Tags

, , , , ,

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

30 Juni 2011.

Beep.

Sebuah broadcast message gue terima di blackberry gue.

“Alhamdulillah.” gue mengucapkan kata pujian kepada Tuhan enggak lama setelah membacanya.

“Oppie melahirkan.” Gue kemudian menyampaikan berita itu kepada pria yang sedang duduk di sebelah gue di kantin kantor.

“Laki-laki.” lanjut gue sebelum pria itu sempat bertanya. Fokusnya masih tertuju pada semangkuk bubur yang sedang disantapnya sebagai menu sarapan.

“Nanti pulang kerja langsung jenguk ya?” ajak gue.

“Jangan pulang kerja, nanti waktu kita enggak banyak. Minggu aja.” dia menawar ajakan gue.

“Udah pulang dari RS dong si Oppie. Ke rumah berarti ya jenguknya?” Dia mengangguk pelan.

Gue sebenarnya sangat-sangat enggak sabar untuk melihat bayinya Oppie. Gue sudah mengikuti perkembangannya selama dia masih ada di rahim sahabat gue itu. Tapi apa boleh buat, gue kan masih mengandalkan pria yang tampangnya lurus saja, meski mendengar kabar gembira ini.

Satu hal yang gue enggak suka dari pria ini adalah kurang excited terhadap seputar anak kecil atau bayi. Sangat-sangat bukan calon-suami-able.

Hari minggu siang, jadilah kami berdua pergi menjenguk Oppie dan bayinya seperti yang dia mau. Sebagai hadiah untuk keponakan tercinta ini, gue membawakannya sebuah boneka jerapah.

“Kamu kasih kado jerapah?” tanyanya sambil tertawa. “Mau didoktrin pelan-pelan supaya suka jerapah juga kayak kamu? Dia tertawa lepas.

Sebuah tinju gue daratkan di bahunya. Motor yang kami kendarai oleng. Hampir saja jantung gue lompat saking kagetnya.

“Udah jangan ketawa terus, bawa motornya pelan-pelan” suara gue naikkan tingkat volumenya agar bisa didengar mengalahkan kebisingan jalan raya.

Setelah hampir 45 menit menempuh perjalanan, kami sampai juga di rumah Oppie.
“Aku mau lihat keponakanku. Udah dikasih nama, Pi?” tanya gue dengan semangatnya.

“Udah tante. Tapi tante dan om cuci tangan dulu sana sebelum liat bayi ganteng.” kami berdua mengikuti instruksi Oppie.

Sementara pria yang sudah berbaik hati mengantarkan gue ini duduk istirahat, gue langsung menghamburkan diri ke kamar tempat si bayi berada.

Mungil dan merah, dalam lilitan kain. Bayi itu mengulet-ulet enggak mau diam sambil memainkan liur di dalam mulutnya.

Subhanallah.

“Namanya Khalafi Shafwan Althaf. Artinya anak laki-laki yang baik, berhati lembut dan penuh belas kasih.” jelas sahabat gue itu.

“Amiin.” jawab gue. “Namanya seindah orangnya. Aku boleh cium?” gue kemudian memasang muka memelas.

“Kamu gendong juga. Biar nular cepat nikah terus punya bayi sendiri.”

“Takut.”

“Harus coba sayang. Kamu tuh sama saja sama laki kamu, takut anak kecil. Bawa Althaf ke dia, biar dia suka terus jadi pingin cepet-cepet deh.” si Oppie mengikik pelan.

Iya gue takut gendong bayi. Gue takut bayinya menangis. Kalau sudah begitu gue akan dipenuhi rasa bersalah. Apakah gue melukainya sampai menangis? Atau malah bayi itu menangis karena menolak gue?

Bayi ganteng ini terus menatap gue. Kedua tangan mungilnya dikepak-kepakan di kasur. Kemudian mengarahkannya ke gue. Seolah si bayi ingin digendong.

Oppie kemudian mengangkat Althaf.

“Ayo, siapkan posisi gendong. Hati-hati ya.”

Gue menahan nafas.

Beberapa detik kemudian, bayi ini sudah ada didalam gendongan gue.

Diluar dugaan, bayi ini enggak menangis. Malah masih menatap gue, tersenyum. Gue angkat sedikit tubuh mungilnya lalu gue kecup kening dan pipinya.

Bayi ini tampak kegirangan. Boys will be boys.

Gue melangkahkan kaki keluar dari kamar si bayi yang penuh dengan boneka dan hiasan lucu. Jerapah dari gue sudah gue berikan tadi waktu datang. Dan sekarang si jerapah bergabung dengan boneka-boneka lain milik Althaf.

Gue hendak mengantarkan bayi laki-laki ini ke pria yang sedang duduk di ruang tamu, berbincang dengan Ayahnya si bayi.

“Ini loh bayi gantengnya. Namanya Althaf.” gue kemudian duduk di samping pria itu.

“Halo Althaf.” Sudah begitu saja kata yang keluar dari bibir pria itu. Benar-benar kaku menghadapi bayi.

Bayi Althaf ini juga menatap si pria. Tangannya malah mencoba meraih muka si pria.

“Itu Al sepertinya pingin interaksi sama kamu. Jangan takut.” kata Oppie pada pria itu.

Kemudian pria itu memegang tangan si mungil lalu menggoyangkannya. Si mungil tertawa, dia senang sepertinya.

Si pria juga tertawa. “Eh dia ketawa. Lucu banget.” ucapnya. Lalu tangan yang satunya mengelus rambut Althaf. “Rambutnya banyak ya.”

“Hadeuh, ngelusnya kaku banget. Kayak kamu elus rambut aku aja, sayang.” goda gue.

Dia nyengir lebar.

Lima belas menit berikutnya, si pria itu malah enggak ada berhentinya bermain dengan si bayi. Sampai waktunya si bayi minum ASI.

Kami pun pamit pulang.

Di perjalanan pulang, tiba-tiba pria itu bersuara. Memecahkan keheningan di antara kami.

“Kita nikah yuk. Aku ingin punya kayak Al juga.”

Lamaran macam apa ini? Di motor dan di tengah kemacetan. Begitu tiba-tiba dan tak terduga. Saking bahagia mendengarnya sampai-sampai mau jatuh dari motor rasanya.

Sungguh Althaf rupanya seketika membawa perubahan besar pada pria yang sedang membonceng gue ini. Si pria yang selama ini mengaku belum siap menikah, seperti mukjizat, setelah melihat Althaf keraguan dan ketakutannya menghilang.

Dia ingin segera menjadi Ayah. Sangat mengejutkan.

Semengejutkan kecelakaan yang merenggut nyawa pria itu tiga hari setelahnya.

***

Satu tahun kemudian.

“Selamat ulang tahun, Althaf sayang.” Gue menyerang bocah ganteng ini dengan ciuman bertubi-tubi.

Waktu sangat cepat berlalu. Rasanya baru kemarin Al dilahirkan, lalu gue dan dia menjenguknya. Ah…hati ini terasa sesak karena memikirkannya.

Gue masih belum dapat melupakannya. Sejak kepergiannya, satu-satunya yang dapat menghibur gue adalah Althaf. Gue rutin ke rumah Oppie hanya untuk bermain dengan Althaf, bayi yang sangat disayangi pria itu. Bayi yang telah membuatnya memutuskan untuk siap berumah tangga. Gue merasa berhutang budi pada Althaf.

Meski akhirnya kenyataan berjalan enggak seperti harapan.

Dengan bermain bersama Althaf gue merasakan kehadirannya. Sangat kental terasa. Seperti kami sedang tertawa-tawa bertiga.

Gue tau dia masih ada bersama kami.

“Al sayang, mari kita doakan Om baik-baik ya di sana. Dia pasti sudah bahagia di tempat dimana dia dicintai sekarang.”

Bocah itu menatap gue dengan matanya yang sipit. Makin lama seperti bocah korea deh.

Lalu Al tertawa sendiri. Sangat menggemaskan. Gue serbu si asem ini lagi dengan kelitikan di perut. Al makin senang.

“Al sayang, doakan tante cepat dapat pengganti Om ya?”

Al menatap gue dengan bengong. Lalu menganggukkan kepalanya dan tertawa lagi sambil teriak kecil.

Advertisement