Tags
Prepared by client:
Evan Januli (@evanjanuli)
“Bangun dek, bangun!”
Dengan susah payah aku mencoba membuka kedua mataku, namun seperti ada perekat yang kuat sehingga membuatnya tetap terpejam. Pelan-pelan aku berhasil menghilangkan gelap dari pandanganku dengan warna putih pucat, tepat di atasku. Langit-langit rumah. Tadinya aku berharap sudah berada di surga, tapi suara kakak laki-lakiku itu mematahkan segalanya.
Aku masih hidup.
Pikiranku berjalan kembali pada tiga puluh menit yang lalu. Sepulang kerja tadi, aku mendaratkan tubuh lelahku di sofa yang tertata rapi di dalam ruang tamu berukuran 4×4 meter ini. Dan di saat itulah aku melihat sebuah benda yang cukup unik di sampingku, tepat di sofa sampingku.
Sebuah surat dengan sampul berwarna emas dan pita terpasang di pojok kiri atasnya dan dua inisial di pjok kanan atas. Jantungku seakan berdetak dengan cepat. Aku tahu, firasatku mengatakan ada yang tak beres di sini. Perlahan kuambil surat itu. Nafasku sudah tercekat meski belum juga membuka dan membaca isinya. Sebuah label menempel bagian depannya, bertuliskan namaku. Ya, namaku. Aku tak salah melihat.
Dan inisial di sampul itu…
A&J
***
Tepat satu bulan yang lalu di depan ruang tunggu terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, James hanya memegang pundakku dan tersenyum. Sepertinya ia tak pernah tersenyum seperti ini, sangat tampan. Apakah itu perasaanku saja? Ya, tapi aku tahu ada makna berbeda tersimpan di balik garis cekung yang membentuk di bibirnya itu.
“Ada yang ingin aku katakan, beib..”
Ada helaan nafas panjang sebelum pria yang hendak kembali ke kota asalnya itu melanjutkan perkataannya. Aku menunggunya dengan seksama. Ah pria ini, guratan di wajahnya semakin menegaskan ketampanannya. Tak dapat kupingkiri, ia telah membuatku jatuh cinta telak.
Kami masih berdiri berhadapan. Aku memegang ujung jaketnya, alih-alih merapikannya. Aku hanya masih ingin berdekatan dengannya. Tapi perkataannya yang kudengar kemudia sangat di luar dugaanku.
“Kita udah gak bisa sama-sama lagi.”
Darahku seakan mendidih di angka 100 derahat celcius. Kamu sedang bercanda kan James?
Tidak, aku tahu, sangat mengenali pria di depanku ini. Ia selalu serius dengan segala lisannya.
Tanpa membiarkan aku menanyakan maksud pernyataannya itu, ia melanjutkan dengan terbata-bata, “ Aku…sebenernya…udah punya..calon istri. Maaf banget yah tapi kita pasti tetep bisa jadi teman yang baik.”
Ia tersenyum kecil.
James yang baru saja aku kenal selama satu bulan di Jakarta ternyata baru saja memperkenalkan dirinya yang sebenarnya. James sedang ditempatkan di Jakarta untuk mengaudit sebuah perusahaan besar di Jakarta dan James sudah memiliki calon istri di kota asalnya.
“Tapi selama satu bulan ini aku sangat menikmati hubungan dekat kita jadi aku janji pasti bakal datang lagi ke Jakarta kok.”
“Iya, tapi kamu sebelumnya gak pernah bilang kamu sudah punya calon istri”
“Karena aku juga belum sempat mengatakan yang sejujurnya ke kamu. Aku juga sayang sama kamu tapi aku gak bisa meninggalkan calon istri aku.”
“Tapi semalam kamu bilang sama aku, kamu gak akan ninggalin aku, James!!”
“Aku janji pasti akan ke Jakarta lagi kok. Dan saat aku di Jakarta kita masih bisa bertemu, sayang..”
Setelah James menyelesaikan kalimatnya tersebut, James langsung memelukku dan tanpa kusadari mataku pun mulai basah. Ketika panggilan untuk naik ke pesawat terdengar, james baru melepaskan pelukannya.
“Last night was a great night though..” ucapnya.
Dia mencium keningku sebelum membalikkan badannya seraya menarik kopernya ke arah yang berbeda dengan arah kedatanganku tadi.
***
Sejak pertemuan terakhir dengan James sekitar sebulan yang lalu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar berita apapun dari James. Bahkan seluruh social media yang menyangkut James sudah terhapus.
Meski begitu, sosoknya tidak pernah lepas dari ingatanku. Dan ucapan terakhirnya di bandara masih bersemayam di pikiranku. Last night was a great night though..
***
Setelah suara kakakku yang terus berteriak, akhirnya aku dapat mengingat kejadian tiga menit yang lalu. Samar-samar aku melihat undangan pernikahan James tercecer di lantai tak jauh dari tempat pembaringanku.
Dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah kakakku yang menangis di depanku dan pisau yang penuh darah di samping kananku.
Juga testpack dengan dua strip.
Sebelum menemukan undangan di meja ruang tamu tadi, aku pulang dengan membawa kabar akan kehamilanku. Akibat dari peristiwa di malam terakhir sebelum James pergi.
Tiba-tiba, aku pun tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya suara jeritan kakakku yang kembali kudengar, untuk terakhir kalinya.
Hari ini, hari kedua belas di bulan dua belas. Di saat orang lain merayakan sesuatu yang baik di tanggal cantik, aku merayakan kematianku.
-THE END-