• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: cinta

Perih

13 Wednesday Mar 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 2 Comments

Tags

@sarahpuspita, cinta, hutang budi, obsesi, perih, Sarah Puspita

Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)

“Spaghetti bolognaise-nya satu ya, Mbak. Sama ice lemon tea.”

“Saya sama.”

Pelayan itu mencatat pesananku dan Dira dengan patuh. Setelah mengulang membacakan pesanan kami berdua, ia pamit undur diri.

“Sabtu ini jadinya gue ke tempat anak-anak ya. Lo nggak mau kemana-mana kan?”

Aku diam. Kemudian melukis senyum menyebalkan di bibirku. “Terserah elo. Kaya gue punya hak aja ngelarang-larang. Emang gue siapa?”

“Hahaha, iya ya. Emang lo siapa?”

“Yup, kita kan udah bukan apa-apa. Lo juga udah bukan siapa-siapa.” ujarku tawar.

Dira diam. Aku diam. Kami berdua duduk bersama, dengan pikiran yang menuju ke arah yang jauh berbeda. Lalu tiba-tiba saja aku ingin mengecek smart phone-nya. Aku pun meraih HP yang aku belikan untuknya itu, yang tergeletak di meja.

“Eh! Ngapain sih?” Ia panik, berusaha meraih smart phone-nya yang kini ada di tanganku. “Sini nggak! Nggak sopan banget sih lo jadi orang!” Nadanya meninggi. Mukanya memerah menahan geram.

Aku tersenyum mengejek. Kemudian melempar mobile cellular itu kembali ke meja.

“Kenapa sih? Kan gue cuma mau liat galeri aja… Pasti ada foto gebetan baru ya.” sindirku sinis.

“Pernah diajarin sopan santun nggak sih lo? Suka-suka gue. Mau ada foto gebetan kek. Siapa kek. Bukan urusan lo. Bukan hak lo buat nanya-nanya. Inget kan kita udah putus? Inget kan lo bukan siapa-siapa gue lagi? Ngapain mau tau? Ngaca dong. EMANG LO SIAPA?” tandasnya tajam.

Aku diam lagi. Masih berusaha menahan sakit yang ditimbulkan akibat ucapan kasarnya. Dira yang selalu temperamental. Aneh, mengapa aku belum juga terbiasa? Padahal, setiap kami bertemu, setiap kami bicara, aku selalu dihujani kepahitan yang sama. Tapi, mengapa air mata ini masih juga menggenang di sudut mata? Tidak turun dan keluar, serta terlalu bening untuk tertangkap mata.

“Tau kok. Lo emang bukan siapa-siapa. Cuma satu dari jutaan cowok brengsek di dunia.” jawabku singkat, berusaha mengontrol nada bicaraku. Sedemikian rupa aku berusaha menguasai diri.

“Yang selalu lo kejar-kejar? Yang nggak bisa lo lepasin? Yang selalu lo minta bahkan sampe ngemis untuk kembali?” balasnya tak kalah pedas. Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan

21 Thursday Feb 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@dendiriandi, cerpen, cinta, Dendi Riandi

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

Kulangkahkan kaki menyebrangi jalan raya, setelah memastikan tidak ada kendaraan yang lewat dari sebelah kiriku. Gerimis kecil yang terjatuh dari langit membuatku mempercepat langkah, berlari-lari kecil sambil menutupi atas kepala dengan kedua tangan. Tujuanku menuju kedai kopi yang terletak dekat tikungan, tepat di ujung jalan ini.

Dengan perlahan ku jejakkan kaki ke dalam kedai kop. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tempat ini masih sama seperti dua tahun lalu. Kursi-kursi dengan bentuk klasik namun beralaskan bantal empuk berjajar empat-empat, berbaris rapih mengelilingi meja berbentuk bongkahan kayu besar setinggi pinggang. Ada 20 meja di dalam kedai kopi ini. Beberapa lukisan dengan bergambar para petani kopi dengan bermacam bentuk menghiasi dindingnya. Sebuah meja barista, tempat kita memesan minuman berada di bagian belakang ruangan ini. Di belakang meja barista terdapat empat buah coffee maker.

Mataku kembali menyisir seluruh ruangan, mencari-cari seseorang yang baru saja masuk ke kedai kopi ini tadi. Seorang wanita ber-cardigan ungu dengan celana jeans hitam. Dia, wanita yang sudah berhari-hari ini sedang kucari. Malam ini aku menemukannya di sini, di dalam kedai kopi ini. Kedai kopi tempat pertama kali kami berjumpa.

Pandanganku berhenti tepat di pojok sebelah kiri dari ruangan. Di meja paling belakang, wanita itu sedang duduk. Di meja itu, dua tahun lalu, pertama kalinya aku menyentuh tangannya dan saling berkenalan. Dia duduk berdua, sepertinya dengan seorang pria. Kufokuskan mataku ke arah pria itu. Rambut belah pinggir dengan sisiran klimis, kemeja rapih, celana bahan dan sepatu pantopel. Sial, sepertinya aku kenal dengan pria itu. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Hari ke Dua Belas, Bulan Dua Belas

13 Thursday Dec 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@evanjanuli, cerpen, cinta, Evan Januli, fiksi, undangan

Prepared by client:
Evan Januli (@evanjanuli)

“Bangun dek, bangun!”

Dengan susah payah aku mencoba membuka kedua mataku, namun seperti ada perekat yang kuat sehingga membuatnya tetap terpejam. Pelan-pelan aku berhasil menghilangkan gelap dari pandanganku dengan warna putih pucat, tepat di atasku. Langit-langit rumah. Tadinya aku berharap sudah berada di surga, tapi suara kakak laki-lakiku itu mematahkan segalanya.

Aku masih hidup.

Pikiranku berjalan kembali pada tiga puluh menit yang lalu. Sepulang kerja tadi, aku mendaratkan tubuh lelahku di sofa yang tertata rapi di dalam ruang tamu berukuran 4×4 meter ini. Dan di saat itulah aku melihat sebuah benda yang cukup unik di sampingku, tepat di sofa sampingku.

Sebuah surat dengan sampul berwarna emas dan pita terpasang di pojok kiri atasnya dan dua inisial di pjok kanan atas. Jantungku seakan berdetak dengan cepat. Aku tahu, firasatku mengatakan ada yang tak beres di sini. Perlahan kuambil surat itu. Nafasku sudah tercekat meski belum juga membuka dan membaca isinya. Sebuah label menempel bagian depannya, bertuliskan namaku. Ya, namaku. Aku tak salah melihat.

Dan inisial di sampul itu…

A&J

***

Tepat satu bulan yang lalu di depan ruang tunggu terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, James hanya memegang pundakku dan tersenyum.  Sepertinya ia tak pernah tersenyum seperti ini, sangat tampan. Apakah itu perasaanku saja? Ya, tapi aku tahu ada makna berbeda tersimpan di balik garis cekung yang membentuk di bibirnya itu.

“Ada yang ingin aku katakan, beib..”

Ada helaan nafas panjang sebelum pria yang hendak kembali ke kota asalnya itu melanjutkan perkataannya. Aku menunggunya dengan seksama. Ah pria ini, guratan di wajahnya semakin menegaskan ketampanannya. Tak dapat kupingkiri, ia telah membuatku jatuh cinta telak.

Kami masih berdiri berhadapan. Aku memegang ujung jaketnya, alih-alih merapikannya. Aku hanya masih ingin berdekatan dengannya. Tapi perkataannya yang kudengar kemudia sangat di luar dugaanku.

“Kita udah gak bisa sama-sama lagi.”

Darahku seakan mendidih di angka 100 derahat celcius. Kamu sedang bercanda kan James?

Tidak, aku tahu, sangat mengenali pria di depanku ini. Ia selalu serius dengan segala lisannya.

Tanpa membiarkan aku menanyakan maksud pernyataannya itu, ia melanjutkan dengan terbata-bata, “ Aku…sebenernya…udah punya..calon istri. Maaf banget yah tapi kita pasti tetep bisa jadi teman yang baik.”

Ia tersenyum kecil.

James yang baru saja aku kenal selama satu bulan di Jakarta ternyata baru saja memperkenalkan dirinya yang sebenarnya. James sedang ditempatkan di Jakarta untuk mengaudit sebuah perusahaan besar di Jakarta dan James sudah memiliki calon istri di kota asalnya.

“Tapi selama satu bulan ini aku sangat menikmati hubungan dekat kita jadi aku janji pasti bakal datang lagi ke Jakarta kok.”

“Iya, tapi kamu sebelumnya gak pernah bilang kamu sudah punya calon istri”

“Karena aku juga belum sempat mengatakan yang sejujurnya ke kamu. Aku juga sayang sama kamu tapi aku gak bisa meninggalkan calon istri aku.”

“Tapi semalam kamu bilang sama aku, kamu gak akan ninggalin aku, James!!”

“Aku janji pasti akan ke Jakarta lagi kok. Dan saat aku di Jakarta kita masih bisa bertemu, sayang..”

Setelah James menyelesaikan kalimatnya tersebut, James langsung memelukku dan tanpa kusadari mataku pun mulai basah. Ketika panggilan untuk naik ke pesawat terdengar, james baru melepaskan pelukannya.

“Last night was a great night though..” ucapnya.

Dia mencium keningku sebelum membalikkan badannya seraya menarik kopernya ke arah yang berbeda dengan arah kedatanganku tadi.

***

Sejak pertemuan terakhir dengan James sekitar sebulan yang lalu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar berita apapun dari James. Bahkan seluruh social media yang menyangkut James sudah terhapus.

Meski begitu, sosoknya tidak pernah lepas dari ingatanku. Dan ucapan terakhirnya di bandara masih bersemayam di pikiranku. Last night was a great night though..

***

Setelah suara kakakku yang terus berteriak, akhirnya aku dapat mengingat kejadian tiga menit yang lalu. Samar-samar aku melihat undangan pernikahan James tercecer di lantai tak jauh dari tempat pembaringanku.

Dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah kakakku yang menangis di depanku dan pisau yang penuh darah di samping kananku.

Juga testpack dengan dua strip.

Sebelum menemukan undangan di meja ruang tamu tadi, aku pulang dengan membawa kabar akan kehamilanku. Akibat dari peristiwa di malam terakhir sebelum James pergi.

Tiba-tiba, aku pun tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya suara jeritan kakakku yang kembali kudengar, untuk terakhir kalinya.

Hari ini, hari kedua belas di bulan dua belas. Di saat orang lain merayakan sesuatu yang baik di tanggal cantik, aku merayakan kematianku.

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sebuah Siang di Salemba

20 Thursday Sep 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 6 Comments

Tags

@saputraroy, cerpen, cinta, modus, Roy Saputra

Prepared by Client: 
Roy Saputra (@saputraroy)

“Permisi. Numpang tanya.”

Kamu pun mengangguk. Di pinggir jalan Salemba, kamu berdiri sendiri. Nampak seperti mahasiswi dari kampus sebrang sana. Jadi sepertinya cocok untuk kutanya-tanya tentang daerah sekitar sini. Awalnya aku hanya menurunkan kaca jendela dan bertanya di mana letak sebuah mall yang lokasinya dekat dengan bundaran HI. Namun suaramu yang pelan membuatku harus turun dari mobil dan mengulangi pertanyaanku. Kamu bilang dari sini lurus saja, ketemu perempatan belok kanan, lalu ikuti saja jalurnya. Aku tak mungkin tersasar, begitu jawabmu.

“Makasih ya. Ngomong-ngomong, di sana itu ada…”

Lalu aku menyebutkan salah satu brand pakaian yang sedang happening. Lagi-lagi kamu mengangguk. Di sana ada semua, begitu katamu. Pakaian segala rupa, semua warna. Tapi semuanya dengan harga yang bukan jangkauan mahasiswa. Aku tertawa. Sepertinya itu lelucon andalanmu. Jadi sepertinya aku harus tertawa.

“Eh, kamu tuh temannya Icha ya?”

Echa, begitu ralatmu. Aku pun mengiyakan. Ternyata dunia memang sempit. Aku bilang sepertinya pernah melihat entah di mana. Mungkin di sekitar rumah, karena Echa itu tetanggaku. Kamu bilang memang pernah main ke rumahnya di Pondok Kopi. Aku bilang iya sambil mengeluarkan mimik pantas-saja-pernah-lihat. Kemudian aku membahas Echa dan kamu mengangguk-ngangguk sambil tertawa. Terima kasih untuk kebiasan-kebiasaan buruk Echa yang sudah membuat kita tertawa bersama.

“Kamu mau ke mana?”

Sarinah, jawabmu. Kamu ada pertemuan dengan dua orang teman dan beberapa cangkir kopi. Sudah janji, namun sedari tadi sulit mendapatkan taksi. Setauku itu dekat dengan bunderan HI. Aku tawarkan tumpangan dengan barter penunjuk jalan. Dan sekali lagi, kamu mengangguk.

“Kenal Echa udah lama?”

Baru setahun belakangan, katamu. Sebelumnya hanya kenal biasa, namun menjadi dekat di semester lima ini. Sering bersama dalam tugas kelompok, membuat kamu tau lebih jauh tentang Echa. Tentang lucunya, tentang ramahnya, dan tentang orang tuanya yang tidak memperbolehkannya pulang malam. Kelas ekonomi makro yang membuat kalian dekat. Begitu penjelasanmu. Lalu kamu bertanya balik. Aku bilang juga baru beberapa bulan kenal Echa. Dulu rumahku bukan di Pondok Kopi dan baru saja pindah ke sana. Kamu hanya mengangguk pelan sambil bilang pertigaan depan belok kanan.

“Ini masuk parkirnya dari mana ya?”

Kamu bilang tak usah masuk parkir. Turunkan saja kamu di depan sini agar aku bisa menghemat waktu. Aku jawab sebetulnya tak apa. Sebagai tanda terima kasihku untuk kamu yang sudah berbaik hati mengantarku. Sempat ada debat kecil namun akhirnya kamu mengalah. Ku masuk kan mobil lewat spasi besar sebelah gedung. Saat petugas mengetikkan nomor plat mobil, saat itu aku bertanya,

“Boleh minta nomor handphone-nya?”

Dengan segera kamu bilang boleh. Kamu sebut 10 digit angka dan sebuah nama setelahnya. Rani Priwasdani. Lalu kamu menunjuk café yang paling depan. Dari balik jendela, sudah terlihat dua orang teman yang sudah menunggu dengan secangkir minuman di tangan masing-masing. Sesaat sebelum kamu menutup pintu, kamu bilang kapan-kapan main ke kampusmu dan kita bisa jalan sama Echa juga.

“Iya. Hehehe.”

Begitu jawabku berbarengan dengan suara pintu mobil yang tertutup. Kutancap gas dengan senyum terkembang di wajah. Dari depan Sarinah, aku lurus. Ketemu bundaran HI belok kiri. Kembali ke arah Salemba, kembali ke sebrang kampus nomor satu di negara ini, kembali mencari beberapa mahasiswi yang sedang berdiri sendiri.

“Main ke kampus dan jalan sama Echa?”

Dalam hati aku tertawa. Entah kampus yang mana, entah Echa siapa. Yang jelas, aku hanya tau bahwa semua orang setidaknya punya satu teman bernama Icha atau Echa.

Dan itu lah caraku memodusimu.

-The End-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Hari Yang Ku Tunggu

29 Sunday Jul 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerpen, cinta, Mia Haryono, unspoken love

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

“Ya, Yaya kan?” sebuah suara datang dari arah kanan gue. Gue lalu menoleh untuk mencari siapa pria pemilik suara itu. Bersamaan dengan itu, seorang pria muncul dari balik rak buku di sebelah gue berdiri.

“Didit? Astaga! Apa kabar?”

Gue kemudian menyapa pria itu dengan antusias. Bagaimana tidak, kami sudah sekitar tujuh tahun putus komunikasi.

“Baik. Baik. Udah lama juga ya enggak ketemu. Sejak lulus SMA kan ya?” tanyanya, yang gue jawab dengan beberapa kali anggukan. “Bisa-bisanya malah ketemu lagi di toko buku.” lanjutnya sambil tertawa.

Gue mendadak nervous dengan pertemuan tiba-tiba ini. Dan aroma canggung menyerbak di antara kami berdua, yang dulu semasa SMA tidak pernah akur. Ya, 3 tahun sekelas dan semua tau bahwa kami saling tidak menyukai satu sama lain.

“Eh gue buru-buru, Ya. Kapan-kapan kita sambung ngobrolnya. Boleh tukeran kontak? Nomor atau PIN?”

Kami pun bertukar kontak lalu dia meninggalkan gue dengan sebuah lambaian dan senyuman yang ternyata, masih menimbulkan efek tonjokan di perut gue.

Ah Didit, sudah 10 tahun dan selama itu rasa ini mengapa belum juga lenyap?

Sudah dapat diprediksi, pertemuan tadi siang dengan Didit membuat gue kembali terlena dengan kenangan silam saat masih berseragamkan putih abu. Di hari pertama menjadi pelajar SMU, bahkan saat masih memakai seragam SMP selama masa ospek, gue sudah naksir Didit.

Didit yang tampan langsung menjadi idola, baik oleh anak-anak baru maupun para kakak kelas perempuan. Dia tidak begitu pintar sebenarnya, hanya saja berkarisma. Tak heran dia langsung ditunjuk sebagai pemimpin. Pemimpin di kelas, di angkatan, dan di tahun berikutnya terpilih menjadi ketua OSIS.

Didit sangat populer di sekolah gue dulu. Sedangkan gue? Seorang pengagum rahasia yang hanya berani curi-curi pandang kepadanya. Didit juga baik dan ramah. Awalnya dia sering mengajak gue ngobrol. Tapi sayangnya, gue adalah pengecut yang takut perasaan ini diketahui olehnya.

Dan ketakutan akan Didit dapat mengetahui perasaan ini, gue alihkan dengan berpura-pura tidak menyukainya. Dengan terang-terangan gue menentangnya. Gue selalu sinis jika berurusan dengannya. Ketidakcocokan kami ini, sudah menjadi rahasia umum di sekolah. Bahkan setelah saling lulus dan terpisah, gue maupun Didit sama-sama menghindari acara reuni karena enggan bertatap muka.

Ironis. Didit maupun orang lain tidak pernah tau, dibalik kebencian yang gue tunjukkan pada Didit sebenarnya ada perasaan sayang yang tak tersampaikan.

Adalah Lina, teman sebangku gue, satu-satunya yang mengetahui perasaan gue pada Adit. Dan sampai saat ini gue masih aktif berkomunikasi dengannya. Gue langsung menghubungi Lina dan menceritakan pertemuan dengan Didit.

“Liiiiin, guess what? Gue tadi siang ketemu Didit lagi. Ya ampun masih ganteng Lin. Deg-deg-an gue…”

“Eh lo tuh ye ujug-ujug telepon basa-basi dulu kek!” sungut Lina.

“Halah sama lo ini aja pake basa-basi.”

“Terus, kalian labrak-labrakan? Tampar-tamparan? Hahaha.” tanya Lina yang membuat gue ingin mencekiknya.

“Eh buset, ya enggak lah. Tapi aneh juga sih, dua musuh bebuyutan di jaman SMA ketemu lagi dan saling senyum hihi.”

“Aeeeh, CLBK nih kayaknya. Hati-hati naksir lagi, Ceu.”

“Ah Lina, jangan ingetin itu lagi. Udah lama woi, rasa-rasa anak SMA masa iya bisa bangkit lagi. Udah kekubur kali.”

Lagi-lagi gue harus bohong. Apanya yang terkubur? Nyatanya, rasa ini perlahan muncul lagi. Atau memang sebenarnya tidak pernah berakhir?

***

Sebuah pesan BBM gue terima. Dari Didit! Setelah pertemuan tiga hari yang lalu itu, dia atau gue sama-sama belum memulai kontak. Sampai akhirnya malam ini Didit menghubungi gue.

Gue enggak menyangka sama sekali, jantung ini langsung berdegup kencang. Mirip seperti yang gue rasakan dulu, ketika bertubrukan pandangan mata dengannya.

Dan layaknya remaja SMA yang sedang jatuh cinta, setelah lewat 10 tahun lamanya, gue kembali merasakan keriangan saat harus berbalas BBM dengan Didit.

Rasa naksir anak kelas 1 SMU itu, sudah berkembang dengan perasaan cinta yang mendalam. Sehingga ampasnya masih tersisa sampai 10 tahun lamanya.

Kini, Didit  lagi-lagi mencuri hati gue. Setidaknya malam ini.

Hingga esoknya, esoknya lagi, dan hari setelah esoknya lagi.

***
“Seriusan, Ya? Kalian jadi sering ketemuan sekarang?” Tanya Lina tak percaya saat gue menceritakan perkembangan hubungan gue dan Didit.

“Iya, Lin. Gue juga enggak nyangka.”

“Ya udah atuh di-follow up. Mumpung sama-sama single. Sapa tau-sapa tau…”

“Amiiiin.”

“Heh cepat amat Amininnya! Dasar ngarep lo. Ha ha.” Lina menoyor kepala gue. Kami sedang menikmati makan malam bersama.

“Inget nggak, Lin. Dulu gue pernah berjanji sama diri gue sendiri. Kalau suatu saat akan menyatakan perasaan ke Didit. Tapi di saat gue udah enggak ada feeling lagi sama dia.” Lina menyimak kata-kata gue.

“Gue ada niatan mau bilang gini: Eh Dit, dulu gue pernah suka sama lo tau. Tapi karena takut enggak terbalas, gue pilih pura-pura jutek.” lanjut gue.

“Apalagi kan Lin, dulu pas jaman naksir dia kan sambil dengerin lagu Selena yang Dreaming Of You. Memotivasi gue untuk ngaku ke Didit.”

 So I’ll wait till the day for the courage to say how much i love you.

“Terus? Kapan mau confession? Ya udah geura atuh, ceu. Siapa tau jadi. Gue dukung.”

***

“Halo, Ya. Long time no see.” sapa Andi sambil mengambil posisi duduk di depan gue. Andi ini teman SMA gue juga. Sepanjang yang gue tau, Andi adalah sahabat terdekat Didit. Dua hari yang lalu Andi tiba-tiba menghubungi gue dan meminta bertemu. Katanya ada yang ingin disampaikan. Dia meminta gue enggak memberitahukan Didit perihal rencana pertemuan kami.

Mungkinkah ini semacam konspirasi mereka? tanya gue dalam hati. Mengapa setelah kedekatan gue dan Didit akhir-akhir ini kemudian muncul Andi, sahabatnya. Gue masih bingung dan menebak-nebak sendiri apa yang akan disampaikan Andi.

“Apa kabar, Ndi? Kok tumben tau-tau ngehubungin gue? Ada hubungannya dengan Didit kah? tembak gue.

“To the point banget, Bu. He he.” Andi menghela nafas sesaat. Tapi, iya benar. Apa yang akan gue sampaikan, ada hubungannya dengan Didit.” lalu Andi mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Kalau tidak salah lihat, sepertinya sebuah undangan…pernikahan. DEG. Belum memegang dan membukanya saja gue merasa lemas. Perasaan gue mendadak enggak enak.

Andi menyerahkan kertas beramplopkan emas itu sambil mengisyaratkan agar gue membacanya. Ada nama gue tertulis di bagian depan. Oh shit! Untuk gue. Perasaan ini semakin enggak karuan.

Gue kemudian membaliknya sambil menahan napas. Nama panggilan pengantin yang tertera di situ sangat akrab sekali buat gue. Orang yang gue sayang bertahun-tahun lalu dan kini hadir lagi mewarnai hidup gue.

Didit dan seorang wanita lain, akan menikah DUA HARI LAGI.

Dunia gue yang semula berwarna karenanya, berubah gelap.

Ternyata Didit cukup pengecut dengan tidak berani menyerahkan langsung undangan ini pada gue. Dia meminta Andi yang menjadi penghubung di antara kami.

“Saat kalian bertemu lagi, Didit sedang mempersiapkan pernikahannya. Dia mengakui juga terbawa suasana nostalgia setelah pertemuan itu. Mengingat…sebenarnya dulu dia naksir lo, Ya.” penjelasan Andi ini membuat gue tersedak. Seolah dapat menangkap kebingungan gue, Andi melanjutkan ceritanya.

“Awalnya, dia bete. Kenapa sih Yaya kok sinis banget. Disaat cewek-cewek lain memujanya. Dulu si Didit itu curhat melulu tentang lo, Ya. Gue sih terkekeh aja. Gue cuma ngingetin kalau mungkin itu pertanda naksir. Gue suruh dia deketin lo. Dia mau coba, tapi lo terlalu angkuh di depannya.”

Oke. Ini masih sore kan. Cerah lagi. Terus kenapa tiba-tiba ada ada petir begini barusan?

Gue masih mencoba mencerna perkataan Andi dengan tenang. Jadi sebenarnya waktu SMU itu, gue dan Didit yang saling menunjukkan ketidaksukaan satu sama lain, sebenarnya..

Ah, tidak. Gue merasa menyesal. Teramat sangat. Gue bodoh sekali, ya Tuhan. Mengapa dulu bisa-bisanya gue memperlakukan orang yang gue sayang dengan tidak baik. Menyia-nyiakan perasaan dan membiarkannya terkurung selama bertahun-tahun. Tanpa pernah sedikitpun terpikirkan, bahwa gue bisa saja memiliki hati seorang Didit. Didit gue!

***

“Gue harus menelpon Didit dan mengaku tentang perasaan gue, Lin. Now or never. Masih ada waktu untuk mendapatkannya kan?” Selesai pertemuan dengan Andi tadi dan sampai di rumah, gue langsung menelpon Lina. Gue meminta persetujuannya akan ide gila yang akan gue lakukan. Malam ini juga.

Kalau gue pernah bertindak bodoh sepuluh tahun yang lalu, maka kali ini adalah kesempatan gue untuk memperbaikinya. Untuk merenggut kembali hak memiliki hati Didit yang seharusnya terjadi sejak beberapa tahun silam.

Lina mendukung rencana gue sepenuhnya. Tapi tidak malam ini. Menurut Lina, jangan tergesa-gesa. Pikirkan baik-baik dulu, kalau sudah yakin maka lakukan esok hari. Gue menuruti kata sahabat gue itu. Alhasil, malam ini gue tidak bisa tidur memikirkannya. Sangupkah gue mengatakan kepada Didit, tentang cinta gue yang begitu dalam dan berhasrat untuk memilikinya? Lalu setelah mendengarkan pengakuan gue, apa yang akan terjadi?

Late at night when all the world is sleeping. 
I stay up and think of you.
And I wish on a star, 
That somewhere you are thinking of me too.

***

30 Mei 2010


“Hai, Ya. Terima kasih sudah datang.” ucap Didit sambil menyalami gue di atas pelaminannya. Tangannya dingin sekali, dia lama memegang tangan gue sampai gue sendiri yang harus melepaskannya. Di sebelahnya berdiri seorang wanita, yang sudah resmi menjadi istri Didit. Pujaan hati gue.

Gue mengurungkan niat untuk menyatakan perasaan gue. Karena tak sampai hati, jika aksi nekat gue kemudian hanya akan menambah beban pikiran dan perasaan Didit.

Dan rupanya, hari yang gue tunggu untuk mengungkapkan sayang tidak pernah kunjung datang. Tapi sepertinya, hari ini sudah gue tunggu sejak pertama kali gue sadar memiliki perasaan kepada Didit. Sepuluh tahun silam, bahwa gue ditakdirkan untuk berdiri di atas pelaminan ini. Untuk mengucapkan selamat kepada Didit dan mempelainya.

Sometimes, love is meant to be unspoken.

–THE END–

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: