• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: Mia Haryono

Kita (Pernah) Tertawa

19 Wednesday Jun 2013

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 1 Comment

Tags

@myaharyono, cerpen Peterpan, Mia Haryono, Peterpan

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

 

Kita masih disini
Lepaskan semua untuk mengerti
Dan bila semua terhenti
Biarkan aku tetap menanti

“Sebuah buku?”

“Buku jerapah, begitu seharusnya buku ini disebut.”

“Pasti isinya gambar-gambar jerapah ya? Ha ha ha.”

“Ha ha ha. Enak aja. Itu loh cover depannya bergambar jerapah, jadi namanya buku jerapah. Isinya sih…”

“Apa?”

“Buka aja dan baca sendiri. Eh tunggu, bacanya dalam hati ya. Aku malu…”

“Justru aku akan membacanya keras-keras. Ha ha ha.”

“Jangan! Ah kamu tuh selalu begitu. Mana pernah menuruti kata-kataku.”

“Ha ha ha. Bodo!”

“Ha ha ha.”

“Baiklah aku buka, tapi aku tetap akan membacanya dengan suara ya. Pelan aja kok.”

“The Story Of Us…hmmm..semacam diary?”

“Bukan sekedar diary. Di buku ini hanya kutulis kejadian-kejadian lucu yang pernah kita berdua alami. Sengaja hanya ditulis bagian yang membahagiakan saja. Only open up when I’m down. Ketika sedang sedih, aku akan membacanya dan mulai tersenyum. Bahkan tertawa. Ayo baca cepat.”

“Baiklah. 5 Juni 2010. 8 PM. Sebuah notifikasi kuterima di blackberry-ku. Ternyata itu kamu! Akhirnya kamu chatting-in duluan setelah aku menunggumu dari kemarin. Seperti biasa, kamu mengeluhkan yang harus lembur saat orang-orang sedang liburan weekend. Mencoba menghiburmu, akupun dengan tingkat kepercayaan diri meningkat 50%, mengirimkan foto penambilan baruku. Rambut keriting. Lalu komenmu hanya singkat. Gue suka lihat lo senyum.”

“Oke itu kan lagi lembur, capek. Foto yang aku lihat kayaknya fatamorgana deh. Aku pikir itu foto Megan Fox. Ya jelas suka. Ha ha ha.”

“Kyaaaaa! Reseeeee. Ha ha ha.”

“21 Juni 2010. 10 PM. Was it a date or what? Akhirnya kamu ajak aku pergi di malam minggu, just the two of us. Alasannya minta ditemenin beli modem! Makanya kita nge-date di Ambas! Oh yeah, nice try! Kamu bilang tadi, kita kayak orang pacaran aja berduaan. Dan bodohnya, kenapa aku tadi cuma tertawa! Itu kamu mancing kan?”

“Eh siapa bilang mancing. Dulu itu cuma bercanda tau. GR banget sih. Ha ha ha.”

“Hah! Kamu tuuuh. Ha ha ha. Itu masih ada lanjutannya, the best part-nya belum…”

“Setelah selesai menyantap pizza yang akhirnya kamu habiskan sendiri. Maaf ya, aku jaim. Kita pun berbincang cukup lama. Kamu benar-benar membiusku. Aku betah dibuat berlama-lama denganmu. Dan ketika tiba saatnya kamu harus mengantarku pulang, aku sedikit tak rela. Dan kenapa kamu membawa helm bukan SNI! Kita jadi ditilang polisi kan tadi.”

“Ha ha ha ha. Aku ingat ini. Ha ha ha. Ya ampun, memalukan. Sialan tuh polisi. Karena enggak ada uang kecil kan aku bayar 50 ribu tuh. Kampret.”

“Ha ha ha. Meski sudah setahun lewat, aku enggak bisa lupa. Lucu banget!”

“Aku lompat-lompat aja ya bacanya. Banyak banget, bisa-bisa sampai kafenya tutup belum kelar juga nih diary dibacanya. Ha ha ha.”

“Lebay!”

“Nah ini lucu. Kejadian ban motorku bocor sampai dua kali. Kamu sih gendut. Enggak kuat kan ban-nya. Ha ha ha.”

“Heh! Enak aja. Itu dasar aja si abang di tambal ban yang pertama enggak becus. Jadi bocor lagi kan. Tapi jadinya kita berdua jalan menelusuri trotoar gitu. Romantis ya.”

“Romantis apanya? Parah itu. Ha ha ha. Oke, lanjut baca.”

“Hmmm boneka jerapah. Kamu senang banget ya sama jerapah yang aku kasih? Itu kan biasa. Lagipula koleksi jerapah kamu sudah banyak banget dan lebih bagus. Tau enggak, itu kan murah. Dan yang beliin si Mamah, aku minta tolong dia cari. Males banget cowok-cowok keliling mall cari boneka. Jerapah pula. Dari dulu aku sudah mikir kok hobi kamu aneh banget. Biasanya cewek suka babi. Ha ha ha.”

“What? Jadi selama ini aku kena tipu kamu? Ish, kenapa enggak cerita yang sebenarnya sih.”

“Nih aku cerita. Ha ha ha.”

“Cubit nih. Ha ha ha.”

Kita tertawa kita bicara
Untuk merasakan tentang kita

“4 September 2010. Hari jadi… “

“Kok berhenti bacanya?”

Dan terlepas kita terdiam
Untuk melupakan

“Enggak kerasa ya, waktu cepat berlalu.”

“Dan kamu masih saja diam.”

“Kamu menuntut jawaban apa lagi?”

“Aku tak ingin berpisah darimu.”

“Siapa yang memintamu pergi? Tetaplah di sampingku.”

“Untuk apa aku tetap di sampingmu, jika tak dapat memilikimu. Kamu pikir aku dapat bertahan dengan segala perih yang kurasa ini?”

“Memiliki? Untuk apa memiliki jika pada akhirnya kita berdua pasti berpisah. Ah kumohon jangan menangis. Aku enggak bisa melihatmu menangis.”

“Aku sayang kamu, sungguh. Dan penderitaan hati ini, mungkin hanya dapat berakhir dengan memiliki mu seutuhnya.”

“Sudahlah. Kita seharusnya enggak membahas ini lagi.”

“Diam lah terus, tapi waktu tak bisa menunggu. Simpanlah buku jerapah ini. Suatu saat kamu merindukanku, bacalah lagi. Kuharap kenangan kita di buku ini dapat membuatmu kembali padaku.”

“Sudahlah….”

“Baca dan tertawalah. Tapi kamu hanya akan tertawa sendiri. Karena tak akan ada lagi kita. Aku tak bisa terus di sampingmu. Bersamamu, sampai kamu menemukan orang lain…yang seiman.”

“Aku tau kamu tidak mempermasalahkan perbedaan ini, tapi buatku penting. Maafkan aku, Mei…”

“Aku pergi sekarang. Jaga buku jerapah ini baik-baik ya.”

Waktu terus berlalu
Tinggalkan kita masih membisu
Wajahmu tetap begitu
Biarkan semua tetap membeku

***

Jakarta, 28 Juli 2012.

Sebuah kisah tentang dua insan yang pernah tertawa bersama. Terinspirasi dari lagu ‘Kita Tertawa’ oleh Peter Pan. Untuk #CerpenPeterpan lainnya silakan cek blog Wira Panda.

-THE END-

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sang Penari

24 Wednesday Apr 2013

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 3 Comments

Tags

@myaharyono, kecak, Mia Haryono, Penari, ramayana, uluwatu, workingpaper

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Dua puluh menit menjelang pukul 6 sore!

Aku bergegas memacu kecepatan langkahku, setelah turun dari kendaraan yang aku sewa selama berada di Bali beberapa harike depan. Setengah berlari aku menuju loket, untuk kemudian mengeluarkan 3 lembar pecahan Rp5,000 sebagai harga yang harus dibayar untuk karcis memasuki Pura Uluwatu.

Setelah sampai Ngurah Rai jam 4 tadi, Pak Made, supir yang sudah menjadi langgananku itu segera membawaku ke Uluwatu. Denpasar yang kini macet dipadati kendaraan, membuat perjalanan kesana memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Kunjunganku ke Bali kali ini disertai misi penting. Sebuah kejutan! Kekasihku yang merupakan penduduk Bali hari ini berulang tahun.

Namaku Lily. Aku menetap di Jakarta. Dan pacarku, Putu, tinggal di Bali. Di desa Pecatu tepatnya. Sudah setahun ini kami menjalani hubungan jarak jauh, atau yang keren disebut LDR.

Aslinya aku ini memang wanita manis dan romantis, meski terpisah jarak, bukan halangan bagiku untuk menyenangkan kekasihku itu. Sudah sebulan aku mempersiapkan kedatangan mendadakku ke Pecatu, tepat jam 6 sore, di mana Putu sudah bersiap dengan kostumnya.

Aku akan duduk di barisan paling depan bangku penonton, menyaksikan pertujukkan Kecak Dance, dimana Putu adalah salah satu penarinya. Tapi bukan salah satu dari 70 penari pria bertelanjang dada yang meneriakkan “Cak! Cak!” itu. Dia adalah pemeran utama sendra tari Ramayana yang aksinya nanti akan diiringi oleh tarian Kecak.

Tarian kecak adalah salah satu budaya kebanggaan di Bali yang dapat dinikmati di berbagai tempat, namun di Uluwatu ini yang paling ramai dikunjungi. Hal itu dikarenakan pertunjukannnya yang bertepatan dengan matahari terbenam. Sehingga, ratusan pasang mata tidak hanya disuguhi tarian yang unik, tetapi juga pemandangan langit jingga yang luar biasa indahnya.

Sunset at Uluwatu

Sunset at Uluwatu

Tiket untuk menonton pertunjukkan tersebut sebesar Rp70,000. Dan tiketku, sudah dipersiapkan Pak Made agar ketika sampai tidak pusing dengan urusan tiket.

Rencanaku, Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Jangan Jatuh di Bromo

27 Wednesday Mar 2013

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 1 Comment

Tags

@myaharyono, Bromo, cerpen, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Siapa yang enggak mau mendapatkan pacar saat liburan? Gue mau! Banget. Tapi gue enggak mengharap lebih sih sebenarnya. At least, ketemu teman baru saja sudah cukup. Dan gue menemukannya waktu gue traveling ke Bali akhir tahun lalu.

Sebut saja dia si Rendang, panggilan akrab gue untuknya yang sangat menyukai makanan berlemak tinggi khas Padang itu.

Kebetulan kami menginap di hotel yang sama, dan bertemu tak sengaja saat sarapan pagi. Restoran cukup ramai oleh pengunjung karena saat itu Bali sedang high season. Dan dari sekian meja yang ditempati tamu hotel, pilihan dia jatuh ke meja gue yang memang hanya sendiri di tempat yang cukup ditempati oleh 2 orang. Mungkin juga karena gue adalah salah satu dari sedikit penduduk lokal di antara padatnya wisatawan asing yang memenuhi restoran.

“Maaf, sendirian? Boleh join?” Seakan dia sudah yakin bahwa gue tak bersama siapapun, permohonan ijin untuk bergabung sudah ia ajukan sebelum gue mengaku memang hanya sendirian.

Sebagai jawaban gue hanya mengangguk dan mengisyaratkan agar dia duduk di hadapan gue.

Selanjutnya yang terjadi sungguh di luar kebiasaanku yang jarang sekali mau berbasa-basi dengan orang yang baru dikenal. Ya, kami mengobrol sampai batas jam makan pagi hampir selesai di restoran itu. Kami berdua seolah lupa waktu, entahlah, rasanya seperti bertemu sahabat lama. Dengan cepat kami bisa langsung ‘klik’.

Dan anehnya gue pun merasa nyaman untuk jujur padanya maksud gue berlibur sendirian di Bali kala itu.

“Patah hati. Gue ingin menenangkan diri di sini.”

Matanya terbelalak mendengar pengakuan gue lalu terbahak. “Kayak di film-film aja. Patah hati lalu traveling.”

Mau tak mau, gue pun ikut tertawa bersamanya.

Semenjak percakapan di pagi hari itu, kami tak berjumpa lagi di Bali karena sungguh disayangkan, ia harus kembali ke Jakarta malam itu juga. Gue menghembuskan nafas kecewa saat dia pamit undur diri. Well, time to say goodbye to stranger, gue membatin. Tetapi lagi-lagi yang terjadi sama sekali tak gue sangka, dia meminta kontak gue! Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Perkara Setelah Putus

23 Wednesday Jan 2013

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, Mia Haryono, perkara, putus

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Nothing Last Forever.

Baru dua minggu yang lalu aku dan dia yang kusebut sebagai kekasih itu, masih bersama memadu kasih dengan bahagia. Setidaknya, aku bahagia. Dan aku pun mengira, dia juga merasakan hal yang sama.

Aku salah. Ah, aku tak tahu salahku dimana. Tiba-tiba saja hubungan kami terasa aneh. Pertengkaran tak bisa dihindari dan kata ‘putus’ terucap dari bibirnya.

Orang bilang, mencintai dengan tulus itu adalah dengan merelakan. Karenanya aku tak menentang kemauannya dan permintaan putus itu aku iyakan, dengan satu keyakinan jika kami berjodoh pasti ia akan kembali padaku. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

A Gentle Smile in Amsterdam

27 Saturday Oct 2012

Posted by myaharyono in Fiction & Imagination

≈ 1 Comment

Tags

@myaharyono, Amsterdam, cerpen, fiksi, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Cik!

Aku berlari melewati hujan, yang menimbulkan bunyi gemericik akibat sepasang bootsku beradu dengan genangan air. Hujan tiba-tiba saja menyerbu di saat aku sedang menikmati suasana di negeri tanah rendah ini. Ya, tanah rendah, the lower land, atau dalam bahasa Dutch disebut The Nether Land.

Begitulah asal mula bagaimana negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad lamanya disebut, The Netherland. Rendah, karena berada sekian kaki ribu di bawah permukaan laut.

Dan aku, berkesempatan untuk mengunjungi ke Amsterdam, ibu kota negara itu. Sayangnya, perjalananku bertepatan dengan musim winter, dimana hampir setiap hari turun hujan.

“Miw…tunggu.” panggil Arin, teman seperjalanku di Amsterdam.

Dia selalu ingin menjadi satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama selain Mia atau Mimi, nickname-ku. Dia bahkan pernah mengatakan padaku seperti ini, “Kalau ada lagi yang manggil lo Mimiw, kasi tau ya. Gue cari nickname lain.”

Ada-ada saja travel mate-ku kali ini.

“Buruan, Rin. Kita naik tram aja ya daripada ujan-ujanan.” Suaraku meninggi agar Arin dapat mendengarnya, di tengah hembusan angin dan curahan hujan yang saling bersautan.

Kalau di Indonesia, aku suka berlarian di bawah hujan. Hujan tropis yang hangat dan sejuk dapat mengusir segala gundahku. Romantis sekali. Tapi di Belanda, air yang jatuh mencubiti kulit mukaku sampai sakit rasanya. Tak ketinggalan angin kencang yang membawa udara dingin menembus coat tebalku. Jadi, ketika hujan tiba-tiba datang ya kami harus segera berteduh.

We saved by the bell. Untung saja kami tepat sampai halte dan masih dapat memasuki tram sebelum kereta mini itu melanjutkan lajunya. Jadi nggak harus berteduh lebih lama di halte.

Tram adalah salah satu alat transportasi umum di Amsterdam, selain kereta dan taksi. Tram ini mungkin seperti monorail, kereta mini dengan lintasan 1 rel. Jarang sekali ditemui kendaraan roda empat maupun roda dua yang mengeluarkan polusi asap.

Selain itu, hampir separuh penduduknya menggunakan sepeda. Bahkan di sepanjang jalan, banyak diparkir sepeda. Hal tersebut menyebabkan kota Amsterdam sungguh luar biasa sejuknya.

Hujan membuat tram agak penuh dari biasanya. Setelah menempelkan kartu akses 24 jam seharga 7.5 euro atau sama dengan 93,750 rupiah, aku masuk ke dalam sambil menyapu pandangan ke seluruh isi tram ini mencari kursi kosong. No result found.

Udah mahal-mahal, berdiri pula. Keluhku dalam hati. Cukup mahal memang biaya hidup di Amsterdam. Tak terkecuali transportasi. Untuk dapat menggunakan seluruh alat transportasi umum sepuasnya di Amsterdam, tiket yang tersedia selain one-trip yaitu 1-hour-access, atau 24-hour-access. Hari ini aku membeli yang perhari, sesuai prediksiku seharian akan banyak diguyur hujan. Sehingga tak memungkinkan jika berjalan kaki.

Yasudahlah, yang penting kan enggak kehujanan. Aku mencoba menyenangkan hati sendiri.

Kereta mini yang aku naiki kemudian dengan gesit menyusuri bangunan-bangunan yang berdiri sejak tahun 1600-an ini. Amsterdam memang sangat mempertahankan sejarah. Tata kota yang meski tua, justru membuatnya terlihat unik. Aku sungguh menikmati perpaduan bangunan, kanal, dan kapal kecil yang menghiasi pemandangan dalam kereta. Jadi, meski berdiri, aku tak merasa susah.

Teng. Teng.

Begitu bunyi klakson tram ketika berjalan dan memberi peringatan, agar pejalan kaki maupun pengendara sepeda memperhatikan kereta yang lewat.

Aku sungguh menikmati tram, pemandangan di luar jendela, bunyi, ah segalanya. Sampai-sampai aku tak menyadari ada kursi kosong di belakangku. Yang semula menempatinya baru saja turun di halte tujuan.

“Miw, tuh duduk.” perintah Arin sambil menunjuk ke arah kursi kosong.

Setelah aku duduk Arin menanyakan tujuan kami kepadaku, “Jadi turun di mana? Berapa halte lagi, Miw?”

Biarlah peta yang menjawabnya. Aku mengeluarkan teman kesayangan Dora itu dari tasku. Sekilas, dari sudut mataku aku merasa diperhatikan oleh pria yang duduk di sebelahku. Aku meliriknya, benar saja, dia memang tadi memperhatikanku. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya seoalah ketakutan dipergoki.

Tampan. Aku tersenyum ke-GR-an dalam hati.

Tapi aku langsung ingat bahwa di negeri Holland ini banyak beredar copet juga. Dan copet di sini tentu saja ganteng. Aku reflek menutup resleting tasku dengan cepat. Apa salahnya berhati-hati kan.

Aku membuka petaku, dan mencari-cari daerah yang hendak aku datangi. Kami ingin menuju Rijks Museum, di depannya ada tulisan I am sterdam yang terkenal itu. Kami ingin berfoto di manifesto kebanggaan Amsterdam tersebut.

“Rin, tiga halte lagi kita turun ya. Abis itu ganti tram.”

Aku menoleh lagi, pria di sampingku itu kembali memperhatikanku.

Ah, matanya biru dan bening. Ingin rasanya berlama-lama menyelam sampai ke dasarnya. Aku mendadak gugup dan sulit bernapas.

Oh my God!

Akupun kembali berkutat dengan petaku. Aku melihat lagi ke luar tram, kendaraan ini sedang berhenti di halte berikutnya. Dan aku bisa melihat pantulan pria itu dari jendela. Dia memperhatikanku dengan seksama.

Seketika aku merasa kegerahan, padahal tadi sempat menggigil kehujanan. Dengan malu-malu aku menoleh padanya lagi.

Dan kali ini, ia tersenyum. A gentle smile that makes me warm.

Astaga, he’s so damn cute! Mungkin senyuman ter-cute yang pernah kulihat selama tiga hari menjadi turis di kota ini.

Aku merasakan jantung ini mulai berdebar cepat. Aku lirik lagi, ia tersenyum lagi. Aku menunduk lagi. Begitu seterusnya sampai tram kembali berhenti.

Satu halte lagi aku akan turun, jadi aku tidak boleh melewatkan kesempatan baik ini. Ada pria bule tampan dan menggemaskan di sampingku lalu aku harus diam saja?

Tidak, it’s now or never. Aku buang segala ketakutanku dan mengumpulkan segenap nadi keberanian yang aku punya.

Aku menghela nafas sejenak, sebelum akhirnya nekad menanyakan namanya.

“Hi, what’s your name.”

“He’s Sebastian. Isn’t he cute, huh?” ucap wanita yang menggendongnya di pangkuan.

“Yes, he’s charming. I love his smile. Hi Sebastian..” aku menyalaminya dengan memegang tangan mungilnya.

Ia menggelembungkan ludah dari mulut mungilnya, pertanda sedang sangat riang.

Dengan masih memegang jemarinya, aku mengatakan kepada Ibunya sambil tersenyum, “You’re so lucky to have a cute baby like Sebastian.”

Aku ingin juga punya anak bule selucu ini! tekadku dalam hati, tepat sebelum pintu tram terbuka di pemberhentian tujuanku.

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...
 

    %d bloggers like this: