Prepared by: GP
Reviewed by: MH
Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata
Baru saja gue pulang dari bersepeda. Hobi yang menjadi kegiatan rutin di akhir pekan. Ketika sedang meletakkan sepeda di halaman belakang rumah, Bellagio hitam gue berdenting pelan. Pertanda ada SMS masuk.
“Ah. Paling provider lagi bagi-bagi SMS gratis,” pikir gue sambil melenggang santai ke arah ruang tengah.
Gue melempar kupluk ke sofa. Kemudian membuka kaos yang penuh keringat dan membuangnya ke lantai. Ketika sedang asik mengunyah roti bakar yang sudah tersedia, Bellagio hitam gue berdenting sekali lagi.
Pandangan gue alihkan ke LED merah yang berkedip berulang kali. Dengan malas, gue menyentuh icon SMS di layar dua setengah inchinya.
“SELAMAT! Anda memenangkan sebuah sepeda motor…”
Icon delete langsung gue pencet paksa bahkan sebelum selesai membaca seluruh isi SMS. Pagi-pagi udah ada yang nipu aja. Dikiranya gue bego, apa?
Gue men-scroll kursor dan mendapati satu SMS lagi di bawahnya. Sebuah SMS superpanjang di bawah nama mantan orang terdekat gue dua bulan lalu. Ayudya Valencia. Atau biasa dipanggil dengan Ayu.
Mata gue membesar. Detak jantung gue meningkat dua kali lipat dari kecepatan normal. Ada apa ya? Kenapa dia tiba-tiba menghubungi gue? Toh selama dua bulan ini kami sudah tak ada kontak sama sekali.
Hai Ton, apa kabar?
Demikian kalimat pembuka SMS-nya yang semakin membuat jantung berdebar. Sambil menahan napas, gue melanjutkan membaca.
Aku tahu kamu pasti lagi main sepeda sekarang. Pake kupluk merah, celana pendek, sambil menggigit handphone lantaran celana kamu gak ada sakunya.
“FAK! Ini dia kenapa sih? Lagi kangen kali ya sama gue?” Gue memaki dalam hati. Karena hingga kalimat ini, gue masih belum mengerti apa maksudnya menghubungi gue lagi.
Kalau kamu nanti sudah selesai sepedaan, kamu buka link ini ya. Ini link blog baru-ku yang harus kamu baca. Soalnya tulisan ini buat kamu. Thank you. Last but not least, happy blessed birthday. :)
Kening gue berkerut dalam. Sekarang tanggal berapa sih? Gue bahkan tidak ingat kalau hari ini gue berulang tahun.
Dengan otak yang masih setengah linglung, link yang ia berikan langsung gue klik tanpa pikir panjang. Beberapa detik kemudian gue pun mendarat di sebuah blog berwarna pink cantik yang sangat girly.
Yang (Pernah) Terkasih.
Demikian judul postingannya yang hanya membuat gue menahan napas sekali lagi. Tidak terbayang sebelumnya bahwa gue akan menahan napas lebih lama lagi ketika selesai membaca tulisannya ini.
Akhirnya selesai sudah hubungan kita. Selesai setelah sekian lama hanya hambar terasa.
Saat kamu membaca tulisan ini, kemungkinan besar aku sudah melupakan kamu. Bahkan mungkin telah memiliki penggantimu.
Namun yang perlu kamu tahu adalah tentang aku yang sangat kecewa. Kecewa karena ternyata hanya sampai di sini saja hubungan kita. Kamu melepaskan aku semudah melempar topi kupluk ke atas sofa.
Ketika aku mengirimkan sebuah SMS yang meminta untuk putus hubungan, kamu langsung mengiyakan. Tanpa repot-repot menelepon atau ingin bertemu untuk membahas permasalahan. Hanya dengan cara membalas SMS-ku mengiyakan?
Ah, sudahlah. Toh aku tak menyesal memutuskanmu.
Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang jarang-jarang memberi kabar? Mana mungkin aku menyesal telah memutuskan lelaki yang nyaris tak pernah memperhatikan? Boro-boro memperhatikan. Ingat saja tidak.
Dan maafkan kalau selama ini aku membuatmu repot.
Maaf jika aku sering minta jemput ke sana kemari, merengek minta ditemani, atau memohon dibawakan makanan pada malam hari.
Maaf.
Mungkin kamu perlu tahu bahwa itu kulakukan karena aku memang sangat mengandalkanmu. Terlalu mengandalkanmu. Karena siapa lagi yang bisa kuandalkan selain kamu, ya kan? Kamu tahu aku tinggal sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini.
Tapi aku mengerti. Mungkin kamu sudah terlalu lelah menghadapi kemanjaanku. Atau sudah tidak tahan menghadapi segala keinginanku.
Harapanku, kamu bisa menjadi lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang menghadapi semua masalah yang hinggap. Bukan malah menyeribukan langkah dan menguatkan derap. Lelaki yang merealisasikan janji, bukan hanya berakhir sekadar mimpi. Lelaki yang bisa menghargai perasaan, bukan hanya acuh melihat pengorbanan.
Sakit, tahu. Sakit. Mendapati kamu yang menghilang berhari-hari. Kemudian muncul begitu saja seolah tak ada yang menyakiti diri.
Butuh waktu berpikir, katamu?
Ah, terserah sajalah. Aku juga sudah lelah.
Sudah cukup aku menelan kekecewaan bulat-bulat. Semua sudah lumat. Sekarang aku hanya ingin semuanya lewat.
Sederhana saja, mungkin kita memang tidak berjodoh.
Atau mungkin, memang aku yang terlalu bodoh.
-AV-
Gue tertegun ketika sampai pada titik terakhir postingan itu. Walaupun dia berusaha menutupi dengan apik, ada kemarahan dan kekesalan yang benar-benar terasa di setiap kalimat yang ditorehkan oleh mantan orang tersayang gue ini.
“Emangnya gue dulu begitu ya?” Pertanyaan tersebut terlontar dari hati kecil gue. Dan sebagai balasannya gue memperoleh hardikan “iyalah, Cumi! Pake nanya pula.”
Gue mengacak rambut keras-keras. Frustasi. Entah kenapa gue baru menyadari bahwa tulisan Ayudya itu semuanya benar. Gue memang lelaki yang gak bertanggung jawab. Sering menghindar dari masalah. Kabur begitu saja dan muncul seenak jidat.
ARGGGHHH! BEGO BANGET SIH GUE!
Demikian status Twitter yang gue update tiga puluh detik yang lalu. Status yang langsung mengundang keingintahuan para sahabat satu lingkaran.
@roysaputra: lo kenapa, Nyet?
@riandidendi: lah, baru nyadar lo bego? Ke mane aje?
@gadunganromeo: dari lahir elu emang udah bego, Cong.
Username mereka bertiga gue letakkan pada satu twit baru. Lalu gue ketikkan:
BERISIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIK………………..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Dengan titik dan tanda seru yang masing-masing berjumlah dua puluh.
Dasar kampret nih para bocah. Mereka gak tahu sih gue lagi galau. Mereka gak tahu gue lagi menyesal setengah mati, lantaran kemarin dulu segampang itu melepas Ayu.
Have you ever felt so guilty and stupid at the same time?
I have. I feel it now. I really feel it now.
Mata gue hanya terpaku ke profil Ayu di Twitter. Menyusuri kegiatannya beberapa minggu terakhir. Sampai akhirnya layar web browser gue pindahkan ke aplikasi SMS. Dengan sangat ragu gue mengetikkan pesan untuknya.
“Hai. Kamu lagi apa?”
Pesan yang gue sesali tiga detik setelah memencet tombol kirim. Astaga. Gak ada pertanyaan yang lebih bego lagi, apa?
Tiga batang rokok sudah gue habiskan ketika akhirnya dentingan pelan itu terdengar. Hey world, she replied my text!
Ya walaupun hanya singkat saja dengan tiga kata. “Lagi nonton TV.”
Gue berpikir keras. Memikirkan hal yang bisa menarik perhatiannya.
“Kamu nonton TV di kost kan? Mau nganterin voucher restoran suki favorit kamu nih.”
Nyaris satu dekade rasanya ketika sepuluh menit kemudian ia membalas pesan gue. “Di kost. Kamu ke sini aja.”
Yeay! Ingin rasanya gue melakukan lari-lari bahagia ala striker yang baru saja memasukkan bola ke gawang. Tapi gue tahan. Toh ini baru langkah awal.
“Aku ke sana sekarang.”
Gue sedang mengambil kunci mobil ketika muncul “okay” dari Ayu.
“Aku otw ya.” Gue menyempatkan diri memberi kabar sebelum menginjak pelan pedal gas.
Tiga menit kemudian, muncul balasan darinya.
“Tapi aku mau ke supermarket sebentar sih. Kalau aku gak ada, nanti vouchernya titip ke si mbak aja.”
Sumpah. Saat ini gue mengerti perasaan kiper yang kebobolan di menit-menit akhir padahal timnya sudah memimpin. Sudah merasa di atas angin namun jatuh membentur bumi tanpa ampun. Sakit, Man. Sakit.
***
Beskap ini membuat gue susah bergerak. Namun apa daya, Tania memaksa gue menjadi salah satu pagar bagusnya. Karena ini pengalaman pertama menjadi panitia pernikahan, gue jadi agak gugup. Oh, atau mungkin gue gugup karena Ayu seharusnya muncul sebentar lagi.
Band pernikahan sedang menyanyikan Everlasting Love-nya Jamie Cullum ketika sesosok tinggi langsing itu muncul. Ia menggunakan gaun merah berbelahan dada rendah hari ini. Rambutnya digelung ke samping, menonjolkan keindahannya leher dan bahunya. Wajahnya tampak lebih bersinar dibanding terakhir gue mengingatnya.
Kampret. Dia semakin cantik saja.
“Kamu sendirian aja?” Demikian suara halus itu menyapa telinga gue.
“Berdua kok, sama kamu,” kata gue sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Gak lucu kalau dia sampai melihat tangan gue yang agak gemetar lantaran bertemu dengannya.
Ia hanya tersenyum kecil. Lalu segera menggamit lengan Viona sahabatnya. Beranjak pergi meninggalkan gue. “Makan dulu ya,” pamitnya singkat.
Gue memandangi punggungnya. Menimbang-nimbang apa yang harus gue lakukan agar ia mau diajak berkencan sore ini. Tapi gue ragu. Atau lebih tepatnya, gue gengsi. Mau ditaruh di mana muka gue kalau ia menolak diajak pergi?
Namun entah setan dari mana yang membuat gue nekat.
“Ayu!”
Setengah berteriak gue memanggil namanya. Wanita bergaun merah itu memutar tubuhnya dalam gerakan lambat. Kepalanya menoleh senada dengan anggunnya.
“Ya?” Dia bertanya bingung.
Langkah kaki gue percepat menuju tempatnya. Setengah tersengal gue berbisik, “Temenin aku nonton 5cm yuk sore ini.”
Senyum Ayu yang sangat familiar melengkung indah. Namun sayangnya, jawabannya tidak seindah senyumnya.
“Aku gak bisa Ton. Maaf ya.”
“Kenapa? Kamu udah ada acara?”
Ayu menghela napas panjang, “Ya. Kurang lebih.”
“Aku makan dulu ya, Ton,” sambungnya lagi.
Déjà vu rasanya ketika ia meluncurkan kalimat pamit hendak makan. Sama seperti déjà vu ketika gue melihat punggung bergaun merahnya melenggang pergi.
Langkah kakinya gue amati. Ia berjumpa dengan sekawanan teman lama, cipika cipiki sana sini. Mengambil air putih dan meneguknya hingga tandas, lalu mendekati stand pasta. Tak lama kemudian ia asik memelintir spagheti sebelum akhirnya disuapkan ke mulut.
Eh, sebentar.
Disuapkan ke mulut lelaki?
Gue gak salah lihat kan?
Siapa dia? Kenapa dia menerima perlakuan semesra itu?
HHHHHHHHHH.
Gue menghela napas panjang. Helaan napas terpanjang yang pernah gue lakukan seumur hidup. Dada gue sesak seperti kekurangan oksigen. Seperti ada yang dicabut paksa di sana. Terkuak sudah penyebab Ayu menghindari gue. Ada dia yang lain di hatinya sekarang.
Mungkin Ayu benar.
Ia seperti kupluk yang dengan mudahnya gue lempar ke sofa. Namun sayangnya, gue nggak semudah itu bisa mendapatkannya kembali seperti gue memungut kupluk. Ada lelaki lain yang lebih cerdas, yang menyadari bahwa ia terlalu berharga untuk disia-siakan.
Penyesalan selalu datang terlambat. Seiring dengan kehilangan kamu yang terlalu cepat.
Succesfully posted your tweet!
-THE END-
Like this:
Like Loading...