Tags

, , ,

Prepared by Client:
Armeyn Sinaga (@armeyn)

Terdengar suara langkah kaki yang sudah sangat kuhapal. Manda datang! Manda datang! MANDA DATANG!

“GUK! GUK! GUK!” aku menyalak dengan gembira.

Ada dua pasang kaki ketika aku mengintip dari sela-sela pagar. Lho, siapa itu? Manda dengan siapa?

Kucoba mengendus aroma yang dibawa oleh si makhluk asing. Tak pernah kucium sebelumnya. Tak familiar di hidungku. Siapa dia? Mau apa dia dengan tuanku?

“GUK! GUK! GUK!” kali ini kutujukan gonggongan kepada si makhluk asing.

Aku marah! Siapa dia dengan lancangnya bertamu ke sini?! Gonggonganku semakin keras dan bulu punggungku berdiri. Kutunjukkan gigi taring ketika pagar perlahan terbuka.

Manda datang bersama dengan seorang laki-laki. Badannya tinggi besar. Jauh lebih besar dari Manda. Matanya memicing menatapku seakan aku adalah musuhnya. Aku membalas dengan memicing lebih tajam sambil memamerkan deretan gigi.

“GRRRRRR….”aku menggeram sambil terus menatap si laki-laki misterius.

“Sssh, Brunooo.. Ssshh.. “ kata Manda tenang sambil mengusap kepalaku. Usapan yang telah kutunggu sejak tadi pagi. Ia memang selalu mengusapku sebelum dan sepulang bekerja.

Entah kenapa, tangan Manda seperti candu untukku. Candu yang mampu menenangkan sekaligus membuat aku tak lelah menunggu uluran tangannya.

Ekorku bergoyang tanpa sadar dan lidahku menjulur secara otomatis menjilat tangannya. Uh, bau aneh. Bau itu menyadarkanku yang telah beberapa detik terhipnotis dengan belaian lembut Manda.

Mereka berlalu meninggalkanku. Tak membiarkan aku mengenal sosok misterius tersebut. Ia berjalan dengan gerak tubuh menjauhiku sembari menggandeng tangan Manda. Ah rupanya bau itu yang menempel di tangan tuanku.

Itulah malam pertemuan pertamaku dengan Romi, sang lelaki misterius. Setelahnya, berkali-kali lelaki itu datang. Menjemput atau mengantar Manda pulang hingga ke teras rumah. Sesering itu ia ke rumah, namun tak sekalipun ia pernah mengusapku. Ia hanya menatap dari kejauhan ketika kami berdua tengah bermain bersama.

Pada suatu sore, sayup-sayup terdengar suara Manda bercerita tentangku kepada Romi. Iya, tentang aku. Tentang si Bruno yang ia rawat sejak lahir, yang ia jaga ketika sakit, dan dibersihkannya dengan busa sampo yang berlimpah. Dan kemudian malah berlari berkotor-kotoran persis setelah dimandikan.

Tentang aku, Bruno, yang telah berusia sembilan tahun di dunia manusia. Dalam penanggalan anjing, satu tahun manusia adalah tujuh tahun anjing. Artinya, tahun ini aku telah berumur 63 tahun di dunia anjing.

Tak heran berbagai penyakit juga telah merasukiku. Bahkan penyakit yang di dunia manusia disebut katarak pun telah hampir membutakanku. Namun Manda berinisiatif membawaku operasi mata. Tidak maksimal memang. Mataku masih tetap buram. Hingga akhirnya Manda memutuskan untuk mengikatku dengan tali kekang. Hal itu dilakukannya agar aku tidak terperosok ketika berjalan-jalan di halaman rumah.

Romi tampak tidak senang dengan anjing. Atau dia hanya tidak menyukaiku? Entahlah. Yang pasti ia tidak tertarik dengan cerita Manda. Wajahnya seperti hendak mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Ia hanya belum paham bahwa membicarakanku adalah topik favorit Manda dengan mantan-mantannya terdahulu.

***

Aku termenung. Saat ini sudah dini hari tapi bulu kudukku masih berdiri. Bukan, bukan karena dinginnya malam sehabis hujan. Tapi karena apa yang kusaksikan tadi malam.

Manda pulang seperti biasa dengan ditemani Romi. Suara mobil Romi telah kuhapal dengan baik sehingga aku tak pernah menggonggonginya lagi. Ketika suara mesin dimatikan dan pintu mobil membuka terdengar, aku pun berdiri. Siap menyambut tangan Manda di kepalaku.

Tapi kali ini ada yang berbeda. Suara langkah sepatu Manda kali ini diiringi suara…isak tangis? Manda menangis? Terakhir kali kulihat ia menangis adalah ketika aku akan dioperasi katarak satu tahun lalu.

Beberapa detik kemudian pertanyaanku terjawab. Manda muncul di pagar dengan maskara yang telah luntur.  Romi menyusul di belakangnya dengan langkah tergesa.

Tak ada usapan maupun suara riang Manda malam itu. Yang ada hanya isak tangis dan suara bentakan tertahan dari mulut Romi. Di teras rumah, mereka bertengkar. Aku hanya menyaksikan tanpa mengerti apa yang mereka pertengkarkan. Manda tak biasanya menangis sesenggukan seperti saat ini. Namun aku tak ambil pusing. “Paling-paling masalah biasa saja”, pikirku. Aku pun mulai meringkuk kembali di peraduanku di pinggir taman.

“PLAK!” tiba-tiba bunyi tamparan terdengar. Mataku refleks membuka dan melihat Manda memegang pipinya. Kulihat pula Romi yang telah berdiri dan beranjak pergi.

APA-APAAN INI?! DIA MENAMPAR MANDAKU!?

“GRRRRRRR!!! GUK GUK GUK !!!” Dengan segenap kekuatan aku menyalak menyuarakan kemarahan yang membara. Tali kekang menegang. Membuat perih yang amat sangat di sekitar leher.

Namun hal tersebut tak kuhiraukan. Aku terus memaksakan diri mengejar laki-laki bajingan itu. Napasku mulai tersengal akibat kekangan tali. Sakit sekali. Tapi menyaksikan Manda menangis tersedu, itu terasa lebih menyakitkan.

Deruman mesin mobil Romi menggema dan secepat kilat ia telah hilang dari pandangan. Aku masih dengan segenap kekuatan menggonggongi Romi di sela napas yang semakin sesak. Namun tarikan tali seakan memaksa diam, meski emosi telah memuncak. Isak tangis Manda terdengar di sela-sela suara gonggongan. Namun tak ada yang bisa aku lakukan untuknya. Untuk Mandaku.

Malam itu aku menangis. Ya, anjing pun bisa menangis. Apalagi untuk tuannya yang dikasihinya dengan sepenuh jiwa. Anjing hanya punya satu tuan sepanjang hidupnya. Dan tuanku, sekaligus cinta pertamaku, adalah Manda.

Rasanya sebagian hidupku pergi melayang bersama dengan tangis Manda yang menguap. Hatiku hancur. Betapa sedih rasanya menyaksikan cintaku disakiti oleh orang lain. Aku tertidur dengan perasaan campur aduk. Dinginnya malam tak dapat kurasakan lagi. Aku rasa, aku mati rasa.

***

Beberapa malam kemudian, Romi mulai datang lagi ke rumah. Sepertinya masalah mereka telah selesai. Meski untukku hal itu tak akan pernah usai. Sejak malam itu, Romi adalah musuh. Musuh terbesar. Bahkan masih di atas kucing tetangga yang suka sekali mondar-mandir di hadapan.

Dan kali ini, sang musuh kembali mengantar Manda pulang ke rumah. Deruman mobil, decitan rem, dan suara pintunya sudah sangat familiar di telingaku. Manda masuk diikuti Romi, yang dengan tampang anehnya menatapku tajam. Kupandangi Manda. Kutunggu usapan tangannya. Tapi tak ada. Ia bahkan seperti tak melihat seekor Bruno di sana. Buluku mulai naik. Naluriku mengatakan ada yang tak beres di sini.

Benar saja. Kulihat Romi meraih bahu Manda. Manda menepis tangannya dengan cara menggoyangkan bahu. Romi tampak emosi. Ia menarik tangan Manda lalu dibalikkannya tubuh tuanku. Kini mereka berhadap-hadapan dengan Manda menatap tajam mata Romi.

Dari temaram lampu taman, kulihat Romi menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Manda. Ia tampaknya berusaha menjelaskan sesuatu. Sesekali ia menggaruk kepalanya, kehabisan ide berbicara dengan Manda. Manda pun tak tinggal diam. Dengan lebih sengit, ditunjuk-tunjuknya muka Romi. Sementara aku mengamati dari kejauhan. Aku tak akan kecolongan lagi kali ini. Setiap gerakan Romi akan terus kuawasi.

Sekitar lima menit mereka berdebat. Romi memegang bahu Manda dan mulai menggoncang-goncangkannya. Air mukanya sangat tegang.

Akupun meradang. Merasakan adanya bahaya pada Manda, aku menggonggong dengan keras. Romi tak menghiraukanku, begitu pula Manda.

“GUK GUK! GRRRRRRRRRRRR  !!!” aku menyalak seakan meminta perhatian merekaberdua.

Tiba-tiba tangan Romi terangkat ke belakang, siap menampar. Dengan geram aku menarik tubuh untuk bangun. Tak kurasakan lagi tegangnya tali kekang yang menahan leher. Aku terus berusaha maju. Berusaha menghentikan tangan Romi yang mulai mengayun.

“PLAK !!” satu bunyi tamparan terdengar.

BAJINGAN! Kemarahan pun merasuki anjing tua ini.

Dengan sekuat tenaga kutarik tubuh. Memaksa diri menahan sakit di leher dan tenggorokan. Mataku tak lagi mampu melihat dengan jelas, tapi sayup-sayup kulihat tangan Romi yang telah terangkat kembali.

Dengan ancang-ancang menerkam, kukerahkan seluruh sisa tenaga untuk menyelamatkan Manda dari tangan kasar manusia tak beradab ini. Napas mulai tersengal, namun tak kuhiraukan asal aku bisa menghajar si laki-laki bajingan. Menerkam tangannya yang telah menampar Manda dua kali di hadapan.

TUANKU PANTAS MENDAPAT PERLAKUAN YANG LEBIH BAIK!

“BRAAAAAAAKK!” Besi penahan tali kekang pun tercabut dari tempatnya. Naluri mengarahkan tubuhku ke arah Romi. Sekuat tenaga kupacu langkah dan kupamerkan deretan gigi yang telah siap menerjang lelaki bajingan itu. Berharap ia mundur dan tak menampar Manda lagi.

Jarakku dengan mereka tak lebih dari lima meter. Dalam sedetik kurang, aku dengan tali kekang di leher dan besi yang ikut terseret, telah berada di hadapan mereka berdua. Manda menatapku kaget. Air mukanya tak percaya bahwa anjing setua ini mampu kabur dari tarikan tali kekang. Wajah Romi tak kalah kaget melihat anjing renta piaraan Manda yang telah dalam posisi siap perang.

Kutekuk kaki dan kuarahkan mata ke arah kaki Romi. Seperti pesawat tempur yang telah mengunci targetnya, pergelangan kaki Romi adalah target empuk. Dalam sepersekian detik, kuterkam kakinya hingga berdarah. Bisa kurasakan darah segarnya merembes di mulut. Anggap saja ini sebagai pembalasan dendam atas perbuatannya pada Manda.

Setelah berhasil menggigit kaki kirinya, aku sekarang mengincar kaki kanannya. Aku pun melompat berusaha meraih sasaran gigitku.

Tak kuduga, Romi mengangkat kakinya jauh ke belakang. Aku yang sudah setengah jalan, tak dapat mundur ataupun mengelak. Kaki Romi sudah dalam keadaan siap menendang. Oh God.

“BUKKKKKKKKKK!!”

Kurasakan perutku dihantam benda padat dengan kekuatan yang luar biasa. Telak, kaki Romi mendarat di sana. Tubuhku melayang. Kepalaku menengadah. Aku hanya bisa memandang Manda yang juga balik menatap dengan tidak percaya.

Ingatanku melayang ke tahun-tahun bersama Manda. Terbayang indah senyumnya ketika melihat aku yang bersih setelah mandi. Lalu dilanjutkan dengan muka marahnya saat aku dalam seketika menjadi kotor kembali.

Terbayang wajah polosnya ketika ia mengajakku ngobrol tentang masalahnya di sekolah. Sunggguh, akupun tak mengerti sama sekali. Namun yang aku tahu, ia tengah berbagi dunianya denganku. Dan aku mendengarkan dengan seksama. Sekedar menikmati nada suara Manda.

Terasa di kepalaku usapan lembut Manda tiap pagi dan malam. Lembut tangannya merupakan perangsang semangatku. Perangsang yang membuatku menunggunya pulang tanpa lelah. Sekadar untuk merasakan usapan itu lagi.

Teriakan Manda menggema. Menyadarkan bahwa tubuhku sedang melayang menuju tembok. Mataku menatap kakinya. Kaki yang kutunggu melangkah dari balik pagar setiap harinya. Kaki yang bunyi langkahnya telah kuhapal dengan segenap memori di kepala.

Lengkingan suara Manda menjadi penutup umur dan kesetiaanku, anjing peliharaannya. Sudah banyak cerita mengenai kesetiaan seekor anjing pada tuannya, bukan? Dan aku telah membuktikannya. Membuktikan bahwa hidupku kuserahkan untuknya dan matiku adalah untuk membelanya.

Kini kuharap Manda tak melupakanku. Aku yang selalu ada untuknya, bagian dari hidupnya. Semoga ia selalu mengingat aku sebagaimana aku mengingatnya. Manda. Cinta pertamaku.

Dogs are not our whole life, but they make our lives whole.  ~Roger Caras

Advertisement