Tags

, , , , , ,

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Dua puluh menit menjelang pukul 6 sore!

Aku bergegas memacu kecepatan langkahku, setelah turun dari kendaraan yang aku sewa selama berada di Bali beberapa harike depan. Setengah berlari aku menuju loket, untuk kemudian mengeluarkan 3 lembar pecahan Rp5,000 sebagai harga yang harus dibayar untuk karcis memasuki Pura Uluwatu.

Setelah sampai Ngurah Rai jam 4 tadi, Pak Made, supir yang sudah menjadi langgananku itu segera membawaku ke Uluwatu. Denpasar yang kini macet dipadati kendaraan, membuat perjalanan kesana memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Kunjunganku ke Bali kali ini disertai misi penting. Sebuah kejutan! Kekasihku yang merupakan penduduk Bali hari ini berulang tahun.

Namaku Lily. Aku menetap di Jakarta. Dan pacarku, Putu, tinggal di Bali. Di desa Pecatu tepatnya. Sudah setahun ini kami menjalani hubungan jarak jauh, atau yang keren disebut LDR.

Aslinya aku ini memang wanita manis dan romantis, meski terpisah jarak, bukan halangan bagiku untuk menyenangkan kekasihku itu. Sudah sebulan aku mempersiapkan kedatangan mendadakku ke Pecatu, tepat jam 6 sore, di mana Putu sudah bersiap dengan kostumnya.

Aku akan duduk di barisan paling depan bangku penonton, menyaksikan pertujukkan Kecak Dance, dimana Putu adalah salah satu penarinya. Tapi bukan salah satu dari 70 penari pria bertelanjang dada yang meneriakkan “Cak! Cak!” itu. Dia adalah pemeran utama sendra tari Ramayana yang aksinya nanti akan diiringi oleh tarian Kecak.

Tarian kecak adalah salah satu budaya kebanggaan di Bali yang dapat dinikmati di berbagai tempat, namun di Uluwatu ini yang paling ramai dikunjungi. Hal itu dikarenakan pertunjukannnya yang bertepatan dengan matahari terbenam. Sehingga, ratusan pasang mata tidak hanya disuguhi tarian yang unik, tetapi juga pemandangan langit jingga yang luar biasa indahnya.

Sunset at Uluwatu

Sunset at Uluwatu

Tiket untuk menonton pertunjukkan tersebut sebesar Rp70,000. Dan tiketku, sudah dipersiapkan Pak Made agar ketika sampai tidak pusing dengan urusan tiket.

Rencanaku, ketika sudah duduk dengan tenang aku akan memberitahukan perihal keberadaanku ini. Aku sudah hafal jadwal pertujukan Putu, yang tampil sekitar 10 menit setelah para kecak dancer meriuhkan panggung yang terletak di ujung bukit ini. Aku sangat tidak sabar!

Aksi datang mendadak ke kota masing-masing sebenarnya bukan yang pertama terjadi bagi kami. Sewaktu awal kami ‘jadian’, dia lah yang pergi ke Jakarta. Ia menghubungiku kalau sedang berada di Jakarta dan memintaku menemuinya. Alasan saat itu sih ingin liburan karena bosan dengan kota pantai dan sesekali ingin bertemu kebisingan ibu kota. Lalu ia memintaku menjadi tour guide selama di Jakarta. Ah modus! Aku sudah tahu kalau ia sengaja ingin menemuiku. Haha. GR berat ya aku? Nyatanya, ia menyatakan perasaannya padaku yang tanpa keraguan sedikitpun, langsung aku iyakan!

Pertemuan pertama kami sekitar 3 bulan sebelum ia ‘nembak’ aku setahun lalu itu. Kami justru berkenalan di salah satu kafe di Seminyak. Kami berbincang, bertukar kotak, dan memanfaatkan perjumpaan berikutnya untuk saling mengenal lebih dekat. Benar sekali kata pepatah, distance is just a damn number when you’re in love. Meski aku berada di waktu Indonesia bagian barat, dan ia di bagian tengah, toh komunikasi kami tetap lancar.

“Mbak Lily, mari silakan saya antar ke tempat duduk. Pak Made sudah pesan sama saya supaya Mbak Lily duduk paling depan katanya.” Bu Kadek, salah satu pelayan Pura yang tugasnya menjadi usher para turis yang datang untuk menonton. Ia sudah menungguku di pintu panggung rupanya.

“Terima kasih Bu. Hmmm, aku bisa minta tolong? Ibu saja yang beritahu Putu ya, kalau aku ada di bangku penonton. Please…”

Bu Kadek mengangguk menandakan setujunya pada permintaanku. Wanita bertubuh gempal itu pun menghilang ke balik panggung, tempat para penari sedang bersiap.

Tak lama, sebuah pesan aku terima. Dari Putu!

“Kamu sinting! Kamu beneran nonton aku sekarang? Alasan HP lowbat sampai enggak bisa dihubungi, ternyata lagi buat kejutan! Sinting!”

Surprise! Happy Birthday, Putu sayang. Good luck on your performance by the way. I’m watching you.” balasku.

Pukul 6 tepat, tarian kecak akhirnya dimulai dengan penyalaan api oleh seorang pendeta pria.

Cak. Cak. Cak. Cak. Cak. Cak.

70 pria memasuki panggung, semuanya bertelanjang dada dan kaki. Tangannya terangkat ke udara sambil membentuk formasi lingkaran. Mereka kemudian menduduki panggung beralaskan pasir dan mengerumuni obor yang mengilat-ngilat.

Kecak merupakan salah satu tarian sakral yang penarinya seolah kerasukan roh ketika berkomunikasi dengan para Dewa atau leluhur. Setelah 10 menit berlalu, lalu dimulailah adegan pertama Epos Ramayana. Rama dan Sita memasuki panggung.

“Itu Putu kuuuuu.”pekikku dalam hati. Ia terlihat tampan dalam balutan busana Rama. Brewok dan kumis terlukis di wajahnya, ia jadi terlihat sangat maskulin. Berbekal kamera dengan lensa jarak pandang yang cukup jauh, aku berhasil mengabadikan gerak geriknya.

Kuakui, aku sedikit cemburu melihatnya menari bermesraan dengan pemeran Sita. Untungnya sang pemeran wanita utama tersebut sudah menikah, jadi tak ada alasan bagiku untuk insecure mengetahui bahwa pacarku setiap hari melenggak-lenggok bersama wanita lain.

Adegan demi adegan dipergelarkan bergantian. Aku mencoba tetap fokus menikmati tarian yang justru lebih disukai oleh turis asing daripada turis lokal. Menurutku, tanpa diselipi cerita Ramayana, tari kecak ini terasa membosankan. Tak ada alunan musik, dan bukan juga acapella. Untungnya, peran Hanoman si kera sakti yang jahil menggoda penonton, cukup yang menghibur. Beberapa kali aku pun terbahak melihat aksinya.

Tapi tentu saja, Putu lah yang paling aku kagumi. Ekspresinya luar biasa, terutama pada saat perpisahan dengan Sita. Dia melakoni perannya dengan mendalam. Ah, aku tersentuh dibuatnya. Sita pun sampai mengeluarkan air mata. Mengharukan. Dan ketika akhirnya Hanoman berhasil membantu Rama menyelamatkan Sita dari Rahwana, para penonton pun ikut bersorak gembira.

Satu jam lamanya, akhirnya tugas Putu selesai. Cuaca sudah sangat gelap dan hanya bercaya bulan dan dibantu dengan penerangan yang sangat minim. Putu belum dapat menghampiriku, karena para pengunjung banyak yang menyerbunya untuk sesi foto bersama.

Aku terdiam terpaku menyaksikannya, bibirku menyunggingkan senyuman karena bangga melihat kesuksesan pujaan hatiku. Selang beberapa menit kemudian, akhirnya ia berhasil meloloskan diri dari kerumunan orang dan menghampiriku.

“Aku bahagia kamu datang, ini kejutan luar biasa. Terima kasih ya, sayang.” ujarnya dengan mengenggam jemariku. Kami berdua tampak kikuk, tak seperti layaknya sepasang kekasih yang lama tak bertemu dan melepas rindu.

Rasanya aku ingin sekali memeluknya, dan menarik wajahnya mendekat, lalu aku serang bibirnya dengan ciuman bertubi-tubi. Tapi aku harus bisa menahannya sekuat mungkin, aku sadar hubungan yang kami jalani masih tabu di budaya kami. Apa jadinya kalau teman-teman penarinya, para pengunjung, usher, dan penduduk Pecatu yang taat beragama melihat aku dan Putu, dua wanita, saling berciuman.

Kami bisa dimaki!

“Aku ganti baju dulu ya, setelah itu kita segera kabur dari sini.”

Putu Yani, kekasihku, wanita elok yang malam ini terlihat gagah dengan cemongan hitam menyerupai kumis di wajahnya, karena tuntutan peran sebagai Rama. Ia berjalan cepat memunggungiku menuju ruang ganti.

Dia lah seorang yang sudah mengobati hatiku yang hancur berantakan oleh makhluk yang bernama pria. Sosok Putu yang lembut tak akan pernah menyakiti tubuhku seperti yang pernah dilakukan laki-laki. Namun jiwa tomboi dalam dirinya membuatku merasa aman terlindungi.

Sang penari itu, telah meluluhlantakkan duniaku.

Advertisement