Tags
@sarahpuspita, cinta, hutang budi, obsesi, perih, Sarah Puspita
Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)
“Spaghetti bolognaise-nya satu ya, Mbak. Sama ice lemon tea.”
“Saya sama.”
Pelayan itu mencatat pesananku dan Dira dengan patuh. Setelah mengulang membacakan pesanan kami berdua, ia pamit undur diri.
“Sabtu ini jadinya gue ke tempat anak-anak ya. Lo nggak mau kemana-mana kan?”
Aku diam. Kemudian melukis senyum menyebalkan di bibirku. “Terserah elo. Kaya gue punya hak aja ngelarang-larang. Emang gue siapa?”
“Hahaha, iya ya. Emang lo siapa?”
“Yup, kita kan udah bukan apa-apa. Lo juga udah bukan siapa-siapa.” ujarku tawar.
Dira diam. Aku diam. Kami berdua duduk bersama, dengan pikiran yang menuju ke arah yang jauh berbeda. Lalu tiba-tiba saja aku ingin mengecek smart phone-nya. Aku pun meraih HP yang aku belikan untuknya itu, yang tergeletak di meja.
“Eh! Ngapain sih?” Ia panik, berusaha meraih smart phone-nya yang kini ada di tanganku. “Sini nggak! Nggak sopan banget sih lo jadi orang!” Nadanya meninggi. Mukanya memerah menahan geram.
Aku tersenyum mengejek. Kemudian melempar mobile cellular itu kembali ke meja.
“Kenapa sih? Kan gue cuma mau liat galeri aja… Pasti ada foto gebetan baru ya.” sindirku sinis.
“Pernah diajarin sopan santun nggak sih lo? Suka-suka gue. Mau ada foto gebetan kek. Siapa kek. Bukan urusan lo. Bukan hak lo buat nanya-nanya. Inget kan kita udah putus? Inget kan lo bukan siapa-siapa gue lagi? Ngapain mau tau? Ngaca dong. EMANG LO SIAPA?” tandasnya tajam.
Aku diam lagi. Masih berusaha menahan sakit yang ditimbulkan akibat ucapan kasarnya. Dira yang selalu temperamental. Aneh, mengapa aku belum juga terbiasa? Padahal, setiap kami bertemu, setiap kami bicara, aku selalu dihujani kepahitan yang sama. Tapi, mengapa air mata ini masih juga menggenang di sudut mata? Tidak turun dan keluar, serta terlalu bening untuk tertangkap mata.
“Tau kok. Lo emang bukan siapa-siapa. Cuma satu dari jutaan cowok brengsek di dunia.” jawabku singkat, berusaha mengontrol nada bicaraku. Sedemikian rupa aku berusaha menguasai diri.
“Yang selalu lo kejar-kejar? Yang nggak bisa lo lepasin? Yang selalu lo minta bahkan sampe ngemis untuk kembali?” balasnya tak kalah pedas. Continue reading