walaupun alat ini sedang berfungsi sebagai laptop, bukan berarti ia nggak bisa dipakai sebagai telepon dan MP3.

Parahnya lagi, baterai peralatan elektronik manusia abad 21 hanya tahan satu hari! Demi semua dewa dewi, satu hari! Bahkan tak jarang, baterainya hanya tahan setengah hari. Mereka harus bolak-balik mengisi ulang baterai ke stop kontak listrik terdekat. Kasihan banget. Gue yang harus ngisi ulang baterai setahun sekali aja udah misuh-misuh kalau saatnya tiba.

Yang lebih kasihan adalah, jaringan internet hanya bisa diakses di tempat-tempat tertentu atau dengan menggunakan alat khusus. Namanya wi-fi dan modem. Sementara sekarang udah ada global internet. Setiap titik di muka bumi mendapatkan akses internet, tanpa terkecuali.

Hhhhh… Wajar sih. Toh itu peradaban tiga abad yang lalu. What do I expect?

Gue menarik napas lega ketika mata kuliah ini berakhir. Sekarang saatnya bertemu dengan teman-teman. Secara kita udah janjian untuk ngopi-ngopi lucu di café langganan. Tepatnya di lantai 151 salah satu gedung pencakar langit di Thamrin.

Dengan malas, gue merayap ke arah garasi tempat Bibo disimpan. Ia mobil kesayangan gue. Warnanya kuning cerah, favorit gue banget.

Gue memasukkan tujuan Thamrin dari Grogol. Dan berdasarkan petunjuk GPS si Bibo, jalan terdekat yang bisa gue dapatkan hanyalah dengan cara terbang melewati Roxy dan mulai turun di Harmoni, karena jalan darat dari Harmoni ke Thamrin terpantau ramai lancar. Untung aja rute kali ini nggak perlu lewat Kali Grogol. Terakhir Si Bibo disuruh berenang di kali dekil itu, ia ngambek abis-abisan. Gue terpaksa membelikan oli paling mahal untuk cemilan sorenya.

Auto-driver Si Bibo gue set on. Waktu perkiraan sampai di tempat tujuan adalah 22 menit 8 detik. Saatnya meluruskan kaki sambil melanjutkan membaca novel yang gue beli semalam. Gue mengeluarkan handtool, mengarahkan lampu sorot ke arah dashboard, lalu mengatur luas permukaan novel agar bisa nyaman dibaca.

Ketika mendarat di Harmoni, gue melihat ada sebuah kios bertuliskan “Jual Es Potong”. Penampilan kiosnya sangat klasik, persis seperti arsitektur tahun 2000-an awal yang sering gue liat di mata kuliah Sejarah.

Gue memutuskan untuk membeli sepotong. Harganya 2 Point. Murah. Sama seperti harga sepiring nasi instant.

Tas gue aduk-aduk, namun gak menemukan Pay Card di sana. Pay Card ini semacam kartu pembayaran yang berlaku di dunia internasional. Hanya ada satu mata uang di dunia, Point. Dan satu kartu pembayaran, Pay Card, untuk semua jenis transaksi di seluruh dunia, tanpa terkecuali.

Mbak penjaga kios es potong hanya melihat prihatin ke arah gue yang membatalkan pembelian karena nggak menemukan Pay Card di dalam tas. Setelah gue deteksi dari handtool melalui nomor kartunya, ia ternyata tersimpan manis di tas yang lain.

Huh sebal.

Kalau gue tinggal di abad 21 sih, gue bisa mengorek tas dan mungkin menemukan uang logam di sana. Jadi kan gue nggak perlu repot pulang hanya sekadar untuk mengambil Pay Card.

Dan kalau dilihat dari penampilannya, gue yakin si Mbak penjaga kios ini suka berdandan. Ia pasti bersedia membarter lima es potong dengan lipbalm strawberry milik gue.

Gue jadi bertanya-tanya, apakah gue lebih cocok hidup di zaman batu? Di mana manusia bertransaksi dengan tukar-menukar barang dan jasa?

-THE END-