• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: @dendiriandi

Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan

21 Thursday Feb 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@dendiriandi, cerpen, cinta, Dendi Riandi

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

Kulangkahkan kaki menyebrangi jalan raya, setelah memastikan tidak ada kendaraan yang lewat dari sebelah kiriku. Gerimis kecil yang terjatuh dari langit membuatku mempercepat langkah, berlari-lari kecil sambil menutupi atas kepala dengan kedua tangan. Tujuanku menuju kedai kopi yang terletak dekat tikungan, tepat di ujung jalan ini.

Dengan perlahan ku jejakkan kaki ke dalam kedai kop. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tempat ini masih sama seperti dua tahun lalu. Kursi-kursi dengan bentuk klasik namun beralaskan bantal empuk berjajar empat-empat, berbaris rapih mengelilingi meja berbentuk bongkahan kayu besar setinggi pinggang. Ada 20 meja di dalam kedai kopi ini. Beberapa lukisan dengan bergambar para petani kopi dengan bermacam bentuk menghiasi dindingnya. Sebuah meja barista, tempat kita memesan minuman berada di bagian belakang ruangan ini. Di belakang meja barista terdapat empat buah coffee maker.

Mataku kembali menyisir seluruh ruangan, mencari-cari seseorang yang baru saja masuk ke kedai kopi ini tadi. Seorang wanita ber-cardigan ungu dengan celana jeans hitam. Dia, wanita yang sudah berhari-hari ini sedang kucari. Malam ini aku menemukannya di sini, di dalam kedai kopi ini. Kedai kopi tempat pertama kali kami berjumpa.

Pandanganku berhenti tepat di pojok sebelah kiri dari ruangan. Di meja paling belakang, wanita itu sedang duduk. Di meja itu, dua tahun lalu, pertama kalinya aku menyentuh tangannya dan saling berkenalan. Dia duduk berdua, sepertinya dengan seorang pria. Kufokuskan mataku ke arah pria itu. Rambut belah pinggir dengan sisiran klimis, kemeja rapih, celana bahan dan sepatu pantopel. Sial, sepertinya aku kenal dengan pria itu. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Atas Nama Emansipasi Wanita

28 Friday Sep 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 3 Comments

Tags

@dendiriandi, atas nama emansipasi wanita, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Dendi Riandi, emansipasi wanita

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

“Riani. Riani. Riani.” Sebuah tangan menepuk-nepuk punggung tanganku secara perlahan.

“Eh, iya? Kenapa, Gas?” suara Bagas membuyarkan lamunanku dan menarikku kembali ke alam nyata. Ini semua gara-gara Sinta. Perkataan Sinta tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Membuat pikiranku melayang kemana-mana mengenai apakah aku harus mengikuti sarannya atau tidak.

“Kamu kenapa sih malam ini, Ri? Dari tadi kok kayak lagi nggak di tempat pikirannya?”

”Ah, enggak.” Aku langsung meminum segelas Hot Chocholate yang ada di atas meja untuk mengalihkan kegugupanku. Saat ini aku dan Bagas sedang berada di sebuah kedai kopi tempat biasa kami menghabiskan waktu sehabis pulang kantor. Namun karena minum terburu-buru, Hot Chocholate itu sedikit tumpah dari mulutku. Tumpahannya membasahi blazer-ku.

”Tuh, kan, kalau minum tapi pikirannya nggak di sini, ya begini jadinya. Ada yang lagi dipikirin ya?” Bagas bertanya sekali lagi sambil mengelap blazer-ku dengan tisu. Pria ini memang sangat perhatian sekali. Ini yang menjadi alasanku nyaman bersamanya.

”Nggak apa-apa kok, Gas. Benar. ”

“Kalau kamu lagi banyak pikiran, mending cerita deh. Aku Siap ngedengerin kok. Biasanya juga begitu, kan? Kamu cerita soal masalah kamu, soal keluarga kamu, soal urusan kantor, dan aku akan jadi teman yang selalu siap mendengarkan dan memberi masukan.”

Teman. Setiap kali aku mendengar kata itu, ada perih yang mengiris pelan-pelan hatiku. Mencoba memaksakan senyum palsu kepadanya. Damn you, Sinta. Kali ini elo benar. Mungkin aku memang harus mengikuti sarannya. Percakapan tadi siang pun kembali berputar di kepalaku.

***

”Eh, nek, lo udah sedekat apa sih dengan si Bagas ini? Jangan-jangan lo udah jadian ya?” Sinta, sahabatku bertanya di sela-sela makan siang kami di kafetaria kantor.

“HUSSH!! Ngomongnya pelan sedikit kenapa? Kan nggak enak kalau ada yang mendengar.” kucubit lengan Sinta karena kesal dia sudah menggodaku.

”Jadi bener nih, lo udah jadian?” Sinta mengonfirmasi sekali lagi.

Aku cuma menggelengkan kepala.

”Lho, tiga bulan kalian dekat, sering pulang bareng, ngopi-ngopi bareng, bahkan terakhir kali lo cerita kalau dia nganterin lo belanja sepatu dan tas, tapi dia belum juga nembak lo?”

”Ya gitu deh.”

”Hmm.. jadi selama ini lo digantungin, gitu?”

”Ya nggak gitu juga sih, Sin. Mungkin Bagas belum nemu waktu yang pas aja. Mungkin dia pengen kenal gue lebih dekat lagi.”

”Susah deh ngomong sama orang yang lagi falling in love. Memang Bagas orangnya kayak gimana sih, nek? Selain ganteng dan lucu, tentunya ya.”

”Ya, dia sangat hangat dan perhatian. Teman curhat yang baik dan enak. Kayaknya tahu banget soal isi hati dan cara handle perempuan, bahkan saat-saat emosi gue lagi nggak stabil gara-gara PMS. Mantan-mantan pacar gue dulu, nggak ada yang sangat perhatian dan sepengertian itu. Bahkan kalau ngantar gue belanja juga, dia nggak pernah nunjukin muka bete. Kalau dimintain pendapat soal mana baju atau sepatu yang lebih bagus, dia selalu tau pilihan terbaik. Pokoknya, bagi gue dia cowok yang sempurna banget deh.”

”Sempurna tapi kalau cuma jadi teman ya percuma, non. Terus, lo mau digantungin sampai kapan? Cucian basah kalau digantung sih bagus, bakal kering. Lah kalau hubungan digantung, ya bakal pahit jadinya.“

”kok lo ngomongnya gitu sih, Sin? Harusnya sebagai sahabat lo mendukung gue, bukan malah ngejatuhin kayak begini?“

”Justru karena gue sahabat lo, gue nggak mau lo terluka.“

”Terus, gue harus gimana, Sin?“

“Ya mungkin lo yang harus gerak duluan!”

“Tapi kan gue cewek, Sin. Masa cewek yang gerak duluan sih?”

“Kita nih perempuan, pengennya apa-apa yang enak harus Ladies First, tapi soal gerak duluan masih aja malu. Ri, dengerin ya, arwah Ibu Kita Kartini pasti nggak akan pernah tenang kalau lo masih teriak-teriak emansipasi tapi soal gerak duluan masih ngarep cowok yang bakal ngelakuin!”

Aku hanya bisa terdiam oleh perkataan Sinta.

***

Siang pun telah berganti malam. Di hadapanku sekarang bukanlah Sinta, tapi Bagas. Tapi perkataanya masih saja menghantuiku.

“Eh, maaf ya Ri. Aku jawab email dari kantor dulu. Dari si bos soal permintaan client kita yang kemarin.” Ucap Bagas lalu menatap serius layar smartphone-nya sambil sesekali jarinya menari mengetikkan beberapa kalimat di atas layar touchscreen gadget tersebut.

Bagas Candra Wijaya, anak baru special hiring yang ‘dibajak’ dari kantor pesaing. Usia awal tiga puluhan. Mempunyai wajah yang terbilang cukup tampan, berperawakan tinggi dengan badan yang cukup atletis karena sering fitness. Sorot matanya cukup tajam dan yang terutama lesung pipitnya ketika dia tersenyum bisa membuat luluh wanita manapun yang melihatnya. Dari semua hal tersebut, hal terpentingnya adalah dia masih single alias belum punya pacar. Aku bisa memastikan, hampir semua wanita di kantor ini jatuh cinta padanya. Tidak terkecuali aku, tentunya.

Semenjak kepindahannya, suasana di kantor juga menjadi berubah. Sikap dan pembawaannya yang sangat fleksibel dan tidak terkesan kaku – hasil dari budaya di kantor sebelumnya yaitu sebuah perusahaan swasta asing – sangat membawa pengaruh positif kepada kantorku, khususnya unit kerjaku yang sangat kaku. Yah maklum  hasil warisan budaya karyawan yang sudah cukup sepuh.

Balik lagi ke soal Bagas, dengan semua kelebihannya, usia masih muda namun sudah memegang jabatan marketing manager di kantorku, membuatku semakin tergila-gila kepadanya.

Oh iya, kenalkan namaku Riani. Wanita karir yang usia-nya tiga tahun lagi menginjak kepala tiga. Wajahku tidak terlalu cantik, namun teman-temanku bilang cukup manis, tipe cewek yang cantiknya tidak membosankan. Tinggi badan rata-rata, kulit berwarna coklat, tidak putih seperti para model iklan pemutih kulit di televisi itu. Aku cenderung pendiam, tidak akan memulai pembicaraan jika tidak ditanya terlebih dahulu.

Dengan semua hal-hal tersebut, sebenarnya membuatku minder karena harus bersaing dengan wanita-wanita yang di-cap cantik di kantorku untuk memperebutkan Bagas. Bahkan untuk berbicara urusan di luar pekerjaan dengan dirinya saja aku tak pernah berani. Tapi semuanya berubah setelah kejadian di suatu malam ketika pertama kalinya aku bisa berbicara Bagas.

***

“Lagi nunggu taksi ya?” terdengar suara dari dalam mobil bersamaan dengan diturunkan kaca jendela depan. Mobil ini tiba-tiba saja berhenti tepat di depanku yang sedari tadi sedang menunggu taksi. Dari dalam mobil sedan berwarna hitam metalik itu kini terlihat jelaslah siapa yang berbicara

“Eh, Bagas. Kirain siapa? Iya, nih lagi nunggu taksi. Tapi, dari tadi satupun tidak terlihat.”

”Bareng sama aku aja yuk!”

”Nggak usah, Gas. Nanti ngerepotin”

“Enggak, nggak sama sekali. Memangnya pulangnya ke arah mana?” tanyanya lagi.

“Oh, dekat kok. Kost-an ku di daerah Setia Budi. Aku nunggu taksi saja” ucapku.

Ah, bodoh! Bodoh! Bodoh! Inilah kelemahan wanita nomor satu, gengsinya terlalu tinggi. Seorang pria tampan yang aku kagumi meminta untuk mengantarku pulang, tapi aku malah menolaknya.

“Wah kebetulan banget, itu searah dengan apartemenku. Apartemenku di daerah Bunderan HI situ. Ayolah, naik mobilku saja. Dijamin, nggak akan diculik kok.” Ucap Bagas sambil tersenyum. Senyum yang sangat manis dan sangat menggoda.

“Tapi bener ya, aku nggak diculik dan langsung diantar pulang dengan selamat?” balasku sambil tersenyum juga.

“Swear!!!” sebuah huruf huruf V dibentuk dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Lalu aku pun masuk ke dalam mobilnya. Kelemahan wanita nomor dua adalah mudah luluh oleh bujuk rayu dan senyum manis seorang cowok tampan.

Kejadian antar pulang sehabis kami lembur pada malam itu, mungkin menjadi awal aku jatuh cinta kepada Bagas. Maksudku, benar-benar jatuh cinta. Sebelumnya, aku hanya nge-fans saja. Maklum, Bagas adalah favorit cewek-cewek di kantorku.

Setelah malam itu, hampir setiap habis lembur di kantor aku selalu diantar pulang oleh Bagas. Tentu saja hal ini membuat iri sebagian besar wanita-wanita di kantor. Aku merasa diriku jadi bahan gosip utama oleh mereka. Namun di dalam hatiku, aku tersenyum bahagia karena bisa dekat dengan Bagas. Bahagia karena akulah wanita yang dipilih untuk diantar pulang bersama Bagas.

Tiga bulan telah berlalu semenjak malam itu. Entah sudah berpuluh-puluh kali aku duduk di kursi sebelah kiri mobilnya dalam perjalanan pulang menuju kost-an-ku. Memperhatikan dia bercerita tentang segala hal, dari masalah kerjaan hingga mengomentari juri reality show acara masak yang sok galak itu. Di malam-malam yang lain, giliran aku yang bercerita keluh kesahku. Tentang keluargaku, tentang adik-adikku yang masih bersekolah dan hal-hal lainya.

***

”Sori ya, obrolan kita keganggu kerjaan kantor. Sampai mana tadi obrolan kita?” untuk kesekian kalinya suara Bagas menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya Bagas telah selesai dengan urusan email kantor tadi. Smartphone-nya ditaruh kembali ke dalam kantung kemeja. Matanya kembali menatapku dalam-dalam. Sorot mata yang membuatku tak kuat menatap balik karena wajahku pasti akan bersemu merah.

Di sinilah kami duduk sekarang. Di sebuah kedai kopi favorit kami, tempat kami menghabiskan waktu sepulang kantor hingga larut malam. Biasanya untuk melanjutkan obrolan kami yang tidak selesai di dalam mobil.

“Oh iya, aku ingat. Soal kamu yang sepertinya sedang ada pikiran, dan aku sebagai teman kamu siap mendengarkan.” Bagas tersenyum kepadaku.

”Teman?” Sebuah pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.  Sekali lagi kata-kata Sinta pun melintas dalam otakku

”Iya, sebagai teman.” Jawab Bagas dengan nada sedikit bingung.

”Gas,…..”

”Iya, kenapa Ri?”

”Aku mau tanya sesuatu. Tapi janji ya jangan marah?” Aku menarik napas sebentar, “menurut kamu, aku ini kamu anggap sebagai apa sih selama ini? Teman kantor, sahabat, atau…. apa?” Nafasku tertahan seketika setelah aku mengatakan kalimat tadi. Aku nggak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulutku.

”Bagiku…. ya kamu lebih dari seorang teman kantor. Kamu itu sahabatku yang paling dekat. Memang kenapa, Ri?” Bagas berkata dengan nada yang semakin kebingungan

”Cuma sahabat aja, Gas? Gak lebih?” ada keheningan yang cukup panjang setelah aku mengucapkan pertanyaan itu. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Rasanya aku bisa mendengar setiap gerak dari detik jarum jam di atas tembok sana. Tapi anehnya, detak jantungku berdegup semakin cepat.

“Iya, Ri. Kamu kok tiba-tiba nanya hal itu sih?” Bagas masih terlihat bingung kemana arah dari pertanyaanku. Atau mungkin dia pura-pura bingung. Inilah kelemahan wanita nomor tiga: nggak bisa mengutarakan maksud sebenarnya atas apa yang mau diucapkan.

Aku menghela nafas panjang. Panjang sekali.

”Gas, gimana kalau aku ingin lebih dari sekedar sahabat dengan kamu? Aku ingin menjadi kekasihmu. Tiga bulan waktu yang kita lalui bersama, sudah cukup bagiku untuk menyakini kalau aku sangat sayang sama kamu.”

Kali ini waktu bukan hanya terasa berjalan sangat lambat, tapi berhenti sama sekali. Bumi sepertinya terbalik tiba-tiba hingga membuat perutku terasa diaduk-aduk dan sangat mual. Ingin rasanya aku berlari ke luar pintu karena kebodohan atas ucapanku barusan. Tapi setidaknya di atas langit sana, Ibu Kartini  sudah bisa tersenyum karena salah satu kaumnya menjalankan emansipasi dengan benar. Bukan hanya menuntut soal hak, tapi juga emansipasi kewajiban. Wanita bisa juga bergerak duluan, mengutarakan isi hatinya kepada pria terlebih dahulu.

”Maaf, Ri. Aku tahu kamu wanita yang sangat baik. Aku juga nyaman ngobrol dan jalan sama kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa. Bagiku, kamu tidak lebih dari sekedar sahabat.”

Ada hangat yang terasa dari pelupuk mataku. Sebutir air mata tidak terasa mengalir melewati pipi.

”Kenapa, Gas? Kenapa? Apa aku tidak begitu cantik untuk menjadi kekasihmu? Atau aku kurang baik? Terus selama ini, apa maksud kamu mengantarkanku pulang, menemaniku belanja dan obrolan-obrolan nggak penting kita lewat telepon hingga larut malam? Jawab, Gas?” Kali ini air mata sudah mengalir deras dari kedua mataku.

”Bukan itu masalahnya, Ri!”

”Kalau bukan itu masalahnya, terus apa, Gas?” suaraku sedikit meninggi. Bingung, sedih dan marah bercampur menjadi satu di dalam dadaku. Sepertinya Bagas sangat tidak siap dengan pertanyaanku tadi.

”Jujur Ri, selama ini aku sudah berusaha untuk mencoba dekat denganmu. Aku berharap aku bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi nyatanya sekian lama aku dekat denganmu, rasa cinta itu tidak pernah ada. Maafkan aku, Ri. Bukan maksudku menyakitimu. Kamu terlalu baik untuk aku sakiti. Maaf, tapi aku bukan pria yang selama ini kamu kira.”

Nafasku tiba-tiba berhenti. Aku tidak bisa bernafas. Rasanya tenggorokanku tercekat. Tidak percaya dengan apa yang baru kudengar barusan. Ratusan bahkan ribuan kalimat rasanya ingin melompat keluar dari mulutku, namun sia-sia.

”Maksud kamu apa sih, Gas?”

”Aku bukan pria normal, Ri,” Bagas menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya “Aku gay. Ri”

Pandanganku mendadak kabur lalu berubah menjadi gelap.

 -The End-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Racun

23 Monday Apr 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 3 Comments

Tags

@dendiriandi, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Dendi Riandi, romeo and juliet

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

Aku memandang tubuh yang terbaring di hadapanku. Kemarahan dan kesedihan yang kurasakan telah melebur menjadi satu. Bahkan tak sedikitpun air mata yang menetes dari mataku.

Kucoba semua cara untuk memastikan kebenarannya. Kepegang pergelangan tangannya, kutempelkan telingaku di dadanya,  kudekatkan jariku di dekat hidungnya. Kucoba mengguncangkan tubuh itu berkali-kali. berharap apa yang aku pikirkan saat ini adalah salah. Berharap ada keajaiban yang hadir pada dirinya saat ini juga. Namun usahaku sia-sia. Tubuh itu masih diam tak bergerak. Tak ada hembusan nafas atau bunyi detak jantung.

Lalu tiba-tiba semua kenangan bersamanya melintas di otakku. Seperti film hitam putih tanpa suara yang diputar perlahan-lahan. Bagaimana kami berkenalan di pesta itu pertama kali, malam-malam yang kami habiskan bersama secara sembunyi-bunyi, hingga perang yang terjadi antara keluarga kami ketika mengetahui hubungan kami.

“KENAPA?? KENAPA? KENAPA JULIET” teriakku pada tubuh itu. “Bukankah kita sudah berjanji akan terus bersama selamanya apapun yang terjadi?” Namun tubuh itu tetap diam.

Aku memandangi botol kecil di depanku. Botol kecil yang berisi cairan yang mungkin bisa menyelesaikan masalahku saat ini juga. Botol kecil yang membuat tubuh di hadapanku seperti ini.

“Baiklah, jika kita tidak bisa bersama di alam ini, mungkin kita bisa bersama di alam yang lain”.

Lalu kutenggak botol kecil yang berisi cairan itu. Terasa sangat pahit dan pekat di tenggorokanku. Seperti ada tali yang mencekik leher. Pandanganku mulai kabur. Lalu semuanya gelap. Gelap tanpa sisa.

***

Wanita itu terbatuk-batuk dan mulai sadarkan diri setelah sebutir pil mengalir di kerongkongannya. Pria yang memasukkan pil itu tersenyum lalu memeluk dan mencium bibirnya. Wanita itu pun tersenyum.

“Akhirnya kita bisa bersama tanpa ada gangguan dan tak ada lagi kebimbangan memilih di dalam hatimu” ucap pria itu.

“Ya, akhirnya kita bisa bersama tanpa aku perlu menyakiti hati pria yang sangat mencintaiku.” ucap wanita itu kepada pria di hadapannya denga penuh rasa cinta.

“Maafkan aku, Romeo.” Ucap wanita itu.

Lalu kedua orang itu pergi meninggalkan sesosok tubuh pria yang mati konyol karena cinta.

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

How I Met Your Mother

22 Sunday Apr 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@dendiriandi, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Dendi Riandi, fiksi, how I met your mother

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

Keringat bercucuran dari seluruh tubuhku. Udara siang hari yang cukup panas membuatku malas melangkahkan kaki ke arah antrian pemeriksaan paspor itu. Sebenarnya aku lebih menyukai perjalanan malam hari. Selain udara malam yang sejuk, di malam hari aku bisa tertidur tanpa harus berkali-kali melirik jam tangan, menghitung sudah berapa lama perjalanan dan berapa lama lagi akan sampai. Tapi apa boleh buat, perjalanan antar negara ini tidak ada jadwal malam hari. Semuanya perjalanan dilakukan pada siang hari.

Selesai urusan keimigrasian, bus yang kutumpangi kenbali berjalan lagi. Setelah tiga hari berada di Vietnam, akhirnya aku menyebrang perbatasan juga. Menuju Kamboja.

Sudah tidak ada lagi yang bisa dilihat di Vietnam. Kota Ho Chi Minh terbilang cukup sepi. Seluruh museum dan tempat wisata sudah habis kukunjungi. Sebenarnya masih ada kota yang belum kukunjungi, yaitu Hanoi. Namun sayang, kota itu terlalu jauh, berada di ujung utara Vietnam. Jika ditempuh dengan perjalanan darat, butuh waktu 4 hari pulang pergi. Jatah cutiku bisa habis tak terasa. Jika ditempuh dengan pesawat, cukup menguras kantong dan membuatku bangkrut.

***

Sudah lebih dari setahun sejak perjalanan solo backpacking terakhirku menyebrangi semenanjung Malaka, dari ujung Singapura hingga kota Bangkok di Thailand. Seperti perjalananku sebelumnya, tujuan traveling kali ini pun sama. Kakiku melangkah karena hati yang patah. Aku mencoba mengambil jarak, untuk melonggarkan hati yang sesak. Tapi kali ini bukan karena seseorang, tapi sepuluh orang.

Iya. Sepuluh. Orang. Wanita.

Sudah lebih dari satu setengah tahun semenjak terakhir kali aku mempunyai kekasih. Dan semenjak saat itu, sudah sepuluh orang wanita juga yang pernah dekat denganku. Tapi sepertinya Semesta selalu menjawab kalimat doa jodohku yang kedua: “Jika dia bukan jodohku, maka jauhkanlah”.  Iya, semuanya tidak ada yang berjalan sampai jauh. Semuanya pergi menjauh. Friendzone, Hubungan Tanpa Status, Teman Tapi Mesra, Friends in Benefit dan entah bermacam-macam istilah apa lagi yang teman-temanku pernah sematkan untuk setiap hubungan yang aku jalin. Tapi intinya sama, semuanya hanya mentok sebagai gebetan saja.

Bukan kekasih. Bukan pacar.

***

Hari sudah semakin sore saat aku berjalan menyusuri jalanan kota Phnom Penh, ibukota dari Kamboja. Tujuanku mencari penginapan dahulu untuk sekedar beristirahat. Namun sepertinya keberuntungan belum berpihak kepadaku. Hampir seluruh penginapan penuh terisi. Jikapun ada yang kosong, keadaannya agak kurang layak. Ini konsekuensi karena aku tidak mem-booking terlebih dahulu padahal saat ini adalah long weekend.

“Masih ada kamar kosong?” tanyaku kepada salah satu resepsionis dormitory room – sejenis hotel budget, untuk yang kesekian kalinya.

“Tadinya ada. Tapi baru saja satu kamar terakhir diambil oleh seseorang,” Jawab resepsionis itu. “Kamar itu sebenarnya berisi double-bed. Jika tamu tadi mengijinkan, mungkin kamu bisa sharing kamar dengannya.”

Sharing kamar dengan orang asing. Sepertinya itu ide buruk. Tapi jika tidak, bisa-bisa aku tidur di jalanan untuk malam ini.

“Oh, itu dia tamu yang baru saja mengambil kamar terakhir” si resepsionis menunjuk seorang cewek yang baru saja turun dari tangga lantai atas menuju ke arah kami.

Aku memicingkan mata. Sepertinya aku kenal dengan cewek itu. Demi sejuta kepiting rebus di lautan, kenapa harus cewek itu yang ku temui di Kamboja sini. Si cewek tomboy jutek, sombong, senga, dan belagu yang selalu buatku kesal waktu di Gunung Rinjani kemarin.

***

Tiga bulan lalu aku mendaki Gunung Rinjani di Lombok. Ikut rombongan “tukang jalan” yang tak sengaja aku dapat dari internet. Fisikku yang tidak lagi muda seperti jaman kuliah dan juga jarang berolah raga, membuatku berkali-kali meminta untuk beristirahat barang sejenak. Rasanya kaki tidak sanggup untuk menanjak sampai ke puncak. Udara gunung yang tipis tambah membuat nafasku tak karuan.

Lalu tiba-tiba lewatlah dia. Seorang cewek tomboy, dengan rambut pendek berpotongan ala Demi Moore yang nge-trend di film Ghost jaman dahulu. Tak ada tampang kelelahan sedikitpun di wajahnya.

“Jadi cowok kok lemah banget. Malu sama cewek!” katanya pas melewatiku.

Berikutnya, selama tiga hari dua malam berada di Rinjani, entah sudah berapa kali omongannya selalu merendahkan dan meremehkanku. Ada saja kata-katanya yang bikin kami ribut dan beradu mulut. Seumur hidup aku tidak pernah ribut dengan cewek. Baru kali ini ada cewek yang selalu bikin naik darah.

***

Aku menatap cewek itu. Rambutnya sudah agak panjang sedikit dibadingkan dengan waktu di Rinjani dulu. Terpotong rapi tepat di atas bahunya, tidak lagi pendek seperti Demi Moore. Tapi gaya pakaiannya tidak ada yang berubah, kaos oblong dan celana kargo selutut. Jauh-jauh aku ke sini karena ingin menenangkan diri atas hatiku yang kalut. Sepertinya akan bertambah kalut karena bertemu lagi dengan cewek tomboy belagu ini.

“Eh, elo. Lagi ngapain lo di sini?” tanyanya dengan wajah lurus dan jutek.

“Justru gue yang baru aja mau nanya begitu ke elo. Kok bisa ada di sini?” Tanyaku tak kalah jutek.

Ternyata dia sama gilanya denganku. Si cewek itu juga sedang backpacking sendirian di IndoChina ini. Entah konspirasi semesta apa yang sedang terjadi, ternyata dari semenjak berangkat, tiba di Vietnam hingga sampai di Kamboja ini, kami selalu bareng-bareng. Tapi baru dipertemukan di hotel budget ini.

Lalu si resepsionis menjelaskan bahwa aku butuh kamar dan siapa tahu dia mau sharing kamar denganku.

“Karena kebetulan gue udah kenal sama lo dan emang tempat tidur ada dua, dengan terpaksa gue mau sharing kamar sama lo. Tapi kalo lo macem2, gue gibas muka lo gak pake ampun lagi,” ucap si cewek itu setelah akhirnya menyetujui kami akan bersharing kamar.

“Oh iya, awas kalo lo sampe cinlok sama  gue!”

Cinlok? Kalaupun tersisa satu wanita di dunia dan itu adalah dia, aku gak mungkin sampai jatuh cinta sama dia. Dari dulu tipe wanita yang bisa buatku jatuh cinta itu feminim, cantik dan berambut panjang. Bukan cewek tomboy dan belagu kayak dia.

“Terus satu lagi. tidur gue ngorok dan gue sering kentut. Jadi maklumin aja ya!” katanya lagi.

Dasar cewek tomboy, umpatku dalam hati.

Karena sama-sama traveling sendirian, akhirnya mau gak mau aku menjelajah Kamboja bersama cewek tomboy itu. Dari Phnom Penh dilanjutkan ke Siam Reap. Selama 3 hari aku menghabiskan waktu bersamanya. Seperti halnya juga di Rinjani, selama tiga hari itupun tidak ada hentinya kami beradu mulut. Dari mulai meributkan akan kemana, naik apa, mau makan apa sekarang sampai hal-hal gak penting seperti mengomentari kacamataku yang KW. Tiga hari yang seperti berada di neraka.

Setelah menjelajahi Kamboja, kami kembali ke Vietnam, karena pesawat menuju Indonesia hanya ada di kota Ho Chi Minh. Dari sana, kami kembali ke Indonesia. Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta kami berpisah.

***

“Lalu, apakah papah akhirnya bertemu lagi dengan wanita tomboy itu?” seorang anak laki-laki berumur 15 tahun bertanya kepadaku.

Tujuh belas tahun telah berlalu sejak aku traveling ke Indochina. Malam itu gerimis turun perlahan di luar sana. Meskipun hujan, suasana ruang tivi saat itu sangatlah hangat. Sehangat segelas kopi hitam dan segelas susu coklat yang tergeletak di atas meja. Di sebelahku tampak seorang anak laki-laki yang sedang duduk di sofa, bersemangat mendengarkan cerita pengalamanku waktu muda dulu. Di depan tivi, seorang gadis kecil berumur 7 tahun sedang asik menonton film kartun. Mulutnya celemotan dipenuhi sisa-sisa es krim yang baru saja habis dimakannya. Aku cuma bisa tersenyum melihat semuanya.

“Kalau mau tahu kelanjutannya, biar mamah-mu yang bercerita sehabis kita makan malam ya! Sekarang kita makan dulu. Itu mamah-mu sudah menyiapkan makanan. Ayo, ajak adikmu sekalian!” Kataku kemudian sambil menatap ke seorang wanita cantik berambut panjang yang sedang membereskan piring di depan meja makan. Wanita yang sama dengan wanita tomboy belagu yang pernah traveling bersamaku dulu.

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • RT @Alitingting2: -Lihatlah kemana PKS memihak dan pilihlah lawannya. Dengarlah yang PKS katakan dan percayailah sebaliknya- 1 year ago
  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 1 year ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 1 year ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 1 year ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 1 year ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: