• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: @evanjanuli

Orang Ketiga

30 Wednesday Jan 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@evanjanuli, cerita cinta, cerpen, Evan Januli, fiksi

Prepared by Client:
Evan Januli (@evanjanuli)

Orang ketiga.

Dua kata yang paling aku benci sampai saat ini.

Dua kali hubunganku harus berhenti di tengah jalan karena orang ketiga yang tiba-tiba hadir. Mungkin memang tidak sepatutnya kita terlalu membenci sesuatu. Karena suatu saat, bisa saja kita malah berada di posisi tersebut.

Ya, itu aku. Baru saja kemarin menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Dan yang aku pelajari adalah, salah dan benar hanyalah sebuah skala pengukuran relativitas.

Hari ke sembilan belas bulan sembilan. Merupakan awal dari rentetan hari-hariku yang tidak tenang. Hampir setiap malam, dua orang kekasih yang juga sahabatku masing-masing mengadukan masalah percintaan mereka kepadaku. Setiap paginya, terpaksa aku harus membersihkan telingaku lebih lama akibat terlalu sering digunakan untuk menerima telepon mereka.

Jujur, aku gemas sekali. Mengapa mereka tidak bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Mengapa harus aku menjadi perantaranya? Mengapa? Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Hari ke Dua Belas, Bulan Dua Belas

13 Thursday Dec 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@evanjanuli, cerpen, cinta, Evan Januli, fiksi, undangan

Prepared by client:
Evan Januli (@evanjanuli)

“Bangun dek, bangun!”

Dengan susah payah aku mencoba membuka kedua mataku, namun seperti ada perekat yang kuat sehingga membuatnya tetap terpejam. Pelan-pelan aku berhasil menghilangkan gelap dari pandanganku dengan warna putih pucat, tepat di atasku. Langit-langit rumah. Tadinya aku berharap sudah berada di surga, tapi suara kakak laki-lakiku itu mematahkan segalanya.

Aku masih hidup.

Pikiranku berjalan kembali pada tiga puluh menit yang lalu. Sepulang kerja tadi, aku mendaratkan tubuh lelahku di sofa yang tertata rapi di dalam ruang tamu berukuran 4×4 meter ini. Dan di saat itulah aku melihat sebuah benda yang cukup unik di sampingku, tepat di sofa sampingku.

Sebuah surat dengan sampul berwarna emas dan pita terpasang di pojok kiri atasnya dan dua inisial di pjok kanan atas. Jantungku seakan berdetak dengan cepat. Aku tahu, firasatku mengatakan ada yang tak beres di sini. Perlahan kuambil surat itu. Nafasku sudah tercekat meski belum juga membuka dan membaca isinya. Sebuah label menempel bagian depannya, bertuliskan namaku. Ya, namaku. Aku tak salah melihat.

Dan inisial di sampul itu…

A&J

***

Tepat satu bulan yang lalu di depan ruang tunggu terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, James hanya memegang pundakku dan tersenyum.  Sepertinya ia tak pernah tersenyum seperti ini, sangat tampan. Apakah itu perasaanku saja? Ya, tapi aku tahu ada makna berbeda tersimpan di balik garis cekung yang membentuk di bibirnya itu.

“Ada yang ingin aku katakan, beib..”

Ada helaan nafas panjang sebelum pria yang hendak kembali ke kota asalnya itu melanjutkan perkataannya. Aku menunggunya dengan seksama. Ah pria ini, guratan di wajahnya semakin menegaskan ketampanannya. Tak dapat kupingkiri, ia telah membuatku jatuh cinta telak.

Kami masih berdiri berhadapan. Aku memegang ujung jaketnya, alih-alih merapikannya. Aku hanya masih ingin berdekatan dengannya. Tapi perkataannya yang kudengar kemudia sangat di luar dugaanku.

“Kita udah gak bisa sama-sama lagi.”

Darahku seakan mendidih di angka 100 derahat celcius. Kamu sedang bercanda kan James?

Tidak, aku tahu, sangat mengenali pria di depanku ini. Ia selalu serius dengan segala lisannya.

Tanpa membiarkan aku menanyakan maksud pernyataannya itu, ia melanjutkan dengan terbata-bata, “ Aku…sebenernya…udah punya..calon istri. Maaf banget yah tapi kita pasti tetep bisa jadi teman yang baik.”

Ia tersenyum kecil.

James yang baru saja aku kenal selama satu bulan di Jakarta ternyata baru saja memperkenalkan dirinya yang sebenarnya. James sedang ditempatkan di Jakarta untuk mengaudit sebuah perusahaan besar di Jakarta dan James sudah memiliki calon istri di kota asalnya.

“Tapi selama satu bulan ini aku sangat menikmati hubungan dekat kita jadi aku janji pasti bakal datang lagi ke Jakarta kok.”

“Iya, tapi kamu sebelumnya gak pernah bilang kamu sudah punya calon istri”

“Karena aku juga belum sempat mengatakan yang sejujurnya ke kamu. Aku juga sayang sama kamu tapi aku gak bisa meninggalkan calon istri aku.”

“Tapi semalam kamu bilang sama aku, kamu gak akan ninggalin aku, James!!”

“Aku janji pasti akan ke Jakarta lagi kok. Dan saat aku di Jakarta kita masih bisa bertemu, sayang..”

Setelah James menyelesaikan kalimatnya tersebut, James langsung memelukku dan tanpa kusadari mataku pun mulai basah. Ketika panggilan untuk naik ke pesawat terdengar, james baru melepaskan pelukannya.

“Last night was a great night though..” ucapnya.

Dia mencium keningku sebelum membalikkan badannya seraya menarik kopernya ke arah yang berbeda dengan arah kedatanganku tadi.

***

Sejak pertemuan terakhir dengan James sekitar sebulan yang lalu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar berita apapun dari James. Bahkan seluruh social media yang menyangkut James sudah terhapus.

Meski begitu, sosoknya tidak pernah lepas dari ingatanku. Dan ucapan terakhirnya di bandara masih bersemayam di pikiranku. Last night was a great night though..

***

Setelah suara kakakku yang terus berteriak, akhirnya aku dapat mengingat kejadian tiga menit yang lalu. Samar-samar aku melihat undangan pernikahan James tercecer di lantai tak jauh dari tempat pembaringanku.

Dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah kakakku yang menangis di depanku dan pisau yang penuh darah di samping kananku.

Juga testpack dengan dua strip.

Sebelum menemukan undangan di meja ruang tamu tadi, aku pulang dengan membawa kabar akan kehamilanku. Akibat dari peristiwa di malam terakhir sebelum James pergi.

Tiba-tiba, aku pun tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya suara jeritan kakakku yang kembali kudengar, untuk terakhir kalinya.

Hari ini, hari kedua belas di bulan dua belas. Di saat orang lain merayakan sesuatu yang baik di tanggal cantik, aku merayakan kematianku.

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Bulan Sebelas, Kala Hujan Deras

30 Tuesday Oct 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 4 Comments

Tags

@evanjanuli, cerita cinta, cerpen, Evan Januli

Prepared by Client: 
Evan Januli (@evanjanuli)

Pemuda tampan itu kupanggil Andre karena nama aslinya, Andreas, terlalu panjang jika kupanggil dengan bibir mungilku ini. Selebihnya karena pada saat pertama kali kami dikenalkan, dia bilang agar aku cukup memanggilnya dengan sebutan Andre.

Andreas Winarko, lelaki keturunan Tiong Hoa dengan mata yang tidak terlalu sipit dengan rambut yang terurus rapi, bahkan terkesan klimis. Tubuh yang atletis didukung dengan mata yang agak cekung ke dalam dan ternyata memiliki bola mata kecoklatan. Bulu halus di wajahnya terjaga dengan rapi di sekitar dagu dan lingkar mukanya yang semakin menimbulkan kesan maskulin. Penampilan yang bagiku cukup dapat meluluhkan hati semua wanita.

Berangkat dari pertemuan yang telah tersusun rapi dan berakhir dengan pertukaran kontak, alamat dan saling mengirimkan pesan singkat melalui perangkat kecil yang mengambil nama dari buah blackberry. Setelah itu, pertemuan-demi pertemuan berlanjut. Dimulai dari rutinitas menikmati pekatnya kopi hitam di sebuah kafe di daerah Senopati, hingga sekedar menonton film di bioskop.

Sekian banyak pertemuan tanpa rutinitas yang monoton, mulai dari kopi, film, hiburan, makanan, belanja hingga menikmati suasana alam, akhirnya mulailah fase yang disebut dengan kencan. Kencan yang semakin lama menjadi kencan yang tak kenal waktu maupun tempat. Semakin lama fase ini berjalan, semakin berwarna indah hidupku.

Seringkali Andre, yang memang lebih tua 4 tahun dariku, menjemputku di kantor dan mengajakku untuk makan malam sederhana lalu mengantarku pulang. Tak jarang pula Andre datang ke rumahku dan kita hanya melewati malam berdua hingga berpisah dengan selesainya sarapan.

Semakin banyak hal indah yang terbentuk dari kesamaan kami berdua hingga semakin tidak sanggup aku jika harus meninggalkan Andre, dengan alasan apapun.

Hari ke dua puluh sembilan di bulan sebelas, aku terdiam sendirian saat hujan turun dengan deras. Satu hal yang terus melintasi pikiran membawaku melihat ke belakang awal kisahku dengan Andre. Di pertengahan tahun kemarin.

Aku lahir dua puluh empat tahun yang lalu di Jakarta dan aku besar di lingkungan keluarga yang harmonis dan cukup ketat dalam aturan keseharian, juga dengan nilai kehidupan. Aku cukup bahagia di keluarga, setidaknya sampai sebelum aku mengenal Anita. Anita yang seumur denganku adalah sahabatku sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Anita. Iya, Anita adalah sahabatku yang paling dekat. Aku bisa membicarakan apa saja dengan Anita, bahkan sampai hal  yang paling pribadi sekalipun. Aku dan Anita sama-sama memiliki jiwa petualang dan berani mencoba hal baru. Kebanyakan sifat kami memiliki kesamaan, bahkan sampai selera dan kesukaan kami pun banyak yang sama. Tidak jarang, saking dekatnya kami, kami dikira bersaudara.

Di hari yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan hari yang lain, tetiba Anita membicarakan tentang sekumpulan temannya yang masih dianggap agak berbeda oleh kebanyakan masyarakat yang menganut paham timur. Anita membicarakan topik yang ternyata sangat menarik bagiku di kala itu. Membicarakan topik semenarik itu membuat sang waktu menyediakan tempat khusus hanya untuk kami berdua. Topik tentang Gay, Lesbian dan Bi-sexual.

“Gila juga yah, Nit, mereka sampe kaya gitu. Mereka sadar gak sih yah mereka sebenernya tuh salah jalan?”

Responku yang sangat spontan setelah Anita memberitahu tentang detail apa saja yang mereka lakukan. Jujur saja, aku cukup kaget mengetahui fakta seperti itu. Namun, entah mengapa di dalam diriku muncul keinginan yang cukup berani sekaligus mulia.

“Eh Nit, gue pengen deh kenal mereka lebih dalem, pengen bantu mereka buat balik ke jalan yang lurus lagi. Gimana menurut lo? Mau bantuin gue gak?”

“Kenapa lo jadi mikir kaya gini?”

“Iya lah, mereka mungkin belom ketemu orang yang bisa bikin mereka balik ke jalannya aja jadi gue pengen bantu mereka buat balik ke jalannya sih. Inget gak waktu si Lina yang rela beliin cowonya apa aja tuh padahal cowonya brengsek terus abis gue ngomongin ke dia kan dia gak gitu lagi karena dia baru sadar dia cuma dimainin doing. Ya sama aja Nit.”

“Beda lah. Ini menyangkut perilaku hidup. Lo yakin? Gak takut emangnya?”

“Gak lah, kok takut sih? Mereka kan juga manusia biasa dan mereka tuh bisa juga deket banget sama cewe kan. Sampai ada istilah women’s best friend. Lagian gue kan maksudnya baik, bantuin mereka jadi mereka bisa balik ke jalan yang bener.”

“Hmmm. Beneran?”

Didukung dengan keinginanku yang semakin bulat dan latar belakang keluarga yang selalu menekankan nilai-nilai baik sejak aku masih kecil, jadi aku memutuskan untuk melakukan apa yang aku katakan.

“Yakin seyakin-yakinnya dong! Lo mau bantuin gue gak nih? Ada kenalan lo yang punya link ke komunitas mereka gak? Ke yang gay aja kali yah jadi gue beneran bisa dalemin gitu, kan cowok gay biasanya lebih terbuka juga.”

“Capek gue nanya berulang-ulang sebenarnya. Sekali lagi gue tanya, yakin nih lo yah? Gak nyesel nantinya? Gue udah ingetin loh nih. Kenalan sih ada kok. Gampang lah itu kalo lo beneran mau dikenalin.”

“Iyaaaaa, minggu depan yah. Tapi kalo gue boleh tau sebenernya lo kenapa sih sampe segini semangatnya?”

“Gue tuh sebenernya gak suka aja ngeliat kaum gay sih, karena mereka tuh kaya hidup di dunianya sendiri dan mereka emang beneran banyak gak dianggep sama masyarakat kan.”

“Ya tapi kan itu hak mereka dan udah jadi pilihan mereka juga sih dan itu gak ganggu lo ya udah gak masalah dong.”

“Ya tapi tetep aja gue gak suka ngeliatnya! Gue pengen coba buat bikin mereka normal lagi. Lagian banyak banget cewek cantik plus seksi di Jakarta. Lah kenapa mereka malah mikir sesama jenis gitu? Kita aja gak mau sama sesama jenis kan nih!”

“Jadi lo yakin dengan niat ngubah mereka bakal bikin kehidupan yang lebih baik? Gue sih gak yakin, kan semua manusia berhak punya jalan hidup yang beda-beda juga.”

“Iya lah!! Jelas itu! Gue pribadi juga gak suka ngeliat cowok yang lemah lembut terus jalan sama sesama cowok gitu! Apaan tau tuh kaya gitu! Gue aja ogah pegangan tangan sama sesama jenis tapi gue bingung mereka mau.”

“Lo terlalu idealis deh ini, beneran deh! Gue tetep gak setuju banget sama jalan pikiran lo ini.”

“Gak dong Nit, ini justru bagus bagi gue sih. Gue gak suka banget sama sesuatu dan gue pengen ngubah sesuatu itu, toh juga jadi lebih baik kan.”

Percakapan aku dengan Anita selesai tidak lama setelah kalimat penegasan akhirku tersebut.

Di minggu depannya setelah aku dikenalkan dengan seorang pria yang ternyata adalah gay yang ‘top’, aku pun mulai menjalin pertemanan terlebih dahulu dengannya karena memang tujuanku adalah mencoba untuk mengubahnya agar tidak menjadi gay lagi. Top itu adalah gay yang merupakan pacar yang lebih ‘pria’ daripada pasangannya, sebaliknya pasangannya adalah bottom. Namun, ada lagi yang bisa menjalankan fungsi keduanya yang biasa disebut dengan ‘Versatile‘.

Semakin aku mengenal pria ini, aku bisa semakin dekat dengannya karena memang pada kenyataannya, dia ini merupakan pria yang asyik diajak ngobrol tentang apapun. Dia pintar dan mampu membawa diri, ditambah dari segi fisik, dia cukup tampan.

Semakin lama aku mengenalnya, aku pun tidak sadar bahwa aku mulai membawa emosiku ke dalam hubungan ini. Aku mulai nyaman dengannya dan ternyata dia berasal dari keluarga yang cukup terpandang di Jakarta. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang cukup baik sebagai seorang General Manager di sebuah perusahaan properti dengan skala nasional.

Aku mulai bisa bercerita dan mulai menghabiskan waktu dengannya. Aku semakin merasa nyaman jika dekat dengannya. Aku pun semakin bingung apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap pria ini.

Semakin kusadari bahwa sisi idealism yang dari awal terbentuk lebih kokoh daripada sebuah benteng sekalipun ternyata semakin lama hancur juga, bahkan sekarang idealism tersebut sudah hilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Pengikis idealism itu tidak lain adalah kata hatiku sendiri. Kata hati yang semakin hari semakin kencang berteriak.

Gundah? Iya.

Galau? Iya.

Bingung? Iya.

Malu? Iya.

Namun, otak manusia tidak dirancang untuk berpikir menghadapi hati manusia. Jadi apakah aku harus bertekuk lutut di hadapan hati ini?

Idealisme terbentuk di otak, sehingga ketika kata hati berbicara, idealisme pasti akan runtuh juga.

Dan di sini lah aku sekarang menatap ke jendela sambil ditemani sebatang rokok kretek menikmati hujan, memikirkan hal yang berputar di kepalaku didukung dengan akhir pembicaraan dengan Anita di ujung telepon.

Namaku Deni Putranda dan aku sedang bingung bagaimana aku mengenalkan Andreas Winarko di makan malam tahun baru nanti bersama keluargaku? Dan aku mengakui telah jatuh cinta pada Andre, pria gay yang semula ingin aku tuntun karena idealismeku tapi aku malah jatuh cinta kepadanya. Dan sekarang aku hanya mampu terdiam menerima cacian sahabatku Anita di ujung telepon.

“I’ve told you deh, makanya jangan sok idealist! Akhirnya lo kemakan sama idealism gak mendasar lo itu kan. Kena batunya deh lo. Udah lo tenangin diri dulu aja, besok kita ketemuan deh ngomongin ini lagi.”

–THE END–

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: