Tags

, , , ,

Prepared by Client:
Julianti Chiasidy (@sanny_nielo)

Sore itu, senja turun perlahan membungkus bumi. Dari jendela tempat aku duduk, aku menikmati semburat oranye yang menyilaukan dan nyanyian dengkuran halus di sisi kananku. Aku menoleh perlahan, di sanalah kudapati sosoknya sedang tertidur. Dengkuran halusnya, bukti betapa lelah harinya. Dan aku hanya bisa menarik nafas panjang. Kembali aku menikmati semburat oranye yang merambat masuk lewat celah-celah jendela, berpadu dengan dengkurannya.

Aku mengingat percakapan kami.

“Jangan terlalu menyiksa diri, kamu nggak perlu ambil semua tanggung jawab itu..”

Dia tersenyum. “Ini satu-satunya cara, supaya aku bisa mengalihkan pikiranku..”

“Mengalihkan dari apa? Dari Giana?”

“Dari Giana dan dari Papa, San..”

“Ada cara lain, El, nggak harus kaya gini..”

Dia, si Ello tersenyum. “Ini yang terbaik. Oke, nanti sore ya, di ruang rapat..” Ello berlalu dengan map tebalnya.

Aku menarik nafas panjang lagi, dan menatap wajah Ello yang masih tidur. Lelaki gigih, dengan berjuta mimpi dan keyakinan. Pribadinya yang supel, membuat dia memiliki banyak teman. Dan sisi charming-nya membuat banyak gadis jatuh cinta. Dari sekian gadis yang menyukainya, hatinya tertambat pada Giani Lupita. Gadis yang justru tidak menyukainya.  Sesuai dengan kegigihannya, Ello mengejar Giani hingga keujung dunia. Ya, Ello berangkat ke Perth dua bulan lalu, hanya untuk mengejar Giani. Sayangnya, Ello kembali sia-sia, dengan wajah suntuk dan penampilan lusuh. Hatinya telah tertolak.

Aku sama sekali tidak habis pikir. Bagaimana bisa Giani menolak laki-laki yang sampai menyusul dia ke Perth, hanya untuk menunjukkan kesungguhan hatinya dan perasaannya. Sampai hari ini, Ello sama sekali nggak mau cerita. Perihal dia tidak berhasil membawa Giani pulang. Tapi, aku sering mendapati Ello menatap foto Giani di Blackberry-nya, dan sesekali tersenyum nanar.

Suara Ello yang akhirnya terbangun dari tidur memecahkan lamunanku.

“San, jam berapa?”

“Setengah enam, El..”

Ello mengangkat badannya, dan merenggangkan punggungnya. “Ayo balik..”

“Kumpulin nyawa dulu..”

Ello tersenyum sambil mengucek matanya. “Pegel, San.. Capek juga ya..”

Aku mendengus. “Percuma, kamu nggak pernah dengerin kata-kataku..”

Ello menoleh ke arahku, memajukan wajahnya, sangat dekat. “Aku dengerin kok, kadang-kadang..” Kemudian dia tersenyum menggoda.

“Kamu selalu gitu, nggak takut kalo aku jatuh cinta sama kamu..”

“Kalo kamu jatuh cinta, ya nggak papa, masalahnya kan, aku mau nangkap cinta kamu yang jatuh apa nggak..”

“Eksplisit ya, bilang aja kamu nolak aku..”

“Siapa bilang..” Ello bangkit berdiri, menyilangkan tas slempangnya. “Ayo pulang..”

Aku tersenyum, ikut berdiri dan memanggul ranselku.

Ello berjalan di depanku, dan aku mengikutinya. Menyusuri lorong ruang rapat beragam Himpunan Mahasiswa yang sepi, masih dengan semburat oranye yang perlahan menghilang.

“El, percaya sama aku. Suatu hari, luka hati kamu karena Giani pasti sembuh.. dan kamu, kamu sama sekali nggak akan kaya Papa kamu.. Jangan sedih terus, El..”

Ello menoleh ke belakang, dan tersenyum. “Kamu juga bisa nemuin yang lebih baik dari aku..”

Aku tertunduk, nggak nyangka Ello bakal ngomong kaya gitu. Meski nggak ada maksud apa-apa, tapi kata-kata Ello itu cukup menyakitkan.

Ello mengulurkan tangan kanannya ke belakang, dan menggandeng tangan kiriku. “Jangan berdiri di tempat yang aku nggak bisa lihat..”

Dan selanjutnya kami memilih untuk diam.

***

NIELO. Sanny + Ello.

Aku menutup organizer bersampul beludru merah, dengan jahitan NIELO di atasnya. Desta, sahabatku, bilang, diary beludru itu adalah diary of Nielo. Ya, sebuah diary berisi cinta bertepuk sebelah tangan antara aku dan Ello.

Kami bertemu semester 4 dan aku jatuh cinta beberapa bulan berikutnya. Ello adalah sosok sahabat yang baik. Dia selalu berusaha ada, sekalipun dengan beragam kesibukan yang memang sudah dia tekuni sejak sebelum dia patah hati. He’s my guardian angel.

Seperti beragam kebetulan yang ada di bumi ini, aku juga nggak pernah tahu, bagaimana bisa aku dekat sama Ello. Sampai seperti saat ini. Layaknya sebuah persahabatan, banyak hal yang kami ceritakan. Kami saling berbagi bersama. Dan hari demi hari, kami semakin dekat. Begitupun dengan perasaanku yang semakin menguat.

Satu hal yang menarik dari kami, aku dan Ello adalah dua pribadi yang saling menjaga satu sama lain. Tapi kami sama-sama tidak dapat mengungkapkannya. Kami nyaman untuk selalu bersama, meski kami sadar, ada satu pembatas besar yang tidak akan pernah bisa kami lewati.

“Kalo aku bisa menemukan orang lain yang lebih baik daripada kamu, aku akan lakukan. Kenyataannya hingga saat ini, kamu adalah yang terbaik yang bisa aku miliki namun tidak aku miliki. Bagaimana caranya aku bisa mencari yang lain?”

“Kamu tahu sendiri, ketika kita bersama, akan ada banyak sekali luka. Kita sudah dewasa, San.. Kita nggak bisa berhenti seenaknya.”

“Apa kita memang nggak bisa melawan?”

“Apa kamu mau melawan?”

Aku terdiam, menggenggam telapak tanganku kuat-kuat. “Kita memang tidak pernah bisa melawannya.”

Ello menggenggam tanganku. “Mungkin kita memang hanya bisa sebatas ini, San. Tapi, aku benar-benar nyaman. Dan aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau ada hal yang bisa kita lawan, pasti akan kita lawan.”

Aku mengangguk sambil menahan air mataku, ini selalu jadi topik yang menyakitkan.

“Jangan menangis karena kita tidak bisa saling memiliki, tetapi bersyukurlah, karena Tuhan mu dan Tuhan ku, masih mengijinkan kita bertemu dan berbagi rasa. Masih mengijinkan aku untuk tetap menggenggam tanganmu seperti saat ini.”

Aku mengangguk lagi. “Dengarkan aku, Ello.. Jika kita bertemu lima tahun lagi, dan segalanya belum berubah, ayo kita bersama. Aku janji, saat itu, aku akan jauh lebih kuat. Aku akan melawan segalanya  dan aku pasti bisa mendampingimu.”

Ello menatapku bingung, namun akhirnya dia memutuskan untuk mengangguk dan tersenyum.

“Aku boleh memelukmu?”

Ello merentangkan kedua tangannya dan aku langsung memeluknya. Aku tumpahkan beragam duka dan luka yang selama ini ku simpan, akan ku kenang hari ini sebagai satu hari terbaik dalam hidupku.

“Apa kamu menyayangiku?”

“Iya aku menyayangimu..” Ello mengusap punggungku yang bergetar dengan tangis pilu.

***

Ello memang tidak pernah mengingkari janjinya, aku pun tidak, kita tetap berkirim kabar, sampai sebuah email membawaku kemari. Aku duduk tenang di kursi deretan depan, dengan dress tertutup dan high heels 12 cm, dan riasan sederhana, sesekali aku melempar senyum, menyembunyikan luka menganga yang sekali lagi tertoreh dalam.

Wedding Bell berdering, dan Ello menggandeng Giani memasuki pintu gereja dan melangkah dengan pasti menuju altar.

Inilah alasan akhirnya Ello mendapatkan Giana.

“Apa alasanmu menolakku, G?”

“Karena kamu selalu bersama gadis itu, gadis yang tidak aku sukai..”

“Sanny maksud kamu?”

Giani mengangguk. “Ada pilihan yang harus kamu buat, aku atau dia..”

Dear Giani, kamu tidak perlu meminta Ello membuat pilihannya. Takdir kami telah memilih dengan baik, terlebih Tuhan kami.

 –The End–

Advertisement