• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: fiksi

Cinta Pertama

09 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Fiction & Imagination

≈ 1 Comment

Tags

@armeyn, Armeyn Sinaga, cerita pendek, fiksi

Prepared by Client:
Armeyn Sinaga (@armeyn)

Terdengar suara langkah kaki yang sudah sangat kuhapal. Manda datang! Manda datang! MANDA DATANG!

“GUK! GUK! GUK!” aku menyalak dengan gembira.

Ada dua pasang kaki ketika aku mengintip dari sela-sela pagar. Lho, siapa itu? Manda dengan siapa?

Kucoba mengendus aroma yang dibawa oleh si makhluk asing. Tak pernah kucium sebelumnya. Tak familiar di hidungku. Siapa dia? Mau apa dia dengan tuanku?

“GUK! GUK! GUK!” kali ini kutujukan gonggongan kepada si makhluk asing.

Aku marah! Siapa dia dengan lancangnya bertamu ke sini?! Gonggonganku semakin keras dan bulu punggungku berdiri. Kutunjukkan gigi taring ketika pagar perlahan terbuka.

Manda datang bersama dengan seorang laki-laki. Badannya tinggi besar. Jauh lebih besar dari Manda. Matanya memicing menatapku seakan aku adalah musuhnya. Aku membalas dengan memicing lebih tajam sambil memamerkan deretan gigi.

“GRRRRRR….”aku menggeram sambil terus menatap si laki-laki misterius. Continue reading →

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Si Kepala Sepatu

02 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@nisfp, Annisa Fitrianda P., cerita cinta, cerpen, fiksi

Prepared by Client:
Annisa Fitrianda P. (@nisfp)

Masih pada matahari yang sama, kota yang sama, kepenatan yang sama, dan tentunya dosen yang sama.

“Yes! Kali ini aku datang 10 menit setelah Bu Jenny masuk kelas. Artinya aku bisa ikut kelas Psikologi Umum! Yes!”

Aku mengetuk pintu kelas sambil menarik napas dalam-dalam, “Permisi, Bu.”

“It’s been 15 minutes since I’m here. Late again, Miss.”

“What?” Jawabku syok.

“Dan kalaupun tidak terlambat, kemungkinan saya mengizinkan kamu masuk itu kecil sekali. Lihat itu. Sepatu di kaki kanan dan sandal jepit di kaki kiri. What a shame, Miss.”

Leherku tertohok. Mulutku menganga. Pelan-pelan kuturunkan kepala. Terlihat di sana sepatu berhak datar biru tua di sebelah kanan dan sandal jepit kuning di sebelah kiri. Seketika itu juga kelas langsung riuh rendah dengan tawa. Sialan! Sekejap aku langsung keluar kelas, membanting pintu. Amat sangat memalukan! Continue reading →

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Hari ke Dua Belas, Bulan Dua Belas

13 Thursday Dec 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@evanjanuli, cerpen, cinta, Evan Januli, fiksi, undangan

Prepared by client:
Evan Januli (@evanjanuli)

“Bangun dek, bangun!”

Dengan susah payah aku mencoba membuka kedua mataku, namun seperti ada perekat yang kuat sehingga membuatnya tetap terpejam. Pelan-pelan aku berhasil menghilangkan gelap dari pandanganku dengan warna putih pucat, tepat di atasku. Langit-langit rumah. Tadinya aku berharap sudah berada di surga, tapi suara kakak laki-lakiku itu mematahkan segalanya.

Aku masih hidup.

Pikiranku berjalan kembali pada tiga puluh menit yang lalu. Sepulang kerja tadi, aku mendaratkan tubuh lelahku di sofa yang tertata rapi di dalam ruang tamu berukuran 4×4 meter ini. Dan di saat itulah aku melihat sebuah benda yang cukup unik di sampingku, tepat di sofa sampingku.

Sebuah surat dengan sampul berwarna emas dan pita terpasang di pojok kiri atasnya dan dua inisial di pjok kanan atas. Jantungku seakan berdetak dengan cepat. Aku tahu, firasatku mengatakan ada yang tak beres di sini. Perlahan kuambil surat itu. Nafasku sudah tercekat meski belum juga membuka dan membaca isinya. Sebuah label menempel bagian depannya, bertuliskan namaku. Ya, namaku. Aku tak salah melihat.

Dan inisial di sampul itu…

A&J

***

Tepat satu bulan yang lalu di depan ruang tunggu terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, James hanya memegang pundakku dan tersenyum.  Sepertinya ia tak pernah tersenyum seperti ini, sangat tampan. Apakah itu perasaanku saja? Ya, tapi aku tahu ada makna berbeda tersimpan di balik garis cekung yang membentuk di bibirnya itu.

“Ada yang ingin aku katakan, beib..”

Ada helaan nafas panjang sebelum pria yang hendak kembali ke kota asalnya itu melanjutkan perkataannya. Aku menunggunya dengan seksama. Ah pria ini, guratan di wajahnya semakin menegaskan ketampanannya. Tak dapat kupingkiri, ia telah membuatku jatuh cinta telak.

Kami masih berdiri berhadapan. Aku memegang ujung jaketnya, alih-alih merapikannya. Aku hanya masih ingin berdekatan dengannya. Tapi perkataannya yang kudengar kemudia sangat di luar dugaanku.

“Kita udah gak bisa sama-sama lagi.”

Darahku seakan mendidih di angka 100 derahat celcius. Kamu sedang bercanda kan James?

Tidak, aku tahu, sangat mengenali pria di depanku ini. Ia selalu serius dengan segala lisannya.

Tanpa membiarkan aku menanyakan maksud pernyataannya itu, ia melanjutkan dengan terbata-bata, “ Aku…sebenernya…udah punya..calon istri. Maaf banget yah tapi kita pasti tetep bisa jadi teman yang baik.”

Ia tersenyum kecil.

James yang baru saja aku kenal selama satu bulan di Jakarta ternyata baru saja memperkenalkan dirinya yang sebenarnya. James sedang ditempatkan di Jakarta untuk mengaudit sebuah perusahaan besar di Jakarta dan James sudah memiliki calon istri di kota asalnya.

“Tapi selama satu bulan ini aku sangat menikmati hubungan dekat kita jadi aku janji pasti bakal datang lagi ke Jakarta kok.”

“Iya, tapi kamu sebelumnya gak pernah bilang kamu sudah punya calon istri”

“Karena aku juga belum sempat mengatakan yang sejujurnya ke kamu. Aku juga sayang sama kamu tapi aku gak bisa meninggalkan calon istri aku.”

“Tapi semalam kamu bilang sama aku, kamu gak akan ninggalin aku, James!!”

“Aku janji pasti akan ke Jakarta lagi kok. Dan saat aku di Jakarta kita masih bisa bertemu, sayang..”

Setelah James menyelesaikan kalimatnya tersebut, James langsung memelukku dan tanpa kusadari mataku pun mulai basah. Ketika panggilan untuk naik ke pesawat terdengar, james baru melepaskan pelukannya.

“Last night was a great night though..” ucapnya.

Dia mencium keningku sebelum membalikkan badannya seraya menarik kopernya ke arah yang berbeda dengan arah kedatanganku tadi.

***

Sejak pertemuan terakhir dengan James sekitar sebulan yang lalu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar berita apapun dari James. Bahkan seluruh social media yang menyangkut James sudah terhapus.

Meski begitu, sosoknya tidak pernah lepas dari ingatanku. Dan ucapan terakhirnya di bandara masih bersemayam di pikiranku. Last night was a great night though..

***

Setelah suara kakakku yang terus berteriak, akhirnya aku dapat mengingat kejadian tiga menit yang lalu. Samar-samar aku melihat undangan pernikahan James tercecer di lantai tak jauh dari tempat pembaringanku.

Dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah kakakku yang menangis di depanku dan pisau yang penuh darah di samping kananku.

Juga testpack dengan dua strip.

Sebelum menemukan undangan di meja ruang tamu tadi, aku pulang dengan membawa kabar akan kehamilanku. Akibat dari peristiwa di malam terakhir sebelum James pergi.

Tiba-tiba, aku pun tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya suara jeritan kakakku yang kembali kudengar, untuk terakhir kalinya.

Hari ini, hari kedua belas di bulan dua belas. Di saat orang lain merayakan sesuatu yang baik di tanggal cantik, aku merayakan kematianku.

-THE END-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

A Gentle Smile in Amsterdam

27 Saturday Oct 2012

Posted by myaharyono in Fiction & Imagination

≈ 1 Comment

Tags

@myaharyono, Amsterdam, cerpen, fiksi, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Cik!

Aku berlari melewati hujan, yang menimbulkan bunyi gemericik akibat sepasang bootsku beradu dengan genangan air. Hujan tiba-tiba saja menyerbu di saat aku sedang menikmati suasana di negeri tanah rendah ini. Ya, tanah rendah, the lower land, atau dalam bahasa Dutch disebut The Nether Land.

Begitulah asal mula bagaimana negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad lamanya disebut, The Netherland. Rendah, karena berada sekian kaki ribu di bawah permukaan laut.

Dan aku, berkesempatan untuk mengunjungi ke Amsterdam, ibu kota negara itu. Sayangnya, perjalananku bertepatan dengan musim winter, dimana hampir setiap hari turun hujan.

“Miw…tunggu.” panggil Arin, teman seperjalanku di Amsterdam.

Dia selalu ingin menjadi satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama selain Mia atau Mimi, nickname-ku. Dia bahkan pernah mengatakan padaku seperti ini, “Kalau ada lagi yang manggil lo Mimiw, kasi tau ya. Gue cari nickname lain.”

Ada-ada saja travel mate-ku kali ini.

“Buruan, Rin. Kita naik tram aja ya daripada ujan-ujanan.” Suaraku meninggi agar Arin dapat mendengarnya, di tengah hembusan angin dan curahan hujan yang saling bersautan.

Kalau di Indonesia, aku suka berlarian di bawah hujan. Hujan tropis yang hangat dan sejuk dapat mengusir segala gundahku. Romantis sekali. Tapi di Belanda, air yang jatuh mencubiti kulit mukaku sampai sakit rasanya. Tak ketinggalan angin kencang yang membawa udara dingin menembus coat tebalku. Jadi, ketika hujan tiba-tiba datang ya kami harus segera berteduh.

We saved by the bell. Untung saja kami tepat sampai halte dan masih dapat memasuki tram sebelum kereta mini itu melanjutkan lajunya. Jadi nggak harus berteduh lebih lama di halte.

Tram adalah salah satu alat transportasi umum di Amsterdam, selain kereta dan taksi. Tram ini mungkin seperti monorail, kereta mini dengan lintasan 1 rel. Jarang sekali ditemui kendaraan roda empat maupun roda dua yang mengeluarkan polusi asap.

Selain itu, hampir separuh penduduknya menggunakan sepeda. Bahkan di sepanjang jalan, banyak diparkir sepeda. Hal tersebut menyebabkan kota Amsterdam sungguh luar biasa sejuknya.

Hujan membuat tram agak penuh dari biasanya. Setelah menempelkan kartu akses 24 jam seharga 7.5 euro atau sama dengan 93,750 rupiah, aku masuk ke dalam sambil menyapu pandangan ke seluruh isi tram ini mencari kursi kosong. No result found.

Udah mahal-mahal, berdiri pula. Keluhku dalam hati. Cukup mahal memang biaya hidup di Amsterdam. Tak terkecuali transportasi. Untuk dapat menggunakan seluruh alat transportasi umum sepuasnya di Amsterdam, tiket yang tersedia selain one-trip yaitu 1-hour-access, atau 24-hour-access. Hari ini aku membeli yang perhari, sesuai prediksiku seharian akan banyak diguyur hujan. Sehingga tak memungkinkan jika berjalan kaki.

Yasudahlah, yang penting kan enggak kehujanan. Aku mencoba menyenangkan hati sendiri.

Kereta mini yang aku naiki kemudian dengan gesit menyusuri bangunan-bangunan yang berdiri sejak tahun 1600-an ini. Amsterdam memang sangat mempertahankan sejarah. Tata kota yang meski tua, justru membuatnya terlihat unik. Aku sungguh menikmati perpaduan bangunan, kanal, dan kapal kecil yang menghiasi pemandangan dalam kereta. Jadi, meski berdiri, aku tak merasa susah.

Teng. Teng.

Begitu bunyi klakson tram ketika berjalan dan memberi peringatan, agar pejalan kaki maupun pengendara sepeda memperhatikan kereta yang lewat.

Aku sungguh menikmati tram, pemandangan di luar jendela, bunyi, ah segalanya. Sampai-sampai aku tak menyadari ada kursi kosong di belakangku. Yang semula menempatinya baru saja turun di halte tujuan.

“Miw, tuh duduk.” perintah Arin sambil menunjuk ke arah kursi kosong.

Setelah aku duduk Arin menanyakan tujuan kami kepadaku, “Jadi turun di mana? Berapa halte lagi, Miw?”

Biarlah peta yang menjawabnya. Aku mengeluarkan teman kesayangan Dora itu dari tasku. Sekilas, dari sudut mataku aku merasa diperhatikan oleh pria yang duduk di sebelahku. Aku meliriknya, benar saja, dia memang tadi memperhatikanku. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya seoalah ketakutan dipergoki.

Tampan. Aku tersenyum ke-GR-an dalam hati.

Tapi aku langsung ingat bahwa di negeri Holland ini banyak beredar copet juga. Dan copet di sini tentu saja ganteng. Aku reflek menutup resleting tasku dengan cepat. Apa salahnya berhati-hati kan.

Aku membuka petaku, dan mencari-cari daerah yang hendak aku datangi. Kami ingin menuju Rijks Museum, di depannya ada tulisan I am sterdam yang terkenal itu. Kami ingin berfoto di manifesto kebanggaan Amsterdam tersebut.

“Rin, tiga halte lagi kita turun ya. Abis itu ganti tram.”

Aku menoleh lagi, pria di sampingku itu kembali memperhatikanku.

Ah, matanya biru dan bening. Ingin rasanya berlama-lama menyelam sampai ke dasarnya. Aku mendadak gugup dan sulit bernapas.

Oh my God!

Akupun kembali berkutat dengan petaku. Aku melihat lagi ke luar tram, kendaraan ini sedang berhenti di halte berikutnya. Dan aku bisa melihat pantulan pria itu dari jendela. Dia memperhatikanku dengan seksama.

Seketika aku merasa kegerahan, padahal tadi sempat menggigil kehujanan. Dengan malu-malu aku menoleh padanya lagi.

Dan kali ini, ia tersenyum. A gentle smile that makes me warm.

Astaga, he’s so damn cute! Mungkin senyuman ter-cute yang pernah kulihat selama tiga hari menjadi turis di kota ini.

Aku merasakan jantung ini mulai berdebar cepat. Aku lirik lagi, ia tersenyum lagi. Aku menunduk lagi. Begitu seterusnya sampai tram kembali berhenti.

Satu halte lagi aku akan turun, jadi aku tidak boleh melewatkan kesempatan baik ini. Ada pria bule tampan dan menggemaskan di sampingku lalu aku harus diam saja?

Tidak, it’s now or never. Aku buang segala ketakutanku dan mengumpulkan segenap nadi keberanian yang aku punya.

Aku menghela nafas sejenak, sebelum akhirnya nekad menanyakan namanya.

“Hi, what’s your name.”

“He’s Sebastian. Isn’t he cute, huh?” ucap wanita yang menggendongnya di pangkuan.

“Yes, he’s charming. I love his smile. Hi Sebastian..” aku menyalaminya dengan memegang tangan mungilnya.

Ia menggelembungkan ludah dari mulut mungilnya, pertanda sedang sangat riang.

Dengan masih memegang jemarinya, aku mengatakan kepada Ibunya sambil tersenyum, “You’re so lucky to have a cute baby like Sebastian.”

Aku ingin juga punya anak bule selucu ini! tekadku dalam hati, tepat sebelum pintu tram terbuka di pemberhentian tujuanku.

-THE END-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Sebuah Cerita di Suatu Sore

21 Saturday Jul 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@myaharyono, cerita cinta, cerpen, fiksi, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Setelah tak pernah lagi berbicara hampir 6 bulan lamanya, entah bagaimana dan apa yang membawa aku dan dia kembali duduk bersama, berdampingan.

Seperti saat ini, sore hari di sudut kantin kantor. Sebuah kedai makan yang biasanya dipenuhi para karyawan, karena letaknya yang dekat gedung perkantoran. Di kantin itu juga tempat aku dan dia biasa bercengkerama sambil menikmati menu sarapan pagi.

Dulu.

Saat masih tak ada jarak di antara kami.

Kini.

Dua jengkal jemari yang memisahkan posisi dudukku darinya menandakan hubungan kami yang sudah tidak lagi dekat.

Saat awalnya memasuki kantin ini bersamanya, aku hampir tidak percaya dengan yang terjadi. Ini gila. Dan sambil berdoa dalam hati, aku berharap tidak ada satupun yang mengenali kami.

Beberapa meja sudah terisi dengan pasangan pria dan wanita. Ada yang sedang tertawa lepas berdua, ada yang sedang berfoto berdua, dan ada juga yang terlihat sedang bertengkar. Namun setelah melewati meja-meja tersebut, aku tersadar bahwa pasangan seperti yang kulihat tadi tidak ada. Hanyalah meja-meja tanpa pengunjung. Kosong.

Rupanya penglihatanku tadi adalah fatamorgana. Bayangan pasangan-pasangan itu sebenarnya pengalaman aku bersamanya, di berbagai meja di kantin ini.

Kami pernah bahagia bersama. Kami pernah konyol bersama. Kami pernah tersiksa bersama.

Karena kepalang terus berjalan melewati meja-meja kosong itu, akhirnya aku memilih tempat di sudut ruangan. Untungnya, kantin sore ini tidak banyak pengunjung. Dan kali ini dengan penglihatan yang nyata, kulihat meja di samping kanan ditempati dua pria yang sedang menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Meja di depan kami hanya tersisa gelas-gelas bekas diminum yang belum sempat dibersihkan.

Seharusnya sebagai dua anak manusia yang bertemu kembali setelah sekian lama, kami akan berpelukan lalu mengobrol penuh antusias. Tidak, kami hanya diam. Ada kecanggungan besar membatasi kami.

Ucapan pertama yang keluar dari mulutnya, saat kami sudah sama-sama nyaman dengan posisi duduk adalah panggilan kepada pelayan. Tanpa menanyakan dulu padaku, dia memesan dua gelas es teh manis. Kebiasaan kami dulu di kantin ini.

Setelah pelayan membawakan minuman dan berlalu, barulah kami benar-benar bisa memulai obrolan. Dan inilah kami berdua. Satu hal yang tidak pernah berubah. Sama-sama susah menghentikan percakapan. Terus dan terus terlena dalam perbincangan ringan.

Dan aku masih tidak dapat memercayai apa yang terjadi sore ini, mengingat pertengkaran hebat kami lima bulan silam. Pertengkaran yang berakhir dengan saling menangis, karena keputusan untuk harus saling menjauh.

Demi menghargai wanita yang sedang dekat dengannya, aku memutuskan keluar dari hidupnya. Aku tak sudi dianggap wanita kesepian yang masih mengejar mantan terkasihnya.

Jauh di lubuk hati kami, perpisahan sebagai sahabat jauh lebih menyakitkan. Tapi kami sama-sama tau, meski tidak bisa kembali dekat seperti dulu kami akan selalu menjadi sahabat di hati. Ditambah kenyataan kami yang berada dalam gedung yang sama untuk mencari nafkah, pertemuan mendadak memang tidak bisa dihindari. Selama lima bulan terakhir ini hubungan kami hanya sebatas tegur sapa. Tidak lebih. Tidak seperti saat ini.

Dia terus menambah batang rokoknya, tampak sangat menikmatinya. Kulirik jam di tangan kiriku, sudah hampir 50 menit kami lewati. Tidak terasa kami sudah terseret pada pembicaraan yang tak terarah. Namun, tak satupun dari kami yang menyinggung kehidupan cinta masing-masing.

Lagipula aku tak ingin mengetahuinya. Aku tak ingin menghancurkan suasana kebersamaan saat ini. Maka kubiarkan saja asumsi dia masih bersama wanita itu, agar perasaan aku dapat tetap murni bersahabat dengannya.

Sampai akhir perbincangan kami, aku masih belum dapat tenang karena was-was. Aku takut dia akan menanyakan kabar percintaanku. Sungguh aku malu mengaku padanya, bahwa sampai saat ini belum juga menemukan pengganti dirinya.

Setelah satu jam menghabiskan waktu di sudut kantin pun, kami akhirnya memutuskan menyudahi reuni ini. Waktu menunjukkan pukul 4 lebih 15 menit, sudah lewat seperempat jam dari jam pulang kantor kami.

Lalu kami berdua berjalan beriringan keluar dari kantin. Setiap langkahku dipenuhi dengan berbagai pikiran. Aku tau banyak yang sudah memperingatkanku, untuk tidak mengulang lagi kebodohan. Tapi satu hal yang tak bisa kupungkiri, semesta rupanya belum menghendaki aku sepenuhnya keluar dari hidupnya.

Setidaknya, sampai sore ini.

-The End-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

  • gelaph's avatar
  • clients's avatar
  • myaharyono's avatar

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph's avatar gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients's avatar clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono's avatar myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

Tweets by myaharyono

Gelaph on Twitter

Tweets by gelaph

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Subscribe Subscribed
    • working-paper
    • Join 41 other subscribers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d