Tags
@sarahpuspita, cerpen, Coldplay, fiksi, fix you, Sarah Puspita, traveloveing
Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)
Stasiun MRT sudah bebas dari desakan orang kantoran ketika aku memutuskan untuk pulang ke hotel. Sambil bernyanyi kecil, aku melangkahkan kaki mendekati bangku tempat para penumpang duduk menunggu kereta.
Mataku menangkap seorang lelaki yang sedang duduk di sana. Pandangannya lurus ke bawah. Termenung menatap ubin yang menyusun lantai stasiun.
Aku memiringkan kepala, mencoba mencari tahu seperti apa wajahnya. Namun hal itu agak sulit lantaran topi jaketnya terpasang menutupi hampir 3/4 kepala. Langkah kuayunkan ke arah lelaki asing itu. Kemudian kuletakkan tubuh lebih kurang setengah meter dari tempat ia duduk.
Ia masih tak bergeming. Terhanyut dalam lamunan hingga matanya memicing dan keningnya berkerut. Ia terlihat seperti menahan rasa sakit. Rasa sakit yang amat sangat.
Aku memperhatikannya dari sudut mata. Mencoba menerka apa yang tengah menyiksanya.
Terlukakah kakinya?
Mataku tertuju pada sepasang sandal jepit hitam yang ia gunakan. Kuamati setiap inchi kaki yang terpampang. Namun tak kutemukan tanda-tanda bekas luka atau memar di sana.
“Oke Ya, gue tunggu di sini aja.”
Aku tersentak. Lho, dia orang Indonesia! Barusan ia berbicara pada temannya menggunakan bahasa yang tiga hari belakangan tidak pernah kudengar. Aku memperhatikan ranselnya yang sedari tadi luput dari perhatian. Akan pulangkah ia? Atau baru saja datang?
Mungkin akan pulang. Mungkin karena akan berpisah dengan kota menyenangkan dan tertib ini, makanya ia terlihat sedih. Mungkin begitu.
“Who are you?”
Aku hampir terlompat kaget. Memaksakan sepotong senyum, berharap dapat menghapus tanda tanya di kepalanya ketika mendapatiku memperhatikan tasnya lekat-lekat.
“Who are you?” ulangnya dengan nada lebih tajam.
“Saya bukan pencuri,” jawabku cepat.
Kerut di keningnya mengendur. Mungkin karena mendengar bahasa yang kugunakan.
“Kok ngeliatin saya dari tadi?”
Wah! Dia sadar ternyata. Kirain sedari tadi konsentrasinya tumplek blek untuk melamun.
“Kamu kelihatan sedih. Sudah mau balik ke Indonesia ya?” tanyaku.
Ia menggeleng. Mendung kembali menghiasi wajahnya. Aku jadi ikut terdiam, merasa salah melontarkan pertanyaan.
“Saya justru sedang berlari. Saya ke sini untuk mengambil sebuah keputusan berat, melupakan seseorang.”
“When you lose something you can’t replace…”
Aku terdiam. Hanya terdengar lagu favorit mengalun dari earphone yang kupasang di telinga sebelah kanan.
Putus cinta rupanya. Itulah alasan mengapa kepedihan tergambar jelas di raut wajahnya. Pastilah perempuan yang sangat disayanginya yang menjadi alasannya menyepi guna mengusir pedih.
“When you love someone but it goes to waste…”
“Could it be worse?”
“Kamu pasti sembuh dari kesakitan itu. Karena takdir laki-laki adalah untuk menjaga. Menjaga perempuan yang nantinya Tuhan titipkan padamu. Dan sebelum itu, Ia ingin membuatmu kuat menjaga dirimu sendiri,” jawabku sembari melempar senyum.
“Lights will guide you home…”
Kerutan di keningnya bertambah pertanda ia sedang mencerna ucapanku. Sementara monitor menunjukkan bahwa kereta yang akan membawaku pulang akan tiba satu menit lagi.
“and ignite your bones…”
“Saya duluan,” pamitku sopan.
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Pulang,” jawabku.
Ia berdiri mencari sosok temannya. Namun sepanjang mata memandang, tak terlihat teman seperjalanannya tadi. Si lelaki bersandal jepit hitam pun akhirnya duduk lagi. Tampaknya pasrah menunggu kereta selanjutnya.
“Ketika takdir mempertemukan kita lagi, saya benar-benar berharap akan melihat senyummu yang hilang,” ujarku sambil berjalan masuk ke arah kereta.
Ia masih mematung di tempat duduknya.
“Namamu?”
“….”
Pintu kereta tertutup sesaat setelah aku melemparkan senyum termanis yang pernah kuberikan.
“And I will try… to fix you.”
-THE END-
dear you,
“yes. I’ve been fixed.”
sincerely,
sendal jepit hitam.