Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)
Keringat bercucuran dari seluruh tubuhku. Udara siang hari yang cukup panas membuatku malas melangkahkan kaki ke arah antrian pemeriksaan paspor itu. Sebenarnya aku lebih menyukai perjalanan malam hari. Selain udara malam yang sejuk, di malam hari aku bisa tertidur tanpa harus berkali-kali melirik jam tangan, menghitung sudah berapa lama perjalanan dan berapa lama lagi akan sampai. Tapi apa boleh buat, perjalanan antar negara ini tidak ada jadwal malam hari. Semuanya perjalanan dilakukan pada siang hari.
Selesai urusan keimigrasian, bus yang kutumpangi kenbali berjalan lagi. Setelah tiga hari berada di Vietnam, akhirnya aku menyebrang perbatasan juga. Menuju Kamboja.
Sudah tidak ada lagi yang bisa dilihat di Vietnam. Kota Ho Chi Minh terbilang cukup sepi. Seluruh museum dan tempat wisata sudah habis kukunjungi. Sebenarnya masih ada kota yang belum kukunjungi, yaitu Hanoi. Namun sayang, kota itu terlalu jauh, berada di ujung utara Vietnam. Jika ditempuh dengan perjalanan darat, butuh waktu 4 hari pulang pergi. Jatah cutiku bisa habis tak terasa. Jika ditempuh dengan pesawat, cukup menguras kantong dan membuatku bangkrut.
***
Sudah lebih dari setahun sejak perjalanan solo backpacking terakhirku menyebrangi semenanjung Malaka, dari ujung Singapura hingga kota Bangkok di Thailand. Seperti perjalananku sebelumnya, tujuan traveling kali ini pun sama. Kakiku melangkah karena hati yang patah. Aku mencoba mengambil jarak, untuk melonggarkan hati yang sesak. Tapi kali ini bukan karena seseorang, tapi sepuluh orang.
Iya. Sepuluh. Orang. Wanita.
Sudah lebih dari satu setengah tahun semenjak terakhir kali aku mempunyai kekasih. Dan semenjak saat itu, sudah sepuluh orang wanita juga yang pernah dekat denganku. Tapi sepertinya Semesta selalu menjawab kalimat doa jodohku yang kedua: “Jika dia bukan jodohku, maka jauhkanlah”. Iya, semuanya tidak ada yang berjalan sampai jauh. Semuanya pergi menjauh. Friendzone, Hubungan Tanpa Status, Teman Tapi Mesra, Friends in Benefit dan entah bermacam-macam istilah apa lagi yang teman-temanku pernah sematkan untuk setiap hubungan yang aku jalin. Tapi intinya sama, semuanya hanya mentok sebagai gebetan saja.
Bukan kekasih. Bukan pacar.
***
Hari sudah semakin sore saat aku berjalan menyusuri jalanan kota Phnom Penh, ibukota dari Kamboja. Tujuanku mencari penginapan dahulu untuk sekedar beristirahat. Namun sepertinya keberuntungan belum berpihak kepadaku. Hampir seluruh penginapan penuh terisi. Jikapun ada yang kosong, keadaannya agak kurang layak. Ini konsekuensi karena aku tidak mem-booking terlebih dahulu padahal saat ini adalah long weekend.
“Masih ada kamar kosong?” tanyaku kepada salah satu resepsionis dormitory room – sejenis hotel budget, untuk yang kesekian kalinya.
“Tadinya ada. Tapi baru saja satu kamar terakhir diambil oleh seseorang,” Jawab resepsionis itu. “Kamar itu sebenarnya berisi double-bed. Jika tamu tadi mengijinkan, mungkin kamu bisa sharing kamar dengannya.”
Sharing kamar dengan orang asing. Sepertinya itu ide buruk. Tapi jika tidak, bisa-bisa aku tidur di jalanan untuk malam ini.
“Oh, itu dia tamu yang baru saja mengambil kamar terakhir” si resepsionis menunjuk seorang cewek yang baru saja turun dari tangga lantai atas menuju ke arah kami.
Aku memicingkan mata. Sepertinya aku kenal dengan cewek itu. Demi sejuta kepiting rebus di lautan, kenapa harus cewek itu yang ku temui di Kamboja sini. Si cewek tomboy jutek, sombong, senga, dan belagu yang selalu buatku kesal waktu di Gunung Rinjani kemarin.
***
Tiga bulan lalu aku mendaki Gunung Rinjani di Lombok. Ikut rombongan “tukang jalan” yang tak sengaja aku dapat dari internet. Fisikku yang tidak lagi muda seperti jaman kuliah dan juga jarang berolah raga, membuatku berkali-kali meminta untuk beristirahat barang sejenak. Rasanya kaki tidak sanggup untuk menanjak sampai ke puncak. Udara gunung yang tipis tambah membuat nafasku tak karuan.
Lalu tiba-tiba lewatlah dia. Seorang cewek tomboy, dengan rambut pendek berpotongan ala Demi Moore yang nge-trend di film Ghost jaman dahulu. Tak ada tampang kelelahan sedikitpun di wajahnya.
“Jadi cowok kok lemah banget. Malu sama cewek!” katanya pas melewatiku.
Berikutnya, selama tiga hari dua malam berada di Rinjani, entah sudah berapa kali omongannya selalu merendahkan dan meremehkanku. Ada saja kata-katanya yang bikin kami ribut dan beradu mulut. Seumur hidup aku tidak pernah ribut dengan cewek. Baru kali ini ada cewek yang selalu bikin naik darah.
***
Aku menatap cewek itu. Rambutnya sudah agak panjang sedikit dibadingkan dengan waktu di Rinjani dulu. Terpotong rapi tepat di atas bahunya, tidak lagi pendek seperti Demi Moore. Tapi gaya pakaiannya tidak ada yang berubah, kaos oblong dan celana kargo selutut. Jauh-jauh aku ke sini karena ingin menenangkan diri atas hatiku yang kalut. Sepertinya akan bertambah kalut karena bertemu lagi dengan cewek tomboy belagu ini.
“Eh, elo. Lagi ngapain lo di sini?” tanyanya dengan wajah lurus dan jutek.
“Justru gue yang baru aja mau nanya begitu ke elo. Kok bisa ada di sini?” Tanyaku tak kalah jutek.
Ternyata dia sama gilanya denganku. Si cewek itu juga sedang backpacking sendirian di IndoChina ini. Entah konspirasi semesta apa yang sedang terjadi, ternyata dari semenjak berangkat, tiba di Vietnam hingga sampai di Kamboja ini, kami selalu bareng-bareng. Tapi baru dipertemukan di hotel budget ini.
Lalu si resepsionis menjelaskan bahwa aku butuh kamar dan siapa tahu dia mau sharing kamar denganku.
“Karena kebetulan gue udah kenal sama lo dan emang tempat tidur ada dua, dengan terpaksa gue mau sharing kamar sama lo. Tapi kalo lo macem2, gue gibas muka lo gak pake ampun lagi,” ucap si cewek itu setelah akhirnya menyetujui kami akan bersharing kamar.
“Oh iya, awas kalo lo sampe cinlok sama gue!”
Cinlok? Kalaupun tersisa satu wanita di dunia dan itu adalah dia, aku gak mungkin sampai jatuh cinta sama dia. Dari dulu tipe wanita yang bisa buatku jatuh cinta itu feminim, cantik dan berambut panjang. Bukan cewek tomboy dan belagu kayak dia.
“Terus satu lagi. tidur gue ngorok dan gue sering kentut. Jadi maklumin aja ya!” katanya lagi.
Dasar cewek tomboy, umpatku dalam hati.
Karena sama-sama traveling sendirian, akhirnya mau gak mau aku menjelajah Kamboja bersama cewek tomboy itu. Dari Phnom Penh dilanjutkan ke Siam Reap. Selama 3 hari aku menghabiskan waktu bersamanya. Seperti halnya juga di Rinjani, selama tiga hari itupun tidak ada hentinya kami beradu mulut. Dari mulai meributkan akan kemana, naik apa, mau makan apa sekarang sampai hal-hal gak penting seperti mengomentari kacamataku yang KW. Tiga hari yang seperti berada di neraka.
Setelah menjelajahi Kamboja, kami kembali ke Vietnam, karena pesawat menuju Indonesia hanya ada di kota Ho Chi Minh. Dari sana, kami kembali ke Indonesia. Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta kami berpisah.
***
“Lalu, apakah papah akhirnya bertemu lagi dengan wanita tomboy itu?” seorang anak laki-laki berumur 15 tahun bertanya kepadaku.
Tujuh belas tahun telah berlalu sejak aku traveling ke Indochina. Malam itu gerimis turun perlahan di luar sana. Meskipun hujan, suasana ruang tivi saat itu sangatlah hangat. Sehangat segelas kopi hitam dan segelas susu coklat yang tergeletak di atas meja. Di sebelahku tampak seorang anak laki-laki yang sedang duduk di sofa, bersemangat mendengarkan cerita pengalamanku waktu muda dulu. Di depan tivi, seorang gadis kecil berumur 7 tahun sedang asik menonton film kartun. Mulutnya celemotan dipenuhi sisa-sisa es krim yang baru saja habis dimakannya. Aku cuma bisa tersenyum melihat semuanya.
“Kalau mau tahu kelanjutannya, biar mamah-mu yang bercerita sehabis kita makan malam ya! Sekarang kita makan dulu. Itu mamah-mu sudah menyiapkan makanan. Ayo, ajak adikmu sekalian!” Kataku kemudian sambil menatap ke seorang wanita cantik berambut panjang yang sedang membereskan piring di depan meja makan. Wanita yang sama dengan wanita tomboy belagu yang pernah traveling bersamaku dulu.