Tags

, , , ,

Prepared by Client:
Roy Saputra (@saputraroy)

“Eneng kedinginan?”

“Dikit, A’.”

“Maafin Aa’ ya, Neng. Aa’ cuma bisa ngajak Eneng ke jembatan layang kayak gini.”

“Ga apa-apa atuh, A’. Gini aja Eneng juga udah seneng kok.”

Sebutlah Aa’ dan Eneng. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta, menghabiskan malam minggu dengan berdua-duaan naik motor lalu nangkring di puncak jembatan layang. Padahal pacaran model begini sangatlah berbahaya. Ga jarang polisi menggelar razia muda-mudi yang pacaran di jembatan layang untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Namun tetap saja masih banyak pasangan yang memadu kasih seperti ini. Tak terkecuali, Aa’ dan Eneng.

Entah apa yang Aa’ dan Eneng cari di sana. Mungkin ingin menikmati pemandangan kerlap-kerlip lampu gedung-gedung bertingkat, atau untaian lampu kendaraan yang meliuk-liuk di tengah macetnya ibukota. Mungkin ingin merasakan apa yang orang rasakan ketika sedang makan malam mewah di sebuah restoran bertema roof top.

Situasi di mana Aa’ berada paling dekat dengan kata roof top adalah ketika Eneng sedang asik menonton sinetron kesayangan di rumah majikannya lalu hujan mengguyur deras. Eneng merengut saat wajah Haji Muhidin menjadi buram dan samar. Atas nama cinta, Aa’ pun naik ke atas genteng dan membetulkan arah antena, meski itu dengan risiko tersambar gledek yang bisa membuat badan jadi tidak enak.

Di temaram lampu jembatan, Aa’ dan Eneng berpelukan. Saling menghangatkan badan, melawan angin malam yang berhembus dengan kecepatan tinggi. Malam itu, Eneng memang hanya mengenakan cardigan warna hitam. Cardigan yang dibelikan Aa’ di ITC dekat rumah dua hari lalu itu ga mampu menahan angin yang dinginnya mulai menusuk-nusuk tulang Eneng. Cardigannya tipis, setipis penghasilan Aa’ yang masih di bawah UMP.

Aa’ berinisiatif melepaskan jaket bertuliskan ‘OLI BAGUS? YA OLI TOP TWO!’-nya dan memasangkannya ke punggung Eneng. Berharap kehangatan yang sempat ia rasakan sebelumnya dari jaket, bisa menular ke badan Eneng.

“Masih dingin ga, Neng?”

“Udah mendingan, A’. Makasi ya, A’.”

Keduanya diam dalam senyuman. Kembali duduk tenang menghadap jalan raya yang terbentang di bawah. Menyaksikan geliat jalanan ibukota di akhir pekan dengan tangan saling menggenggam.

“Eh tuh, tuh. Liat deh tuh, Neng. Ada yang berantem,” tunjuk Aa’ dengan dagu ke arah mobil di bawah yang tiba-tiba saja menepi.

Seorang gadis yang tinggi menjulang tampak mengucek-ngucek mata dan membanting pintu mobil setelahnya. Rambutnya yang tergerai, tertiup acak ketika mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menjauh dari sang gadis yang terlihat mengacungkan jari tengah. Lalu ia mencopot dan menenteng high heels-nya. Seakan tak ingin sepatu kesayangannya menginjak kerasnya aspal ibukota.

“Aa’ jangan kayak gitu ya?” tanya Eneng dengan suara lembut.

Aa’ mengerutkan dahinya, “Gitu gimana, Neng?”

“Kayak mereka. Berantem terus Eneng diturunin di tengah jalan. Terus ditinggalin.”

Aa’ membetulkan posisi duduknya, “Ga mungkin atuh, Neng. Satu, Aa’ teh ga punya mobil keren kayak tadi. Ini aja motor masih belum beres cicilannya. Dua, Eneng teh juga ga punya sepatu berhak tinggi. Kurang keren aja kayaknya Neng kalo Aa’ turunin terus Eneng nenteng-nenteng sendal jepit swallow. Tiga, Eneng kan tau kalau Aa’ teh… cinta mati sama Eneng.”

Eneng hanya bisa tersipu meski ia kurang setuju dengan point nomor dua. Baginya, menenteng sendal jepit bisa saja terlihat keren apabila ada logo LV seperti tas kawe yang selalu dibangga-banggakan majikannya.

“Kenapa mereka berantem ya, A’? Kayaknya teh mereka punya semua. Mobil ada, uang juga pasti ada. Yang gadis juga, euleuh-euleuh, geulis pisan. Kurang apa ya mereka?”

“Aa’ juga ga tau, Neng. Mungkin mereka merasa kurang di tengah kelebihan, merasa tidak puas di kala kecukupan.”

“Kita jangan gitu ya, A’?” tanya Eneng sambil merangkul lengan pria di sampingnya.

Aa’ tersenyum, “Engga, Neng. Engga akan.”

“A’,” panggil Eneng, pelan.

“Ya, Neng?”

“Aa’ kapan mau nikahin Eneng? Dulu kan pernah janji,” tanya Eneng sambil memilin-milin ujung cardigannya.

Cinta adalah alasan kenapa Aa’ ingin segera menikah dan menua bersama Eneng. Namun penghasilan yang masih di bawah UMP membuat Aa’ agak berat menjawab pertanyaan tadi. Untuk menabung saja susah, bagaimana bisa menikah?

Ternyata cinta saja tidak cukup. Tidak akan pernah cukup.

“Eh, hm… Gimana ya, Neng,” Mata Aa’ menerawang entah ke mana, “Penghasilan Aa’ masih pas-pasan.”

Eneng menghembuskan napas panjang dan memasang senyum setelahnya, “Ya udah, ga apa-apa, A’. Ga usah dipaksa. Nanti kalo ada rejeki aja ya. Eneng bantu doa.”

Mereka terdiam. Hanya mata yang melemparkan pandangannya ke arah jalan raya. Warna kuning keemasan dari gemerlapnya lampu-lampu ibukota bagai menghipnotis keduanya yang sedang mengosongkan kepala. Berharap ada pencerahan yang mampu mendefinisikan ulang kata sejahtera.

“HATCHIM!”

“Aduh, A’? Aa’ ga apa-apa?” Eneng spontan melepaskan jaket ‘OLI BAGUS? YA OLI TOP TWO’ dan mengenakannya ke Aa’.

Aa’ menggosok-gosok hidungnya, “Sepertinya mau pilek aja. Ga apa-apa kok, Neng.”

“Gara-gara benerin antena waktu hujan kemaren ya, A’?” Sesaat, Eneng merasa tak enak hati.

“Yang penting kan Haji Muhidinnya jadi bening. Hehehe.”

“Maaf ya, A’.” Eneng merangkul kembali lengan pria di sampingnya. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

“Maaf? Maaf kenapa, Neng?”

“Eneng suka ngerepotin. Eneng sering minta ini itu. Eneng kadang nyusahin. Tapi Eneng ga bisa ngasih apa-apa juga ke Aa’. Eneng…,” Eneng tercekat sejenak, “Eneng cuma bisa ngasih hati Eneng buat Aa’. Maafin Eneng ya, A’.”

“Ga apa-apa atuh, Neng. Gini aja Aa’ juga udah seneng kok.”

Di pinggir jembatan layang, di atas kendaraan roda dua, di tengah sibuknya ibukota, dua sejoli itu berpelukan. Bergenggaman tangan di sederhananya malam minggu. Menghabiskan malam dengan bertukar hangatnya tubuh. Menikmati cinta a la mereka.

Cinta yang… gini-aja-juga-udah-seneng-kok.

—THE END—

Advertisement