• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: cerita cinta

Orang Ketiga

30 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@evanjanuli, cerita cinta, cerpen, Evan Januli, fiksi

Prepared by Client:
Evan Januli (@evanjanuli)

Orang ketiga.

Dua kata yang paling aku benci sampai saat ini.

Dua kali hubunganku harus berhenti di tengah jalan karena orang ketiga yang tiba-tiba hadir. Mungkin memang tidak sepatutnya kita terlalu membenci sesuatu. Karena suatu saat, bisa saja kita malah berada di posisi tersebut.

Ya, itu aku. Baru saja kemarin menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Dan yang aku pelajari adalah, salah dan benar hanyalah sebuah skala pengukuran relativitas.

Hari ke sembilan belas bulan sembilan. Merupakan awal dari rentetan hari-hariku yang tidak tenang. Hampir setiap malam, dua orang kekasih yang juga sahabatku masing-masing mengadukan masalah percintaan mereka kepadaku. Setiap paginya, terpaksa aku harus membersihkan telingaku lebih lama akibat terlalu sering digunakan untuk menerima telepon mereka.

Jujur, aku gemas sekali. Mengapa mereka tidak bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Mengapa harus aku menjadi perantaranya? Mengapa? Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Si Kepala Sepatu

02 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@nisfp, Annisa Fitrianda P., cerita cinta, cerpen, fiksi

Prepared by Client:
Annisa Fitrianda P. (@nisfp)

Masih pada matahari yang sama, kota yang sama, kepenatan yang sama, dan tentunya dosen yang sama.

“Yes! Kali ini aku datang 10 menit setelah Bu Jenny masuk kelas. Artinya aku bisa ikut kelas Psikologi Umum! Yes!”

Aku mengetuk pintu kelas sambil menarik napas dalam-dalam, “Permisi, Bu.”

“It’s been 15 minutes since I’m here. Late again, Miss.”

“What?” Jawabku syok.

“Dan kalaupun tidak terlambat, kemungkinan saya mengizinkan kamu masuk itu kecil sekali. Lihat itu. Sepatu di kaki kanan dan sandal jepit di kaki kiri. What a shame, Miss.”

Leherku tertohok. Mulutku menganga. Pelan-pelan kuturunkan kepala. Terlihat di sana sepatu berhak datar biru tua di sebelah kanan dan sandal jepit kuning di sebelah kiri. Seketika itu juga kelas langsung riuh rendah dengan tawa. Sialan! Sekejap aku langsung keluar kelas, membanting pintu. Amat sangat memalukan! Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

27 Thursday Dec 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Grahita Primasari, penyesalan

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata

Baru saja gue pulang dari bersepeda. Hobi yang menjadi kegiatan rutin di akhir pekan. Ketika sedang meletakkan sepeda di halaman belakang rumah, Bellagio hitam gue berdenting pelan. Pertanda ada SMS masuk.

“Ah. Paling provider lagi bagi-bagi SMS gratis,” pikir gue sambil melenggang santai ke arah ruang tengah.

Gue melempar kupluk ke sofa. Kemudian membuka kaos yang penuh keringat dan membuangnya ke lantai. Ketika sedang asik mengunyah roti bakar yang sudah tersedia, Bellagio hitam gue berdenting sekali lagi.

Pandangan gue alihkan ke LED merah yang berkedip berulang kali. Dengan malas, gue menyentuh icon SMS di layar dua setengah inchinya.

“SELAMAT! Anda memenangkan sebuah sepeda motor…”

Icon delete langsung gue pencet paksa bahkan sebelum selesai membaca seluruh isi SMS. Pagi-pagi udah ada yang nipu aja. Dikiranya gue bego, apa?

Gue men-scroll kursor dan mendapati satu SMS lagi di bawahnya. Sebuah SMS superpanjang di bawah nama mantan orang terdekat gue dua bulan lalu. Ayudya Valencia. Atau biasa dipanggil dengan Ayu.

Mata gue membesar. Detak jantung gue meningkat dua kali lipat dari kecepatan normal. Ada apa ya? Kenapa dia tiba-tiba menghubungi gue? Toh selama dua bulan ini kami sudah tak ada kontak sama sekali.

Hai Ton, apa kabar?

Demikian kalimat pembuka SMS-nya yang semakin membuat jantung berdebar. Sambil menahan napas, gue melanjutkan membaca.

Aku tahu kamu pasti lagi main sepeda sekarang. Pake kupluk merah, celana pendek, sambil menggigit handphone lantaran celana kamu gak ada sakunya.

“FAK! Ini dia kenapa sih? Lagi kangen kali ya sama gue?” Gue memaki dalam hati. Karena hingga kalimat ini, gue masih belum mengerti apa maksudnya menghubungi gue lagi.

Kalau kamu nanti sudah selesai sepedaan, kamu buka link ini ya. Ini link blog baru-ku yang harus kamu baca. Soalnya tulisan ini buat kamu. Thank you. Last but not least, happy blessed birthday. :)

Kening gue berkerut dalam. Sekarang tanggal berapa sih? Gue bahkan tidak ingat kalau hari ini gue berulang tahun.

Dengan otak yang masih setengah linglung, link yang ia berikan langsung gue klik tanpa pikir panjang. Beberapa detik kemudian gue pun mendarat di sebuah blog berwarna pink cantik yang sangat girly.

Yang (Pernah) Terkasih.

Demikian judul postingannya yang hanya membuat gue menahan napas sekali lagi. Tidak terbayang sebelumnya bahwa gue akan menahan napas lebih lama lagi ketika selesai membaca tulisannya ini.

Akhirnya selesai sudah hubungan kita. Selesai setelah sekian lama hanya hambar terasa.

Saat kamu membaca tulisan ini, kemungkinan besar aku sudah melupakan kamu. Bahkan mungkin telah memiliki penggantimu.

Namun yang perlu kamu tahu adalah tentang aku yang sangat kecewa. Kecewa karena ternyata hanya sampai di sini saja hubungan kita. Kamu melepaskan aku semudah melempar topi kupluk ke atas sofa.

Ketika aku mengirimkan sebuah SMS yang meminta untuk putus hubungan, kamu langsung mengiyakan. Tanpa repot-repot menelepon atau ingin bertemu untuk membahas permasalahan. Hanya dengan cara membalas SMS-ku mengiyakan?

Ah, sudahlah. Toh aku tak menyesal memutuskanmu.

Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang jarang-jarang memberi kabar? Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang nyaris tak pernah memperhatikan? Boro-boro memperhatikan. Ingat saja tidak.

Dan maafkan kalau selama ini aku membuatmu repot.

Maaf jika aku sering minta jemput ke sana kemari, merengek minta ditemani, atau memohon dibawakan makanan pada malam hari.

Maaf.

Mungkin kamu perlu tahu bahwa itu kulakukan karena aku memang sangat mengandalkanmu. Terlalu mengandalkanmu. Karena siapa lagi yang bisa kuandalkan selain kamu, ya kan? Kamu tahu aku tinggal sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini.

Tapi aku mengerti. Mungkin kamu sudah terlalu lelah menghadapi kemanjaanku. Atau sudah tidak tahan menghadapi segala keinginanku.

Harapanku, kamu bisa menjadi lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang menghadapi semua masalah yang hinggap. Bukan malah menyeribukan langkah dan menguatkan derap. Lelaki yang merealisasikan janji, bukan hanya berakhir sekadar mimpi. Lelaki yang bisa menghargai perasaan, bukan hanya acuh melihat pengorbanan.

Sakit, tahu. Sakit. Mendapati kamu yang menghilang berhari-hari. Kemudian muncul begitu saja seolah tak ada yang menyakiti diri.

Butuh waktu berpikir, katamu?

Ah, terserah sajalah. Aku juga sudah lelah.

Sudah cukup aku menelan kekecewaan bulat-bulat. Semua sudah lumat. Sekarang aku hanya ingin semuanya lewat. 

Sederhana saja, mungkin kita memang tidak berjodoh.
Atau mungkin, memang aku yang terlalu bodoh.

-AV-

Gue tertegun ketika sampai pada titik terakhir postingan itu. Walaupun dia berusaha menutupi dengan apik, ada kemarahan dan kekesalan yang benar-benar terasa di setiap kalimat yang ditorehkan oleh mantan orang tersayang gue ini.

“Emangnya gue dulu begitu ya?” Pertanyaan tersebut terlontar dari hati kecil gue. Dan sebagai balasannya gue memperoleh hardikan “iyalah, Cumi! Pake nanya pula.”

Gue mengacak rambut keras-keras. Frustasi. Entah kenapa gue baru menyadari bahwa tulisan Ayudya itu semuanya benar. Gue memang lelaki yang gak bertanggung jawab. Sering menghindar dari masalah. Kabur begitu saja dan muncul seenak jidat.

ARGGGHHH! BEGO BANGET SIH GUE!

Demikian status Twitter yang gue update tiga puluh detik yang lalu. Status yang langsung mengundang keingintahuan para sahabat satu lingkaran.

@roysaputra: lo kenapa, Nyet?

@riandidendi: lah, baru nyadar lo bego? Ke mane aje?

@gadunganromeo: dari lahir elu emang udah bego, Cong.

Username mereka bertiga gue letakkan pada satu twit baru. Lalu gue ketikkan:

BERISIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIK………………..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dengan titik dan tanda seru yang masing-masing berjumlah dua puluh.

Dasar kampret nih para bocah. Mereka gak tahu sih gue lagi galau. Mereka gak tahu gue lagi menyesal setengah mati, lantaran kemarin dulu segampang itu melepas Ayu.

Have you ever felt so guilty and stupid at the same time?

I have. I feel it now. I really feel it now.

Mata gue hanya terpaku ke profil Ayu di Twitter. Menyusuri kegiatannya beberapa minggu terakhir. Sampai akhirnya layar web browser gue pindahkan ke aplikasi SMS. Dengan sangat ragu gue mengetikkan pesan untuknya.

“Hai. Kamu lagi apa?”

Pesan yang gue sesali tiga detik setelah memencet tombol kirim. Astaga. Gak ada pertanyaan yang lebih bego lagi, apa?

Tiga batang rokok sudah gue habiskan ketika akhirnya dentingan pelan itu terdengar. Hey world, she replied my text!

Ya walaupun hanya singkat saja dengan tiga kata. “Lagi nonton TV.”

Gue berpikir keras. Memikirkan hal yang bisa menarik perhatiannya.

“Kamu nonton TV di kost kan? Mau nganterin voucher restoran suki favorit kamu nih.”

Nyaris satu dekade rasanya ketika sepuluh menit kemudian ia membalas pesan gue. “Di kost. Kamu ke sini aja.”

Yeay! Ingin rasanya gue melakukan lari-lari bahagia ala striker yang baru saja memasukkan bola ke gawang. Tapi gue tahan. Toh ini baru langkah awal.

“Aku ke sana sekarang.”

Gue sedang mengambil kunci mobil ketika muncul “okay” dari Ayu.

“Aku otw ya.” Gue menyempatkan diri memberi kabar sebelum menginjak pelan pedal gas.

Tiga menit kemudian, muncul balasan darinya.

“Tapi aku mau ke supermarket sebentar sih. Kalau aku gak ada, nanti vouchernya titip ke si mbak aja.”

Sumpah. Saat ini gue mengerti perasaan kiper yang kebobolan di menit-menit akhir padahal timnya sudah memimpin. Sudah merasa di atas angin namun jatuh membentur bumi tanpa ampun. Sakit, Man. Sakit.

***

Beskap ini membuat gue susah bergerak. Namun apa daya, Tania memaksa gue menjadi salah satu pagar bagusnya. Karena ini pengalaman pertama menjadi panitia pernikahan, gue jadi agak gugup. Oh, atau mungkin gue gugup karena Ayu seharusnya muncul sebentar lagi.

Band pernikahan sedang menyanyikan Everlasting Love-nya Jamie Cullum ketika sesosok tinggi langsing itu muncul. Ia menggunakan gaun merah berbelahan dada rendah hari ini. Rambutnya digelung  ke samping, menonjolkan keindahannya leher dan bahunya. Wajahnya tampak lebih bersinar dibanding terakhir gue mengingatnya.

Kampret. Dia semakin cantik saja.

“Kamu sendirian aja?” Demikian suara halus itu menyapa telinga gue.

“Berdua kok, sama kamu,” kata gue sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Gak lucu kalau dia sampai melihat tangan gue yang agak gemetar lantaran bertemu dengannya.

Ia hanya tersenyum kecil. Lalu segera menggamit lengan Viona sahabatnya. Beranjak pergi meninggalkan gue. “Makan dulu ya,” pamitnya singkat.

Gue memandangi punggungnya. Menimbang-nimbang apa yang harus gue lakukan agar ia mau diajak berkencan sore ini. Tapi gue ragu. Atau lebih tepatnya, gue gengsi. Mau ditaruh di mana muka gue kalau ia menolak diajak pergi?

Namun entah setan dari mana yang membuat gue nekat.

“Ayu!”

Setengah berteriak gue memanggil namanya. Wanita bergaun merah itu memutar tubuhnya dalam gerakan lambat. Kepalanya menoleh senada dengan anggunnya.

“Ya?” Dia bertanya bingung.

Langkah kaki gue percepat menuju tempatnya. Setengah tersengal gue berbisik, “Temenin aku nonton 5cm yuk sore ini.”

Senyum Ayu yang sangat familiar melengkung indah. Namun sayangnya, jawabannya tidak seindah senyumnya.

“Aku gak bisa Ton. Maaf ya.”

“Kenapa? Kamu udah ada acara?”

Ayu menghela napas panjang, “Ya. Kurang lebih.”

“Aku makan dulu ya, Ton,” sambungnya lagi.

Déjà vu rasanya ketika ia meluncurkan kalimat pamit hendak makan. Sama seperti déjà vu ketika gue melihat punggung bergaun merahnya melenggang pergi.

Langkah kakinya gue amati. Ia berjumpa dengan sekawanan teman lama, cipika cipiki sana sini. Mengambil air putih dan meneguknya hingga tandas, lalu mendekati stand pasta. Tak lama kemudian ia asik memelintir spagheti sebelum akhirnya disuapkan ke mulut.

Eh, sebentar.

Disuapkan ke mulut lelaki?

Gue gak salah lihat kan?

Siapa dia? Kenapa dia menerima perlakuan semesra itu?

HHHHHHHHHH.

Gue menghela napas panjang. Helaan napas terpanjang yang pernah gue lakukan seumur hidup. Dada gue sesak seperti kekurangan oksigen. Seperti ada yang dicabut paksa di sana. Terkuak sudah penyebab Ayu menghindari gue. Ada dia yang lain di hatinya sekarang.

Mungkin Ayu benar.

Ia seperti kupluk yang dengan mudahnya gue lempar ke sofa. Namun sayangnya, gue nggak semudah itu bisa mendapatkannya kembali seperti gue memungut kupluk. Ada lelaki lain yang lebih cerdas, yang menyadari bahwa ia terlalu berharga untuk disia-siakan.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seiring dengan kehilangan kamu yang terlalu cepat.

Succesfully posted your tweet!

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Bulan Sebelas, Kala Hujan Deras

30 Tuesday Oct 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 4 Comments

Tags

@evanjanuli, cerita cinta, cerpen, Evan Januli

Prepared by Client: 
Evan Januli (@evanjanuli)

Pemuda tampan itu kupanggil Andre karena nama aslinya, Andreas, terlalu panjang jika kupanggil dengan bibir mungilku ini. Selebihnya karena pada saat pertama kali kami dikenalkan, dia bilang agar aku cukup memanggilnya dengan sebutan Andre.

Andreas Winarko, lelaki keturunan Tiong Hoa dengan mata yang tidak terlalu sipit dengan rambut yang terurus rapi, bahkan terkesan klimis. Tubuh yang atletis didukung dengan mata yang agak cekung ke dalam dan ternyata memiliki bola mata kecoklatan. Bulu halus di wajahnya terjaga dengan rapi di sekitar dagu dan lingkar mukanya yang semakin menimbulkan kesan maskulin. Penampilan yang bagiku cukup dapat meluluhkan hati semua wanita.

Berangkat dari pertemuan yang telah tersusun rapi dan berakhir dengan pertukaran kontak, alamat dan saling mengirimkan pesan singkat melalui perangkat kecil yang mengambil nama dari buah blackberry. Setelah itu, pertemuan-demi pertemuan berlanjut. Dimulai dari rutinitas menikmati pekatnya kopi hitam di sebuah kafe di daerah Senopati, hingga sekedar menonton film di bioskop.

Sekian banyak pertemuan tanpa rutinitas yang monoton, mulai dari kopi, film, hiburan, makanan, belanja hingga menikmati suasana alam, akhirnya mulailah fase yang disebut dengan kencan. Kencan yang semakin lama menjadi kencan yang tak kenal waktu maupun tempat. Semakin lama fase ini berjalan, semakin berwarna indah hidupku.

Seringkali Andre, yang memang lebih tua 4 tahun dariku, menjemputku di kantor dan mengajakku untuk makan malam sederhana lalu mengantarku pulang. Tak jarang pula Andre datang ke rumahku dan kita hanya melewati malam berdua hingga berpisah dengan selesainya sarapan.

Semakin banyak hal indah yang terbentuk dari kesamaan kami berdua hingga semakin tidak sanggup aku jika harus meninggalkan Andre, dengan alasan apapun.

Hari ke dua puluh sembilan di bulan sebelas, aku terdiam sendirian saat hujan turun dengan deras. Satu hal yang terus melintasi pikiran membawaku melihat ke belakang awal kisahku dengan Andre. Di pertengahan tahun kemarin.

Aku lahir dua puluh empat tahun yang lalu di Jakarta dan aku besar di lingkungan keluarga yang harmonis dan cukup ketat dalam aturan keseharian, juga dengan nilai kehidupan. Aku cukup bahagia di keluarga, setidaknya sampai sebelum aku mengenal Anita. Anita yang seumur denganku adalah sahabatku sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Anita. Iya, Anita adalah sahabatku yang paling dekat. Aku bisa membicarakan apa saja dengan Anita, bahkan sampai hal  yang paling pribadi sekalipun. Aku dan Anita sama-sama memiliki jiwa petualang dan berani mencoba hal baru. Kebanyakan sifat kami memiliki kesamaan, bahkan sampai selera dan kesukaan kami pun banyak yang sama. Tidak jarang, saking dekatnya kami, kami dikira bersaudara.

Di hari yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan hari yang lain, tetiba Anita membicarakan tentang sekumpulan temannya yang masih dianggap agak berbeda oleh kebanyakan masyarakat yang menganut paham timur. Anita membicarakan topik yang ternyata sangat menarik bagiku di kala itu. Membicarakan topik semenarik itu membuat sang waktu menyediakan tempat khusus hanya untuk kami berdua. Topik tentang Gay, Lesbian dan Bi-sexual.

“Gila juga yah, Nit, mereka sampe kaya gitu. Mereka sadar gak sih yah mereka sebenernya tuh salah jalan?”

Responku yang sangat spontan setelah Anita memberitahu tentang detail apa saja yang mereka lakukan. Jujur saja, aku cukup kaget mengetahui fakta seperti itu. Namun, entah mengapa di dalam diriku muncul keinginan yang cukup berani sekaligus mulia.

“Eh Nit, gue pengen deh kenal mereka lebih dalem, pengen bantu mereka buat balik ke jalan yang lurus lagi. Gimana menurut lo? Mau bantuin gue gak?”

“Kenapa lo jadi mikir kaya gini?”

“Iya lah, mereka mungkin belom ketemu orang yang bisa bikin mereka balik ke jalannya aja jadi gue pengen bantu mereka buat balik ke jalannya sih. Inget gak waktu si Lina yang rela beliin cowonya apa aja tuh padahal cowonya brengsek terus abis gue ngomongin ke dia kan dia gak gitu lagi karena dia baru sadar dia cuma dimainin doing. Ya sama aja Nit.”

“Beda lah. Ini menyangkut perilaku hidup. Lo yakin? Gak takut emangnya?”

“Gak lah, kok takut sih? Mereka kan juga manusia biasa dan mereka tuh bisa juga deket banget sama cewe kan. Sampai ada istilah women’s best friend. Lagian gue kan maksudnya baik, bantuin mereka jadi mereka bisa balik ke jalan yang bener.”

“Hmmm. Beneran?”

Didukung dengan keinginanku yang semakin bulat dan latar belakang keluarga yang selalu menekankan nilai-nilai baik sejak aku masih kecil, jadi aku memutuskan untuk melakukan apa yang aku katakan.

“Yakin seyakin-yakinnya dong! Lo mau bantuin gue gak nih? Ada kenalan lo yang punya link ke komunitas mereka gak? Ke yang gay aja kali yah jadi gue beneran bisa dalemin gitu, kan cowok gay biasanya lebih terbuka juga.”

“Capek gue nanya berulang-ulang sebenarnya. Sekali lagi gue tanya, yakin nih lo yah? Gak nyesel nantinya? Gue udah ingetin loh nih. Kenalan sih ada kok. Gampang lah itu kalo lo beneran mau dikenalin.”

“Iyaaaaa, minggu depan yah. Tapi kalo gue boleh tau sebenernya lo kenapa sih sampe segini semangatnya?”

“Gue tuh sebenernya gak suka aja ngeliat kaum gay sih, karena mereka tuh kaya hidup di dunianya sendiri dan mereka emang beneran banyak gak dianggep sama masyarakat kan.”

“Ya tapi kan itu hak mereka dan udah jadi pilihan mereka juga sih dan itu gak ganggu lo ya udah gak masalah dong.”

“Ya tapi tetep aja gue gak suka ngeliatnya! Gue pengen coba buat bikin mereka normal lagi. Lagian banyak banget cewek cantik plus seksi di Jakarta. Lah kenapa mereka malah mikir sesama jenis gitu? Kita aja gak mau sama sesama jenis kan nih!”

“Jadi lo yakin dengan niat ngubah mereka bakal bikin kehidupan yang lebih baik? Gue sih gak yakin, kan semua manusia berhak punya jalan hidup yang beda-beda juga.”

“Iya lah!! Jelas itu! Gue pribadi juga gak suka ngeliat cowok yang lemah lembut terus jalan sama sesama cowok gitu! Apaan tau tuh kaya gitu! Gue aja ogah pegangan tangan sama sesama jenis tapi gue bingung mereka mau.”

“Lo terlalu idealis deh ini, beneran deh! Gue tetep gak setuju banget sama jalan pikiran lo ini.”

“Gak dong Nit, ini justru bagus bagi gue sih. Gue gak suka banget sama sesuatu dan gue pengen ngubah sesuatu itu, toh juga jadi lebih baik kan.”

Percakapan aku dengan Anita selesai tidak lama setelah kalimat penegasan akhirku tersebut.

Di minggu depannya setelah aku dikenalkan dengan seorang pria yang ternyata adalah gay yang ‘top’, aku pun mulai menjalin pertemanan terlebih dahulu dengannya karena memang tujuanku adalah mencoba untuk mengubahnya agar tidak menjadi gay lagi. Top itu adalah gay yang merupakan pacar yang lebih ‘pria’ daripada pasangannya, sebaliknya pasangannya adalah bottom. Namun, ada lagi yang bisa menjalankan fungsi keduanya yang biasa disebut dengan ‘Versatile‘.

Semakin aku mengenal pria ini, aku bisa semakin dekat dengannya karena memang pada kenyataannya, dia ini merupakan pria yang asyik diajak ngobrol tentang apapun. Dia pintar dan mampu membawa diri, ditambah dari segi fisik, dia cukup tampan.

Semakin lama aku mengenalnya, aku pun tidak sadar bahwa aku mulai membawa emosiku ke dalam hubungan ini. Aku mulai nyaman dengannya dan ternyata dia berasal dari keluarga yang cukup terpandang di Jakarta. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang cukup baik sebagai seorang General Manager di sebuah perusahaan properti dengan skala nasional.

Aku mulai bisa bercerita dan mulai menghabiskan waktu dengannya. Aku semakin merasa nyaman jika dekat dengannya. Aku pun semakin bingung apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap pria ini.

Semakin kusadari bahwa sisi idealism yang dari awal terbentuk lebih kokoh daripada sebuah benteng sekalipun ternyata semakin lama hancur juga, bahkan sekarang idealism tersebut sudah hilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Pengikis idealism itu tidak lain adalah kata hatiku sendiri. Kata hati yang semakin hari semakin kencang berteriak.

Gundah? Iya.

Galau? Iya.

Bingung? Iya.

Malu? Iya.

Namun, otak manusia tidak dirancang untuk berpikir menghadapi hati manusia. Jadi apakah aku harus bertekuk lutut di hadapan hati ini?

Idealisme terbentuk di otak, sehingga ketika kata hati berbicara, idealisme pasti akan runtuh juga.

Dan di sini lah aku sekarang menatap ke jendela sambil ditemani sebatang rokok kretek menikmati hujan, memikirkan hal yang berputar di kepalaku didukung dengan akhir pembicaraan dengan Anita di ujung telepon.

Namaku Deni Putranda dan aku sedang bingung bagaimana aku mengenalkan Andreas Winarko di makan malam tahun baru nanti bersama keluargaku? Dan aku mengakui telah jatuh cinta pada Andre, pria gay yang semula ingin aku tuntun karena idealismeku tapi aku malah jatuh cinta kepadanya. Dan sekarang aku hanya mampu terdiam menerima cacian sahabatku Anita di ujung telepon.

“I’ve told you deh, makanya jangan sok idealist! Akhirnya lo kemakan sama idealism gak mendasar lo itu kan. Kena batunya deh lo. Udah lo tenangin diri dulu aja, besok kita ketemuan deh ngomongin ini lagi.”

–THE END–

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Atas Nama Emansipasi Wanita

28 Friday Sep 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 3 Comments

Tags

@dendiriandi, atas nama emansipasi wanita, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Dendi Riandi, emansipasi wanita

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

“Riani. Riani. Riani.” Sebuah tangan menepuk-nepuk punggung tanganku secara perlahan.

“Eh, iya? Kenapa, Gas?” suara Bagas membuyarkan lamunanku dan menarikku kembali ke alam nyata. Ini semua gara-gara Sinta. Perkataan Sinta tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Membuat pikiranku melayang kemana-mana mengenai apakah aku harus mengikuti sarannya atau tidak.

“Kamu kenapa sih malam ini, Ri? Dari tadi kok kayak lagi nggak di tempat pikirannya?”

”Ah, enggak.” Aku langsung meminum segelas Hot Chocholate yang ada di atas meja untuk mengalihkan kegugupanku. Saat ini aku dan Bagas sedang berada di sebuah kedai kopi tempat biasa kami menghabiskan waktu sehabis pulang kantor. Namun karena minum terburu-buru, Hot Chocholate itu sedikit tumpah dari mulutku. Tumpahannya membasahi blazer-ku.

”Tuh, kan, kalau minum tapi pikirannya nggak di sini, ya begini jadinya. Ada yang lagi dipikirin ya?” Bagas bertanya sekali lagi sambil mengelap blazer-ku dengan tisu. Pria ini memang sangat perhatian sekali. Ini yang menjadi alasanku nyaman bersamanya.

”Nggak apa-apa kok, Gas. Benar. ”

“Kalau kamu lagi banyak pikiran, mending cerita deh. Aku Siap ngedengerin kok. Biasanya juga begitu, kan? Kamu cerita soal masalah kamu, soal keluarga kamu, soal urusan kantor, dan aku akan jadi teman yang selalu siap mendengarkan dan memberi masukan.”

Teman. Setiap kali aku mendengar kata itu, ada perih yang mengiris pelan-pelan hatiku. Mencoba memaksakan senyum palsu kepadanya. Damn you, Sinta. Kali ini elo benar. Mungkin aku memang harus mengikuti sarannya. Percakapan tadi siang pun kembali berputar di kepalaku.

***

”Eh, nek, lo udah sedekat apa sih dengan si Bagas ini? Jangan-jangan lo udah jadian ya?” Sinta, sahabatku bertanya di sela-sela makan siang kami di kafetaria kantor.

“HUSSH!! Ngomongnya pelan sedikit kenapa? Kan nggak enak kalau ada yang mendengar.” kucubit lengan Sinta karena kesal dia sudah menggodaku.

”Jadi bener nih, lo udah jadian?” Sinta mengonfirmasi sekali lagi.

Aku cuma menggelengkan kepala.

”Lho, tiga bulan kalian dekat, sering pulang bareng, ngopi-ngopi bareng, bahkan terakhir kali lo cerita kalau dia nganterin lo belanja sepatu dan tas, tapi dia belum juga nembak lo?”

”Ya gitu deh.”

”Hmm.. jadi selama ini lo digantungin, gitu?”

”Ya nggak gitu juga sih, Sin. Mungkin Bagas belum nemu waktu yang pas aja. Mungkin dia pengen kenal gue lebih dekat lagi.”

”Susah deh ngomong sama orang yang lagi falling in love. Memang Bagas orangnya kayak gimana sih, nek? Selain ganteng dan lucu, tentunya ya.”

”Ya, dia sangat hangat dan perhatian. Teman curhat yang baik dan enak. Kayaknya tahu banget soal isi hati dan cara handle perempuan, bahkan saat-saat emosi gue lagi nggak stabil gara-gara PMS. Mantan-mantan pacar gue dulu, nggak ada yang sangat perhatian dan sepengertian itu. Bahkan kalau ngantar gue belanja juga, dia nggak pernah nunjukin muka bete. Kalau dimintain pendapat soal mana baju atau sepatu yang lebih bagus, dia selalu tau pilihan terbaik. Pokoknya, bagi gue dia cowok yang sempurna banget deh.”

”Sempurna tapi kalau cuma jadi teman ya percuma, non. Terus, lo mau digantungin sampai kapan? Cucian basah kalau digantung sih bagus, bakal kering. Lah kalau hubungan digantung, ya bakal pahit jadinya.“

”kok lo ngomongnya gitu sih, Sin? Harusnya sebagai sahabat lo mendukung gue, bukan malah ngejatuhin kayak begini?“

”Justru karena gue sahabat lo, gue nggak mau lo terluka.“

”Terus, gue harus gimana, Sin?“

“Ya mungkin lo yang harus gerak duluan!”

“Tapi kan gue cewek, Sin. Masa cewek yang gerak duluan sih?”

“Kita nih perempuan, pengennya apa-apa yang enak harus Ladies First, tapi soal gerak duluan masih aja malu. Ri, dengerin ya, arwah Ibu Kita Kartini pasti nggak akan pernah tenang kalau lo masih teriak-teriak emansipasi tapi soal gerak duluan masih ngarep cowok yang bakal ngelakuin!”

Aku hanya bisa terdiam oleh perkataan Sinta.

***

Siang pun telah berganti malam. Di hadapanku sekarang bukanlah Sinta, tapi Bagas. Tapi perkataanya masih saja menghantuiku.

“Eh, maaf ya Ri. Aku jawab email dari kantor dulu. Dari si bos soal permintaan client kita yang kemarin.” Ucap Bagas lalu menatap serius layar smartphone-nya sambil sesekali jarinya menari mengetikkan beberapa kalimat di atas layar touchscreen gadget tersebut.

Bagas Candra Wijaya, anak baru special hiring yang ‘dibajak’ dari kantor pesaing. Usia awal tiga puluhan. Mempunyai wajah yang terbilang cukup tampan, berperawakan tinggi dengan badan yang cukup atletis karena sering fitness. Sorot matanya cukup tajam dan yang terutama lesung pipitnya ketika dia tersenyum bisa membuat luluh wanita manapun yang melihatnya. Dari semua hal tersebut, hal terpentingnya adalah dia masih single alias belum punya pacar. Aku bisa memastikan, hampir semua wanita di kantor ini jatuh cinta padanya. Tidak terkecuali aku, tentunya.

Semenjak kepindahannya, suasana di kantor juga menjadi berubah. Sikap dan pembawaannya yang sangat fleksibel dan tidak terkesan kaku – hasil dari budaya di kantor sebelumnya yaitu sebuah perusahaan swasta asing – sangat membawa pengaruh positif kepada kantorku, khususnya unit kerjaku yang sangat kaku. Yah maklum  hasil warisan budaya karyawan yang sudah cukup sepuh.

Balik lagi ke soal Bagas, dengan semua kelebihannya, usia masih muda namun sudah memegang jabatan marketing manager di kantorku, membuatku semakin tergila-gila kepadanya.

Oh iya, kenalkan namaku Riani. Wanita karir yang usia-nya tiga tahun lagi menginjak kepala tiga. Wajahku tidak terlalu cantik, namun teman-temanku bilang cukup manis, tipe cewek yang cantiknya tidak membosankan. Tinggi badan rata-rata, kulit berwarna coklat, tidak putih seperti para model iklan pemutih kulit di televisi itu. Aku cenderung pendiam, tidak akan memulai pembicaraan jika tidak ditanya terlebih dahulu.

Dengan semua hal-hal tersebut, sebenarnya membuatku minder karena harus bersaing dengan wanita-wanita yang di-cap cantik di kantorku untuk memperebutkan Bagas. Bahkan untuk berbicara urusan di luar pekerjaan dengan dirinya saja aku tak pernah berani. Tapi semuanya berubah setelah kejadian di suatu malam ketika pertama kalinya aku bisa berbicara Bagas.

***

“Lagi nunggu taksi ya?” terdengar suara dari dalam mobil bersamaan dengan diturunkan kaca jendela depan. Mobil ini tiba-tiba saja berhenti tepat di depanku yang sedari tadi sedang menunggu taksi. Dari dalam mobil sedan berwarna hitam metalik itu kini terlihat jelaslah siapa yang berbicara

“Eh, Bagas. Kirain siapa? Iya, nih lagi nunggu taksi. Tapi, dari tadi satupun tidak terlihat.”

”Bareng sama aku aja yuk!”

”Nggak usah, Gas. Nanti ngerepotin”

“Enggak, nggak sama sekali. Memangnya pulangnya ke arah mana?” tanyanya lagi.

“Oh, dekat kok. Kost-an ku di daerah Setia Budi. Aku nunggu taksi saja” ucapku.

Ah, bodoh! Bodoh! Bodoh! Inilah kelemahan wanita nomor satu, gengsinya terlalu tinggi. Seorang pria tampan yang aku kagumi meminta untuk mengantarku pulang, tapi aku malah menolaknya.

“Wah kebetulan banget, itu searah dengan apartemenku. Apartemenku di daerah Bunderan HI situ. Ayolah, naik mobilku saja. Dijamin, nggak akan diculik kok.” Ucap Bagas sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis dan sangat menggoda.

“Tapi bener ya, aku nggak diculik dan langsung diantar pulang dengan selamat?” balasku sambil tersenyum juga.

“Swear!!!” sebuah huruf huruf V dibentuk dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Lalu aku pun masuk ke dalam mobilnya. Kelemahan wanita nomor dua adalah mudah luluh oleh bujuk rayu dan senyum manis seorang cowok tampan.

Kejadian antar pulang sehabis kami lembur pada malam itu, mungkin menjadi awal aku jatuh cinta kepada Bagas. Maksudku, benar-benar jatuh cinta. Sebelumnya, aku hanya nge-fans saja. Maklum, Bagas adalah favorit cewek-cewek di kantorku.

Setelah malam itu, hampir setiap habis lembur di kantor aku selalu diantar pulang oleh Bagas. Tentu saja hal ini membuat iri sebagian besar wanita-wanita di kantor. Aku merasa diriku jadi bahan gosip utama oleh mereka. Namun di dalam hatiku, aku tersenyum bahagia karena bisa dekat dengan Bagas. Bahagia karena akulah wanita yang dipilih untuk diantar pulang bersama Bagas.

Tiga bulan telah berlalu semenjak malam itu. Entah sudah berpuluh-puluh kali aku duduk di kursi sebelah kiri mobilnya dalam perjalanan pulang menuju kost-an-ku. Memperhatikan dia bercerita tentang segala hal, dari masalah kerjaan hingga mengomentari juri reality show acara masak yang sok galak itu. Di malam-malam yang lain, giliran aku yang bercerita keluh kesahku. Tentang keluargaku, tentang adik-adikku yang masih bersekolah dan hal-hal lainya.

***

”Sori ya, obrolan kita keganggu kerjaan kantor. Sampai mana tadi obrolan kita?” untuk kesekian kalinya suara Bagas menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya Bagas telah selesai dengan urusan email kantor tadi. Smartphone-nya ditaruh kembali ke dalam kantung kemeja. Matanya kembali menatapku dalam-dalam. Sorot mata yang membuatku tak kuat menatap balik karena wajahku pasti akan bersemu merah.

Di sinilah kami duduk sekarang. Di sebuah kedai kopi favorit kami, tempat kami menghabiskan waktu sepulang kantor hingga larut malam. Biasanya untuk melanjutkan obrolan kami yang tidak selesai di dalam mobil.

“Oh iya, aku ingat. Soal kamu yang sepertinya sedang ada pikiran, dan aku sebagai teman kamu siap mendengarkan.” Bagas tersenyum kepadaku.

”Teman?” Sebuah pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.  Sekali lagi kata-kata Sinta pun melintas dalam otakku

”Iya, sebagai teman.” Jawab Bagas dengan nada sedikit bingung.

”Gas,…..”

”Iya, kenapa Ri?”

”Aku mau tanya sesuatu. Tapi janji ya jangan marah?” Aku menarik napas sebentar, “menurut kamu, aku ini kamu anggap sebagai apa sih selama ini? Teman kantor, sahabat, atau…. apa?” Nafasku tertahan seketika setelah aku mengatakan kalimat tadi. Aku nggak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulutku.

”Bagiku…. ya kamu lebih dari seorang teman kantor. Kamu itu sahabatku yang paling dekat. Memang kenapa, Ri?” Bagas berkata dengan nada yang semakin kebingungan

”Cuma sahabat aja, Gas? Gak lebih?” ada keheningan yang cukup panjang setelah aku mengucapkan pertanyaan itu. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Rasanya aku bisa mendengar setiap gerak dari detik jarum jam di atas tembok sana. Tapi anehnya, detak jantungku berdegup semakin cepat.

“Iya, Ri. Kamu kok tiba-tiba nanya hal itu sih?” Bagas masih terlihat bingung kemana arah dari pertanyaanku. Atau mungkin dia pura-pura bingung. Inilah kelemahan wanita nomor tiga: nggak bisa mengutarakan maksud sebenarnya atas apa yang mau diucapkan.

Aku menghela nafas panjang. Panjang sekali.

”Gas, gimana kalau aku ingin lebih dari sekedar sahabat dengan kamu? Aku ingin menjadi kekasihmu. Tiga bulan waktu yang kita lalui bersama, sudah cukup bagiku untuk menyakini kalau aku sangat sayang sama kamu.”

Kali ini waktu bukan hanya terasa berjalan sangat lambat, tapi berhenti sama sekali. Bumi sepertinya terbalik tiba-tiba hingga membuat perutku terasa diaduk-aduk dan sangat mual. Ingin rasanya aku berlari ke luar pintu karena kebodohan atas ucapanku barusan. Tapi setidaknya di atas langit sana, Ibu Kartini  sudah bisa tersenyum karena salah satu kaumnya menjalankan emansipasi dengan benar. Bukan hanya menuntut soal hak, tapi juga emansipasi kewajiban. Wanita bisa juga bergerak duluan, mengutarakan isi hatinya kepada pria terlebih dahulu.

”Maaf, Ri. Aku tahu kamu wanita yang sangat baik. Aku juga nyaman ngobrol dan jalan sama kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa. Bagiku, kamu tidak lebih dari sekedar sahabat.”

Ada hangat yang terasa dari pelupuk mataku. Sebutir air mata tidak terasa mengalir melewati pipi.

”Kenapa, Gas? Kenapa? Apa aku tidak begitu cantik untuk menjadi kekasihmu? Atau aku kurang baik? Terus selama ini, apa maksud kamu mengantarkanku pulang, menemaniku belanja dan obrolan-obrolan nggak penting kita lewat telepon hingga larut malam? Jawab, Gas?” Kali ini air mata sudah mengalir deras dari kedua mataku.

”Bukan itu masalahnya, Ri!”

”Kalau bukan itu masalahnya, terus apa, Gas?” suaraku sedikit meninggi. Bingung, sedih dan marah bercampur menjadi satu di dalam dadaku. Sepertinya Bagas sangat tidak siap dengan pertanyaanku tadi.

”Jujur Ri, selama ini aku sudah berusaha untuk mencoba dekat denganmu. Aku berharap aku bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi nyatanya sekian lama aku dekat denganmu, rasa cinta itu tidak pernah ada. Maafkan aku, Ri. Bukan maksudku menyakitimu. Kamu terlalu baik untuk aku sakiti. Maaf, tapi aku bukan pria yang selama ini kamu kira.”

Nafasku tiba-tiba berhenti. Aku tidak bisa bernafas. Rasanya tenggorokanku tercekat. Tidak percaya dengan apa yang baru kudengar barusan. Ratusan bahkan ribuan kalimat rasanya ingin melompat keluar dari mulutku, namun sia-sia.

”Maksud kamu apa sih, Gas?”

”Aku bukan pria normal, Ri,” Bagas menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya “Aku gay. Ri”

Pandanganku mendadak kabur lalu berubah menjadi gelap.

 -The End-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 1,990 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: