• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Author Archives: gelaph

Bayangmu Teman

12 Wednesday Jun 2013

Posted by gelaph in Fiction & Imagination

≈ 1 Comment

Tags

@gelaph, cerpen Peterpan, Grahita Primasari, Peterpan

Prepared by: GP
Reviewed by : MH

Sebuah Kisah Persahabatan Masa Kanak-kanak.
Terinspirasi dari lagu “Sahabat” yang dipopulerkan oleh Peterpan pada tahun 2003

Seekor kupu-kupu kuning terbang mengitari halaman rumah. Dengan mudahnya membuatku kagum, dan mau tak mau akhirnya ikut berlari sambil menggapaikan tangan ingin menangkapnya.

“Tita… Makan dulu sini. Habis itu tidur siang ya Sayang,” Mama melambaikan tangan dari depan pintu, memanggilku masuk ke dalam rumah.

Aku menggelengkan kepala, “Bentar lagi ah Ma”, dan kembali memusatkan perhatian penuh mengejar si kupu-kupu cantik.

“Kamu jangan main terus, nanti kecapekan. PR kamu apa hari ini?” Mama tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku, bertanya sambil mengelus rambutku.

Sambil melepaskan tangan Mama di rambut, aku mengeluh, “Aduh, Mamaaa. Iya, nanti aku kerjain. Aku mau main duluuu…”

Mama menghela napas panjang, “Oke kalau gitu. Lima menit lagi Mama panggil ya. “

“He-eh,” aku menjawab singkat dengan bola mata yang berputar mengikuti pergerakan si kupu-kupu.

Mama kembali masuk ke dalam rumah sehingga aku pun bisa berkonsentrasi penuh bermain dengan si kupu-kupu kuning.

Tiba-tiba saja, ia terbang keluar dari halaman rumah. Sungguh, aku tidak rela kalau dia sampai pergi. Setengah berlari aku mengejarnya. Dan terkikik geli ketika sayapnya bergesekan dengan telapak tanganku.

Tak jauh dari rumah, aku melihat Ina, teman bermainku sehari-hari. Ia tampak tertarik dengan kupu-kupu kuning yang sedang kujadikan target operasi.

“Ta, lagi ngejar kupu-kupu ya?” Tanyanya dengan wajah berbinar. Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Penyesalan Selalu Datang Terlambat

27 Thursday Dec 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Grahita Primasari, penyesalan

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata

Baru saja gue pulang dari bersepeda. Hobi yang menjadi kegiatan rutin di akhir pekan. Ketika sedang meletakkan sepeda di halaman belakang rumah, Bellagio hitam gue berdenting pelan. Pertanda ada SMS masuk.

“Ah. Paling provider lagi bagi-bagi SMS gratis,” pikir gue sambil melenggang santai ke arah ruang tengah.

Gue melempar kupluk ke sofa. Kemudian membuka kaos yang penuh keringat dan membuangnya ke lantai. Ketika sedang asik mengunyah roti bakar yang sudah tersedia, Bellagio hitam gue berdenting sekali lagi.

Pandangan gue alihkan ke LED merah yang berkedip berulang kali. Dengan malas, gue menyentuh icon SMS di layar dua setengah inchinya.

“SELAMAT! Anda memenangkan sebuah sepeda motor…”

Icon delete langsung gue pencet paksa bahkan sebelum selesai membaca seluruh isi SMS. Pagi-pagi udah ada yang nipu aja. Dikiranya gue bego, apa?

Gue men-scroll kursor dan mendapati satu SMS lagi di bawahnya. Sebuah SMS superpanjang di bawah nama mantan orang terdekat gue dua bulan lalu. Ayudya Valencia. Atau biasa dipanggil dengan Ayu.

Mata gue membesar. Detak jantung gue meningkat dua kali lipat dari kecepatan normal. Ada apa ya? Kenapa dia tiba-tiba menghubungi gue? Toh selama dua bulan ini kami sudah tak ada kontak sama sekali.

Hai Ton, apa kabar?

Demikian kalimat pembuka SMS-nya yang semakin membuat jantung berdebar. Sambil menahan napas, gue melanjutkan membaca.

Aku tahu kamu pasti lagi main sepeda sekarang. Pake kupluk merah, celana pendek, sambil menggigit handphone lantaran celana kamu gak ada sakunya.

“FAK! Ini dia kenapa sih? Lagi kangen kali ya sama gue?” Gue memaki dalam hati. Karena hingga kalimat ini, gue masih belum mengerti apa maksudnya menghubungi gue lagi.

Kalau kamu nanti sudah selesai sepedaan, kamu buka link ini ya. Ini link blog baru-ku yang harus kamu baca. Soalnya tulisan ini buat kamu. Thank you. Last but not least, happy blessed birthday. :)

Kening gue berkerut dalam. Sekarang tanggal berapa sih? Gue bahkan tidak ingat kalau hari ini gue berulang tahun.

Dengan otak yang masih setengah linglung, link yang ia berikan langsung gue klik tanpa pikir panjang. Beberapa detik kemudian gue pun mendarat di sebuah blog berwarna pink cantik yang sangat girly.

Yang (Pernah) Terkasih.

Demikian judul postingannya yang hanya membuat gue menahan napas sekali lagi. Tidak terbayang sebelumnya bahwa gue akan menahan napas lebih lama lagi ketika selesai membaca tulisannya ini.

Akhirnya selesai sudah hubungan kita. Selesai setelah sekian lama hanya hambar terasa.

Saat kamu membaca tulisan ini, kemungkinan besar aku sudah melupakan kamu. Bahkan mungkin telah memiliki penggantimu.

Namun yang perlu kamu tahu adalah tentang aku yang sangat kecewa. Kecewa karena ternyata hanya sampai di sini saja hubungan kita. Kamu melepaskan aku semudah melempar topi kupluk ke atas sofa.

Ketika aku mengirimkan sebuah SMS yang meminta untuk putus hubungan, kamu langsung mengiyakan. Tanpa repot-repot menelepon atau ingin bertemu untuk membahas permasalahan. Hanya dengan cara membalas SMS-ku mengiyakan?

Ah, sudahlah. Toh aku tak menyesal memutuskanmu.

Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang jarang-jarang memberi kabar? Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang nyaris tak pernah memperhatikan? Boro-boro memperhatikan. Ingat saja tidak.

Dan maafkan kalau selama ini aku membuatmu repot.

Maaf jika aku sering minta jemput ke sana kemari, merengek minta ditemani, atau memohon dibawakan makanan pada malam hari.

Maaf.

Mungkin kamu perlu tahu bahwa itu kulakukan karena aku memang sangat mengandalkanmu. Terlalu mengandalkanmu. Karena siapa lagi yang bisa kuandalkan selain kamu, ya kan? Kamu tahu aku tinggal sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini.

Tapi aku mengerti. Mungkin kamu sudah terlalu lelah menghadapi kemanjaanku. Atau sudah tidak tahan menghadapi segala keinginanku.

Harapanku, kamu bisa menjadi lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang menghadapi semua masalah yang hinggap. Bukan malah menyeribukan langkah dan menguatkan derap. Lelaki yang merealisasikan janji, bukan hanya berakhir sekadar mimpi. Lelaki yang bisa menghargai perasaan, bukan hanya acuh melihat pengorbanan.

Sakit, tahu. Sakit. Mendapati kamu yang menghilang berhari-hari. Kemudian muncul begitu saja seolah tak ada yang menyakiti diri.

Butuh waktu berpikir, katamu?

Ah, terserah sajalah. Aku juga sudah lelah.

Sudah cukup aku menelan kekecewaan bulat-bulat. Semua sudah lumat. Sekarang aku hanya ingin semuanya lewat. 

Sederhana saja, mungkin kita memang tidak berjodoh.
Atau mungkin, memang aku yang terlalu bodoh.

-AV-

Gue tertegun ketika sampai pada titik terakhir postingan itu. Walaupun dia berusaha menutupi dengan apik, ada kemarahan dan kekesalan yang benar-benar terasa di setiap kalimat yang ditorehkan oleh mantan orang tersayang gue ini.

“Emangnya gue dulu begitu ya?” Pertanyaan tersebut terlontar dari hati kecil gue. Dan sebagai balasannya gue memperoleh hardikan “iyalah, Cumi! Pake nanya pula.”

Gue mengacak rambut keras-keras. Frustasi. Entah kenapa gue baru menyadari bahwa tulisan Ayudya itu semuanya benar. Gue memang lelaki yang gak bertanggung jawab. Sering menghindar dari masalah. Kabur begitu saja dan muncul seenak jidat.

ARGGGHHH! BEGO BANGET SIH GUE!

Demikian status Twitter yang gue update tiga puluh detik yang lalu. Status yang langsung mengundang keingintahuan para sahabat satu lingkaran.

@roysaputra: lo kenapa, Nyet?

@riandidendi: lah, baru nyadar lo bego? Ke mane aje?

@gadunganromeo: dari lahir elu emang udah bego, Cong.

Username mereka bertiga gue letakkan pada satu twit baru. Lalu gue ketikkan:

BERISIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIK………………..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dengan titik dan tanda seru yang masing-masing berjumlah dua puluh.

Dasar kampret nih para bocah. Mereka gak tahu sih gue lagi galau. Mereka gak tahu gue lagi menyesal setengah mati, lantaran kemarin dulu segampang itu melepas Ayu.

Have you ever felt so guilty and stupid at the same time?

I have. I feel it now. I really feel it now.

Mata gue hanya terpaku ke profil Ayu di Twitter. Menyusuri kegiatannya beberapa minggu terakhir. Sampai akhirnya layar web browser gue pindahkan ke aplikasi SMS. Dengan sangat ragu gue mengetikkan pesan untuknya.

“Hai. Kamu lagi apa?”

Pesan yang gue sesali tiga detik setelah memencet tombol kirim. Astaga. Gak ada pertanyaan yang lebih bego lagi, apa?

Tiga batang rokok sudah gue habiskan ketika akhirnya dentingan pelan itu terdengar. Hey world, she replied my text!

Ya walaupun hanya singkat saja dengan tiga kata. “Lagi nonton TV.”

Gue berpikir keras. Memikirkan hal yang bisa menarik perhatiannya.

“Kamu nonton TV di kost kan? Mau nganterin voucher restoran suki favorit kamu nih.”

Nyaris satu dekade rasanya ketika sepuluh menit kemudian ia membalas pesan gue. “Di kost. Kamu ke sini aja.”

Yeay! Ingin rasanya gue melakukan lari-lari bahagia ala striker yang baru saja memasukkan bola ke gawang. Tapi gue tahan. Toh ini baru langkah awal.

“Aku ke sana sekarang.”

Gue sedang mengambil kunci mobil ketika muncul “okay” dari Ayu.

“Aku otw ya.” Gue menyempatkan diri memberi kabar sebelum menginjak pelan pedal gas.

Tiga menit kemudian, muncul balasan darinya.

“Tapi aku mau ke supermarket sebentar sih. Kalau aku gak ada, nanti vouchernya titip ke si mbak aja.”

Sumpah. Saat ini gue mengerti perasaan kiper yang kebobolan di menit-menit akhir padahal timnya sudah memimpin. Sudah merasa di atas angin namun jatuh membentur bumi tanpa ampun. Sakit, Man. Sakit.

***

Beskap ini membuat gue susah bergerak. Namun apa daya, Tania memaksa gue menjadi salah satu pagar bagusnya. Karena ini pengalaman pertama menjadi panitia pernikahan, gue jadi agak gugup. Oh, atau mungkin gue gugup karena Ayu seharusnya muncul sebentar lagi.

Band pernikahan sedang menyanyikan Everlasting Love-nya Jamie Cullum ketika sesosok tinggi langsing itu muncul. Ia menggunakan gaun merah berbelahan dada rendah hari ini. Rambutnya digelung  ke samping, menonjolkan keindahannya leher dan bahunya. Wajahnya tampak lebih bersinar dibanding terakhir gue mengingatnya.

Kampret. Dia semakin cantik saja.

“Kamu sendirian aja?” Demikian suara halus itu menyapa telinga gue.

“Berdua kok, sama kamu,” kata gue sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Gak lucu kalau dia sampai melihat tangan gue yang agak gemetar lantaran bertemu dengannya.

Ia hanya tersenyum kecil. Lalu segera menggamit lengan Viona sahabatnya. Beranjak pergi meninggalkan gue. “Makan dulu ya,” pamitnya singkat.

Gue memandangi punggungnya. Menimbang-nimbang apa yang harus gue lakukan agar ia mau diajak berkencan sore ini. Tapi gue ragu. Atau lebih tepatnya, gue gengsi. Mau ditaruh di mana muka gue kalau ia menolak diajak pergi?

Namun entah setan dari mana yang membuat gue nekat.

“Ayu!”

Setengah berteriak gue memanggil namanya. Wanita bergaun merah itu memutar tubuhnya dalam gerakan lambat. Kepalanya menoleh senada dengan anggunnya.

“Ya?” Dia bertanya bingung.

Langkah kaki gue percepat menuju tempatnya. Setengah tersengal gue berbisik, “Temenin aku nonton 5cm yuk sore ini.”

Senyum Ayu yang sangat familiar melengkung indah. Namun sayangnya, jawabannya tidak seindah senyumnya.

“Aku gak bisa Ton. Maaf ya.”

“Kenapa? Kamu udah ada acara?”

Ayu menghela napas panjang, “Ya. Kurang lebih.”

“Aku makan dulu ya, Ton,” sambungnya lagi.

Déjà vu rasanya ketika ia meluncurkan kalimat pamit hendak makan. Sama seperti déjà vu ketika gue melihat punggung bergaun merahnya melenggang pergi.

Langkah kakinya gue amati. Ia berjumpa dengan sekawanan teman lama, cipika cipiki sana sini. Mengambil air putih dan meneguknya hingga tandas, lalu mendekati stand pasta. Tak lama kemudian ia asik memelintir spagheti sebelum akhirnya disuapkan ke mulut.

Eh, sebentar.

Disuapkan ke mulut lelaki?

Gue gak salah lihat kan?

Siapa dia? Kenapa dia menerima perlakuan semesra itu?

HHHHHHHHHH.

Gue menghela napas panjang. Helaan napas terpanjang yang pernah gue lakukan seumur hidup. Dada gue sesak seperti kekurangan oksigen. Seperti ada yang dicabut paksa di sana. Terkuak sudah penyebab Ayu menghindari gue. Ada dia yang lain di hatinya sekarang.

Mungkin Ayu benar.

Ia seperti kupluk yang dengan mudahnya gue lempar ke sofa. Namun sayangnya, gue nggak semudah itu bisa mendapatkannya kembali seperti gue memungut kupluk. Ada lelaki lain yang lebih cerdas, yang menyadari bahwa ia terlalu berharga untuk disia-siakan.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seiring dengan kehilangan kamu yang terlalu cepat.

Succesfully posted your tweet!

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Seratus Dua Puluh Detik

10 Sunday Jun 2012

Posted by gelaph in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph. Grahita Primasari, cerbung, cerita cinta, cerita pendek, fiksi

Prepared by: GP
Reviewed by: MH 

Matahari telah terlelap ketika Cherry gue pacu keluar mall. Gagal sudah keinginan gue untuk memanjakan diri di salon. Hilang mood. Sebagai gantinya, gue malah pergi ke supermarket guna berbelanja keperluan bulanan.

Lampu merah menyala. Menghitung mundur seratus dua puluh detik sebelum akhirnya berganti hijau. Seratus dua puluh detik. Dua menit. Lumayan lama juga.

Ekor mata melirik jam tangan. Ah, sudah delapan menit lewat dari jam tujuh malam.

Astaga. Bahkan kegiatan melihat jam tangan pun dapat mengingatkan gue lagi dengannya. Gue ingat, ketika sedang menulis, ia harus berhenti menggerakkan pulpennya demi mengetahui jam berapa sekarang. Apabila sedang minum, ia terpaksa memindahkan gelasnya ke tangan kiri, sebelum akhirnya bisa melihat jam tangan.

“Kenapa pake jam tangan di sebelah kanan sih?” Protes gue pada suatu waktu. Saat itu tangan kanannya melepaskan genggaman tangan kiri gue demi mengecek, sudah terlalu larutkah bagi kami berdua dalam menghabiskan waktu bersama.

Ia hanya tersenyum. Tangan kanannya menggapai telapak tangan kiri gue. Jari-jari kami pun kembali bertautan, tergenggam erat satu sama lain.

“Kalau gue make jam di tangan kiri, jam tangan kita nggak akan pernah ketemu. Liat deh. Mereka bakal jalan sendiri-sendiri. Kasian kan?” Katanya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Ya, gue mengenakan jam tangan di sebelah kiri. Sedangkan ia, di tangan kanannya. Dan kami selalu tersenyum berpandangan penuh arti apabila kedua jam tersebut bergesekan, ketika kami bergandengan tangan.

Makanya gue benci melihat pemandangan di mallsore tadi. Bahwa ada tangan kiri lain yang bertaut dengan tangan kanannya. Wanita itu mengenakan jam tangan di sebelah kiri, persis seperti gue.

Lampu hijau menyala.

Thanks, God.Dua menit yang ditunggu akhirnya datang juga. Klakson berbunyi sana sini, khas Jakarta. Pertanda para pengemudi sudah tak sabar untuk segera memacu kendaraannya.

Cherry tepat berada di depan lampu lalu lintas ketika akhirnya si merah kembali menyala dan menghitung ulang seratus dua puluh detik. Lirikan maut polisi di ujung sana membuat gue tidak berani mengambil resiko dengan menorobos lampu merah.

Ah…sial. Maki gue dalam hati. Seratus dua puluh detik kedua yang harus dilewati malam ini. Dan lagu Tertatih oleh Kerispatih ter-shuffle di CD player Cherry. Seolah turut berbela sungkawa atas keadaan gue hari ini.

Begitu dalamnya aku terjatuh…
Pada kehampaan rasa ini…
Jujur… Aku tak sanggup…
Aku tak bisa…
Aku tak mampu…
Dan aku tertatih…
Semua yang pernah kita lewati…
Tak mungkin dapat kudustai…

Mendadak hujan turun. Langsung lebat. Seperti ada sepasang tangan raksasa yang menyiram permukaan bumi dari angkasa. Sontak pengguna jalan berlarian. Mencari tempat berteduh terdekat dari jangkauan.

Tak disengaja, mata gue terpaku pada seorang anak lelaki. Berusia kurang lebih sepuluh tahun. Berperawakan sedang, cenderung kurus. Kulitnya hitam, pertanda sering terbakar matahari. Sekarang ia basah kuyup, badannya menggigil kedinginan.

Berhenti di halte bus, ia meletakkan barang bawaan yang dipanggulnya. Semacam tongkat panjang yang diletakkan di bahu, yang di kedua ujungnya terdapat keranjang anyaman bambu.

Keranjang anyaman bambu tersebut dijadikan tempat duduk olehnya. Setelah gue teliti, ternyata kedua keranjang tersebut berisi cobek. Iya, cobek. Alat untuk mengulek sambal atau bumbu masakan. Terbuat dari batu. Berat sekali tampaknya.

Gue mengernyitkan dahi, bingung. Anak berusia segitu, jam segini, memanggul cobek? Siapa yang mau membeli benda tersebut di sini? Oh, atau mungkin ia baru saja pulang sehabis berjualan di pasar tradisional di perempatan sebelum ini.

Sang anak duduk termenung. Menunggu hujan reda. Barang dagangannya masih penuh, pertanda dewi fortuna belum mengunjunginya hari ini. Kedua tangannya tergenggam satu sama lain, diletakkan di depan mulut. Mengusir hawa dingin yang datang bersamaan dengan hujan.

Seketika, gue merasa tertampar keras di wajah. Ia masih belia, namun sudah harus memikul perjuangan berat hanya untuk bertahan hidup. Sementara gue? Beban terberat yang pernah gue rasakan hanyalah…patah hati.

Suara klakson mobil bersahut-sahutan seolah membentak gue untuk segera bangun dari lamunan.

Dan gue pun segera menjalankan Cherry perlahan. Konyol sekali rasanya kalau sampai harus terjebak selama seratus dua puluh detik untuk ketiga kalinya, di tempat yang sama.

***

Senin pagi. Identik dengan kesiangan atau terlambat bangun pagi. Kali ini penyebabnya adalah alarm telepon genggam tidak menyala. Gara-garanya ia mati kehabisan baterai, dan pemiliknya ini ketiduran semalam. Terlalu lelah untuk memberinya makan terlebih dahulu.

Tergesa-gesa gue menyusuri lobi, menuju ke lift. Untungnya gue kenal baik dengan para satpam gedung ini. Jadi gue bisa mempercayakan Cherry untuk dicarikan parkir oleh salah satu dari mereka.

Sambil menunggu lift, gue merapikan rambut. Dan pakaian. Serta napas yang masih memburu kencang.

Okay…. rileks…

Tarik napas….. Buang napas….

Tarik napas lagi….. Buang napas lagi…..

Tarik napas……

Hhhffftttt…..

Nyaris saja gue lupa membuang napas lagi ketika melihat sesosok lelaki yang tampak familiar berjalan mendekat.

Oh, God. No. Please, not now.

Sambil mengatur napas, gue berdoa dalam hati. Mudah-mudahan lelaki itu bukan dia. Gue belum siap bertemu dengannya saat ini. Semoga gue salah lihat, karena gue nggak mengenakan kaca mata gue pagi ini. Demi semua dewa dewi lift, please God. Please.

TING!

Syukurlah pintu lift akhirnya terbuka. Secepat kilat gue memasuki lift. Gue sempatkan untuk melirik ke arah lelaki mencurigakan itu. Dan, ah. Ternyata dewa dewi lift sedang tidak bersahabat. Doa gue tak terkabul.

Lelaki itu memang dia.

Rambut ikal, hidung mancung, kemeja abu-abu. Seratus persen itu memang dirinya. Gue tidak salah lihat.

Okay, Blackberry mana Blackberry? Dengan gaya yang sangat di-cool-cool-kan, gue mengambil Blackberry dari dalam tas. Ah, sial. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Nobody miss me.

Demi menghilangkan grogi, gue membuka linimasa Twitter. Kata-kata berseliweran di depan mata, tanpa ada satupun yang tertangkap di kepala.

Gue melirik ke penunjuk lantai di bagian atas lift.

Astaga naga terbang! Dari tadi baru sampai lantai tiga? Perasaan udah lama banget deh.

Mata gue terus mengawasi penunjuk lantai.

Lantai empat. Seorang wanita oriental berkemeja pink keluar, berbarengan dengan seseorang yang tampaknya merupakan teman lelakinya.

Lantai lima. Di Twitter ternyata sedang ramai permainan tagar #CapekGakSih. Ingin rasanya mem-post “#CapekGakSih satu lift sama #nomention?”, tapi itu terdengar terlalu kekanak-kanakan. Jadi gue batalkan.

Lantai enam. God please. Dua lantai lagi.

Lantai tujuh. Lift berhenti lagi. Seorang lelaki gemuk pendek bermata besar, masuk. Ia menekan angka sepuluh sebagai lantai tujuannya.

Gue mengalami seratus dua puluh detik mengingat caranya mengenakan jam tangan. Seratus dua puluh detik berikutnya mengamati bocah si pedagang cobek. Namun, rasanya tidak ada yang lebih lama dari seratus dua puluh detik di lift bersama dia, orang yang pernah gue sayang. Oh, atau mungkin sebenarnya masih gue sayang.

Saatnya melangkah keluar. Apakah gue harus menoleh ke belakang, sekedar memberi senyuman?

Sepersekian detik, gue merasa bimbang.

Tapi akhirnya gue memutuskan untuk tidak membuang energi. Yang berlalu, biarlah berlalu. Karena diri gue menolak untuk melihat ke belakang. Baik secara harfiah, maupun secara istilah. Terima saja, sayang.

TING!

(to be continued…)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

My Kind of Guy

30 Monday Apr 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ 6 Comments

Tags

@gelaph, cerita pendek, cerpen, fiksi, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Layar laptop berkedip-kedip, pertanda ada pesan masuk. Karena sedang tanggung dengan spreadsheet, gue mengacuhkan pesan itu untuk sementara waktu.

Kecepatan detak jantung gue nyaris setara dengan seorang pelari cepat jarak pendek ketika mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.

Raka:
Busy?

Si lelaki pencepat-detak-jantung ini cukup mengirim satu kata. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat gue kebingungan harus menjawab apa. Okay, kita lihat saja apa maunya.

Grahita:
Nope. You?
Raka:
I’m bored.

Well, percakapan satu dua kata. Akan gue jaga sesuai keinginannya.

Grahita:
Hmm…. So?
Raka:
I’m sleepy also.. 
So why don’t we go downstair and get some coffee there? 

Shoot! To-the-point man! My kind of guy.

Grahita:
Sounds great. Let’s!

Kedai kopi di lantai dasar gedung ini pun menjadi tempat tujuan utama. Tidak banyak yang berkunjung, mengingat ini masih terhitung office hour. Akan berbeda halnya jika kami berkunjung selepas jam kerja. Pasti penuh sesak oleh pegawai kantoran di sekitar sini.

Dua cangkir kopi menemani istirahat kami sore itu. Triple Shot Espresso untuknya yang merasa super-ngantuk, dan Dark Mocha untuk gue yang tidak suka kopi pahit. Kami mengobrol ringan saja, seputar sisi lain lingkungan pekerjaan dan hobi di kala senggang.

Dari ceritanya, gue mengetahui kalau dia sudah empat tahun di kantornya sekarang. Dan kebetulan, assignmenttahun ini membuatnya ditempatkan di kantor gue.

Ya, Raka adalah auditor perusahaan tempat gue bekerja. Ia berbadan tegap, berwajah oriental, dan berkaca mata minus tipis. Walaupun tampilannya terlihat serius, ternyata ia sangat kocak. Humoris. Again, my kind of guy. Perempuan mana yang tidak suka dengan lelaki humoris?

And… By the way, tahu auditor itu apa?

Hmmmm…

Okay, gue jelaskan sedikit.

Auditor, berbeda dengan editor, adalah orang yang berprofesi untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan. Apakah laporan keuangan suatu perusahaan telah ditampilkan dengan wajar, tidak ada yang overstated ataupun understated.

Tahu BPK? Badan Pemeriksa Keuangan? Nah, itu contoh auditor pemerintah. Kalau Raka, berasal dari kantor swasta. Istilah umumnya sih kantor akuntan publik.

“You said that you’re bored? And sleepy?” Gue menyedot Dark Mocha, “how come?”

Raka tersenyum tipis, “I’m overloaded, not enough sleep. So much to do with very little time. I think I can bang my head against the notebook. Just like… Bang! Bang! Bang!” Raka berakting seolah-olah membenturkan kepalanya ke meja, dan kami pun tertawa berdua.

Di dunia pergaulan gue, sangat jarang ada orang yang bisa menertawakan kepedihannya sendiri. Dan gue menyukai orang-orang yang dapat melihat sisi positif dari kesulitannya. Satu poin plus untuknya. Oh, my kind of guy, again.

Beberapa saat kemudian, terdengar alunan musik jazz dari telepon genggam miliknya. Bukannya mengangkat, ia malah berkata, “my boss. Going back to the cage, shall we?”

Sambil membenahi rambut, gue mengangguk.

Kami berdua berjalan menyusuri koridor gedung pencakar langit ini. Menuju lift yang akan mengantarkan kami kembali ke lantai 24, sang kantor tercinta.

Sebelum akhirnya pintu lift terbuka, telepon genggam milik Raka berdering lagi. Syukurlah ia tidak mengenal teknologi anti spy untuk layar teleponnya, karena gue bisa melihat dengan jelas nama yang terpampang di sana.

Anastasia.

“Who’s calling?” tanya gue santai.

“Hmmm.. My boss again,” Raka terlihat kikuk, “it must be very urgent.”

“Calm down,” gue meremas bahunya, ”everything is under control.”

Ia tersenyum lebar. Dan saat itu gue mengetahui bahwa ia sangat manis dengan lesung di kedua pipinya.

Anastasia.

Siapapun perempuan itu, anggap saja ia bernasib sial.

Because Raka, is really my kind of guy.

Pintu lift terbuka lebar. Hanya ada dua orang di dalamnya.

Raka menggamit tangan gue, menuntun masuk ke dalam lift. Gue menekan tombol 24 sambil mengulum bibir. Masih ada rasa Espresso pahit di sana. Ya, Triple Shot Espresso, minuman milik Raka.

My kind of guy is must be a good kisser, and love to play. Raka got both of them.

Senyum gue lempar ke arahnya, yang dibalas dengan bisikan di telinga, “you drive me crazy when smiling.”

Pintu lift terbuka lebar, menunjukkan lobi lantai 24. Gue tidak membalas kalimat terakhirnya, malah mengedikkan kepala dan mengibaskan rambut ke belakang, sambil berjalan keluar lift. Suatu gerakan yang gue yakin membuat parfum dari leher berhembus samar ke indra penciumannya. Membuatnya makin penasaran dan lupa daratan.

Dan suara tak-tok-tak-tok high heels gue ketika beradu dengan lantai seolah berkata…

You wanna play? Let’s play, darling.

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Hati-hati, Hati

29 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Fiction & Imagination

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Sepotong Hati berjalan terseok-seok menuju rumah sakit, butuh pertolongan pertama. Di dalam kepanikannya ia berkata “Dok, tolong saya, saya tidak enak badan, nyaris pingsan rasanya. Ada apa dengan diri saya?”.  Dokter hanya tersenyum, “Tenang dulu Mbak Hati, berbaring saja dulu, sini saya periksa.”

Setelah Dokter selesai memeriksa Hati, ia mengeluarkan statement “diagnosa saya sih Mbak Hati keracunan Air Mata. Cukup akut dan tampaknya sudah cukup lama. Saya tidak akan membuatkan resep apa-apa, karena obatnya hanya waktu, serta menolak datangnya Air Mata. Tapi kalau Mbak Hati pingin bedrest di sini sekedar untuk menenangkan diri juga tidak apa-apa. Saya akan minta tolong perawat untuk menyiapkan kamar untuk Mbak Hati.”

Mendengar statement Dokter, Air Mata langsung menyela “Saya bukannya jahat mendatangi Hati terus-menerus, Bu Dokter. Tapi si Wajah sombongnya setengah mati. Jaim parah. Saya mau mendatanginya, ditahan habis-habisan. Kalau saya nekat, langsung dihapus paksa. Terpaksalah saya mendatangi Hati, karena ia selalu mau menerima saya tanpa banyak kata.”

Mendengar perkataan Air Mata, Wajah langsung membela diri. “Mana mungkin aku membiarkan kamu seenaknya datang dan pergi, Air Mata? Kalau aku sedang sendirian sih aku tidak berkeberatan sama sekali. Tapi terkadang kamu mau datang seenaknya, tidak kenal waktu, bahkan ketika sedang banyak orang. Kan aku malu kalau ada kamu, Air Mata!”

“Ya jangan salahkan aku dong, Wajah. Aku juga muncul gara-gara Kaki melangkahkan dirinya ke tempat itu lagi. Tempat yang membangkitkan kenangan menyakitkan.” Air Mata menjawab sewot.

“Eh eh, kok jadi aku yang disalahkan? Aku juga terpaksa menyeret diriku pergi ke tempat itu lagi. Kalau tidak terpaksa ya mana mungkin aku pergi ke sana? Kurang kerjaan, apa?” Kaki menjawab sengit.

Tangan pun ikut terpancing dalam suasana yang mulai memanas ini. “Kamu tuh Air Mata, jangan terlalu sering keluar rumah, sebentar-sebentar mau main ke Wajah, sebentar-sebentar mau main ke Hati. Kan aku juga yang repot. Kalau kamu main ke Wajah, aku yang sibuk mencari-cari tisu dan mengenyahkanmu. Kalau kamu main-main ke Hati, aku juga yang repot mencari-cari kegiatan sekedar agar ia bisa melupakan kedatanganmu. Ah, kamu memang selalu menyusahkan.”

Terdengar batuk-batuk kecil dari ujung keramaian, ternyata itu Otak yang hendak ambil suara. “Sudah sudah, jangan ribut-ribut. Lain kali, kalian semua sebelum bertindak itu harusnya berkonsultasi denganku dulu, jangan jalan sendiri-sendiri. Kalau tidak, ya jadi begini ini kejadiannya, jadi bertengkar tidak karuan, menyalahkan satu sama lain, merasa diri paling benar.”

Semua terdiam mendengar perkataan Otak. Otak pun langsung menutup percakapan malam itu dengan menyuruh Kaki melingkar di atas guling, meminta Tangan meluruskan diri dengan nyaman, memerintahkan Air Mata untuk tetap di rumahnya, menyuruh Wajah untuk tenang, dan menugaskan Hati untuk melupakan masalahnya sesaat saja. Dan seperti biasa, Otak merasa kesal karena si satu itu lagi-lagi tidak mau menuruti perkataannya. “Terkadang ia memang pantas diberi sedikit penyakit”, gumam Otak di sela-sela tidurnya.

-Jakarta, 20 Desember 2011-

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: