Tags
Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)
Kulangkahkan kaki menyebrangi jalan raya, setelah memastikan tidak ada kendaraan yang lewat dari sebelah kiriku. Gerimis kecil yang terjatuh dari langit membuatku mempercepat langkah, berlari-lari kecil sambil menutupi atas kepala dengan kedua tangan. Tujuanku menuju kedai kopi yang terletak dekat tikungan, tepat di ujung jalan ini.
Dengan perlahan ku jejakkan kaki ke dalam kedai kop. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tempat ini masih sama seperti dua tahun lalu. Kursi-kursi dengan bentuk klasik namun beralaskan bantal empuk berjajar empat-empat, berbaris rapih mengelilingi meja berbentuk bongkahan kayu besar setinggi pinggang. Ada 20 meja di dalam kedai kopi ini. Beberapa lukisan dengan bergambar para petani kopi dengan bermacam bentuk menghiasi dindingnya. Sebuah meja barista, tempat kita memesan minuman berada di bagian belakang ruangan ini. Di belakang meja barista terdapat empat buah coffee maker.
Mataku kembali menyisir seluruh ruangan, mencari-cari seseorang yang baru saja masuk ke kedai kopi ini tadi. Seorang wanita ber-cardigan ungu dengan celana jeans hitam. Dia, wanita yang sudah berhari-hari ini sedang kucari. Malam ini aku menemukannya di sini, di dalam kedai kopi ini. Kedai kopi tempat pertama kali kami berjumpa.
Pandanganku berhenti tepat di pojok sebelah kiri dari ruangan. Di meja paling belakang, wanita itu sedang duduk. Di meja itu, dua tahun lalu, pertama kalinya aku menyentuh tangannya dan saling berkenalan. Dia duduk berdua, sepertinya dengan seorang pria. Kufokuskan mataku ke arah pria itu. Rambut belah pinggir dengan sisiran klimis, kemeja rapih, celana bahan dan sepatu pantopel. Sial, sepertinya aku kenal dengan pria itu.
Aku berjalan agak memutari ruangan agar mereka tidak melihatku. Tujuanku adalah bangku tepat di belakang mereka. Sesampainya di sana, aku langsung duduk di salah satu kursi. Membelakangi posisi mereka, tepat berpunggung-punggungan dengan wanita itu. Sepertinya mereka tidak melihatku. Di posisi ini, aku bisa mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
“Kamu kemana aja sih? Aku mencari kamu kemana-mana?” ucap si pria dengan belahan rambut klimis itu. Dia adalah Doni, sahabat karibku.
“Aku gak kemana-mana kok. Hanya menenangkan diri.” Si wanita itu menjawab pelan. Dari pantulan kaca jendela di sampingku, aku bisa melihat bayangannya menoleh ke arah balik jendela. Memandang kosong jalan raya di luar sana.
“Iya, aku tahu Sya. Kamu menenangkan diri, tapi kan kamu bisa hubungi aku. Aku tuh khawatir sama kamu, Sya. Takut terjadi apa-apa sama kamu.” Suara Doni memang terdengar khawatir sekali.
Cih. Hatiku rasanya seperti terbakar mendengar ucapan si pengkhianat sahabat sendiri Doni ke kekasihku, Fadisya. Sudah berhari-hari aku tidak mendengar kabarnya. Sudah berhari-hari pula aku mencarinya. Setiap malam aku mendatangi tempat apartemennya, mengetuk pintunya, tapi tidak pernah ada jawaban. Sekarang aku menemukannya sedang berduaan dengan sahabat baikku sendiri.
Fadisya adalah kekasihku. Sudah dua tahun kami menjalin hubungan. Di tempat ini, di kedai kopi ini tempat kami bertemu muka untuk pertama kali setelah sekian lama hanya berbincang melalui sebuah jaring akun sosial dunia maya. Lalu akhirnya kami janjian untuk bertemu. Beberapa minggu kemudian, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Namun kedai kopi ini tidak pernah kami datangi lagi.
Namun entah apa yang terjadi, lebih dari sebulan yang lalu tiba-tiba Fadisya menghilang begitu saja. Tidak ada kabar berita. Selama berhari-hari aku mencari tahu apa yang salah denganku atau hubungan kami. Seingatku, terakhir kami bertemu, kami masih baik-baik saja. Aku mengantarnya pulang ke apartemen sehabis menonton sebuah film di bioskop. Lalu aku mengecup bibir dan keningnya sebelum melangkah pergi menuju ke apartemenku.
Setelah malam itu, aku tidak bisa mengingat-ingat lagi apa yang terjadi denganku. Ingatanku seperti ditelan bumi. Anehnya lagi, selama sebulanan ini tiba-tiba aku hanya terbangun ketika langit sudah gelap. Ingatanku selama pagi dan hari kemarinnya ikut lenyap tak berbekas. Kecuali ingatan bahwa aku kehilangan Fadisya. Dari magrib hingga shubuh, kerjaku hanya berkeliling mencari Fadisya.
“Seminggu kemarin aku pulang ke rumah adikku di Bandung. Aku ingin menyepi untuk sementara waktu, Don.” Fadisya bersuara lagi. Suaranya agak parau, seperti ada kesedihan yang tertahan di tenggorokannya.
“Untuk apa? Melupakan Panji? Katamu kalau kamu bisa terbebas dari Panji, kamu akan bisa mencintaiku dengan lepas tanpa beban.” Ada nada kebencian dari suara Doni ketika menyebut namaku.
Sialan. Dasar perempuan sundal! Jadi selama ini dia menghilang untuk menghindar dari aku dan agar bisa bebas bermesraan dengan sahabatku sendiri. Dan Doni, sahabatku sendiri, tega mengkhianatiku.
“Iya, Don. Aku ngerti. Aku masih ingat janji itu. Tapi aku butuh waktu. Enggak segampang itu ternyata melupakan Panji. Bagaimanapun, aku pernah menyayanginya dan dia pernah mengisi hatiku. Walaupun cinta itu sepertinya sudah lama hilang. Hilang semenjak aku mengenal kamu.”
Shit! Mereka berdua sudah keterlaluan. Sudah cukup sepertinya aku mendengar pengkhiatan mereka berdua. Ini saatnya memberi mereka pelajaran. Khususnya Doni. Akan kuhajar sahabat brengsek itu.
Aku berdiri dari kursiku dan membalikkan badan. Mataku menatap tajam ke arah Doni. Tapi anehnya, Doni tidak bergeming sama sekali. Matanya masih menatap ke arah Fadisya dan tidak melihat keberadaanku.
“Sya, aku ngerti. Tapi kamu harus bisa melupakannya. Besok tepat hari ke-empat-puluh meninggalnya Panji. Sudah saatnya kamu membuang semua tentangnya dan menggantinya dengan aku!” Doni berkata dengan tegas.
Jantungku rasanya mau berhenti mendengar ucapan Doni, sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku sudah tidak punya jantung lagi untuk berdetak.
“Aku nggak ngerti lagi kalau begini caranya. Aku telah menuruti kemauanmu membunuh fisik Panji agar kamu bisa terlepas darinya. Jangan paksa aku untuk membunuh bayangannya dari pikiranmu selamanya agar kamu bisa mencintaiku, Sya!” ucap Doni dengan intonasi yang semakin meninggi.
Semua hal kini berputar-putar seketika dalam pikiranku, kalau masih bisa aku sebut itu pikiran. Pikiranku atau apapun itu namanya, sekarang melayang kembali tepat ke 39 hari yang lalu. Kini aku ingat semuanya. Aku baru saja pulang dari apartemennya Fadisya, menyetir mobil menuju ke arah apartemenku. Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi karena malam hari dan jalanan sudah sepi. Tapi remnya blong ketika aku mencoba menginjak pedalnya. Lalu semuanya terjadi begitu saja, mobilku menabrak pembatas air mancur tepat di bundaran jalan Thamrin. Lalu semuanya gelap.
-THE END-