• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: @saputraroy

Cinta Ala Mereka

15 Wednesday May 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@saputraroy, cerpen, Roy Saputra, working-paper, workingpaper

Prepared by Client:
Roy Saputra (@saputraroy)

“Eneng kedinginan?”

“Dikit, A’.”

“Maafin Aa’ ya, Neng. Aa’ cuma bisa ngajak Eneng ke jembatan layang kayak gini.”

“Ga apa-apa atuh, A’. Gini aja Eneng juga udah seneng kok.”

Sebutlah Aa’ dan Eneng. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta, menghabiskan malam minggu dengan berdua-duaan naik motor lalu nangkring di puncak jembatan layang. Padahal pacaran model begini sangatlah berbahaya. Ga jarang polisi menggelar razia muda-mudi yang pacaran di jembatan layang untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Namun tetap saja masih banyak pasangan yang memadu kasih seperti ini. Tak terkecuali, Aa’ dan Eneng.

Entah apa yang Aa’ dan Eneng cari di sana. Mungkin ingin menikmati pemandangan kerlap-kerlip lampu gedung-gedung bertingkat, atau untaian lampu kendaraan yang meliuk-liuk di tengah macetnya ibukota. Mungkin ingin merasakan apa yang orang rasakan ketika sedang makan malam mewah di sebuah restoran bertema roof top.

Situasi di mana Aa’ berada paling dekat dengan kata roof top adalah ketika Eneng sedang asik menonton sinetron kesayangan di rumah majikannya lalu hujan mengguyur deras. Eneng merengut saat wajah Haji Muhidin menjadi buram dan samar. Atas nama cinta, Aa’ pun naik ke atas genteng dan membetulkan arah antena, meski itu dengan risiko tersambar gledek yang bisa membuat badan jadi tidak enak.

Di temaram lampu jembatan, Aa’ dan Eneng berpelukan. Saling menghangatkan badan, melawan angin malam yang berhembus dengan kecepatan tinggi. Malam itu, Eneng memang hanya mengenakan cardigan warna hitam. Cardigan yang dibelikan Aa’ di ITC dekat rumah dua hari lalu itu ga mampu menahan angin yang dinginnya mulai menusuk-nusuk tulang Eneng. Cardigannya tipis, setipis penghasilan Aa’ yang masih di bawah UMP.

Aa’ berinisiatif melepaskan jaket bertuliskan ‘OLI BAGUS? YA OLI TOP TWO!’-nya dan memasangkannya ke punggung Eneng. Berharap kehangatan yang sempat ia rasakan sebelumnya dari jaket, bisa menular ke badan Eneng.

“Masih dingin ga, Neng?” Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Menikmati (Bersama) Bintang

27 Wednesday Feb 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@saputraroy, komedi, Roy Saputra

Prepared by:
Roy Saputra (@saputraroy)

 

Alkisah, hiduplah seorang Pocong. Semasa jayanya, Pocong adalah seorang superstar, bintang film papan atas, dan bahkan pernah bermain iklan bareng Luna Maya di sebuah iklan sabun cuci. Luna Maya jadi ibunya, Pocong jadi baskom cuciannya. Berbagai judul film yang ada kata Pocong-nya, pasti ia yang perankan. Saking suksesnya, ia pernah mendapat gelar sebagai pemain film horror dengan bayaran tertinggi.

Tapi itu dulu.

Sekarang tawaran main film mulai berkurang. Meskipun ada, itupun untuk film komedi atau parodi. Tidak ada adegan kejar-mengejar calon korban, tusuk menusuk jantung, atau gigit mengigit leher. Yang ada hanya adegan lompat-melompat lalu kejedot tembok. Dan semua itu minim dialog. Padahal Pocong sudah ambil kelas aksen berbagai macam negara sebanyak 5 pertemuan di sela-sela jadwal shooting. Ia merasa kemampuan beraktingnya kurang dieksploitasi saat bermain film komedi. Ia ingin kembali bermain film horor namun tawaran sedang sepi.

Di masa sulit seperti ini, Pocong berbagi sewa apartemen dengan Kuntilanak di Jakarta Pusat. Kunti -begitu sapaan akrab Kuntilanak- juga seorang pemain film kawakan, seangkatan dengan Pocong, Suster Ngesot, dan Jelangkung. Kunti berkenalan dengan Pocong saat ia sedang jalan-jalan ke Singapura naik budget airlines. Bertemu saat Pocong sedang bingung ingin minta tolong siapa untuk mengambil fotonya di patung Merlion. Jangankan teman, jempol untuk menekan tombol kamera pun ia tak ada. Untung ada Kunti di situ, dan singkat cerita, mereka menjadi akrab.

Di suatu malam yang naas, mereka berdua sedang santai di ruang tengah apartemen. Ditemani lagu yang bermain pelan dari radio, Pocong duduk di sofa, menonton acara berita di televisi yang dengan santainya bertanya bagaimana-perasaan-anda pada korban bencana alam. Kunti sendiri rebahan di karpet, membaca majalah anak muda masa kini, sambil menggoyang-goyangkan kaki. Awalnya mereka berbincang tentang politik dan kaitannya dengan harga cabai yang melonjak. Namun saat ada kesempatan, Pocong curhat tentang kariernya yang semakin suram. Tadinya ia mau curcol, alias curhat colongan. Tapi karena banyak yang ingin ia bahas, sepertinya ini akan jadi curpandik, alias curhat panjangan dikit.

“Kun, tawaran main film sepi banget ya sekarang?” Pocong memulai sesi curhat malam itu.

“Iya, Cong. Musim film sudah berganti. Film-film horror sudah ndak happening lagi,” jawab Kunti dengan logat Jawa-nya, sambil sibuk membalik-balikkan halaman majalah.

“Tapi kan gue gak mesti main film horror, Kun. Film apa aja gue cocok kok,” balas Pocong sambil menggaruk-garuk pipinya yang bernanah. Entah apa yang di pikirannya sehingga ia yakin bisa berhasil main di film non horror dengan pipi yang kurang higienis.

“Yang lagi ngetop itu film dari akun Twitter gitu. Kamu main Twitter ndak, Cong?” tanya Kunti.

Pocong terdiam sejenak dan membuka akun Twitter dari gadgetnya. Akun @Pocong_Asli_Sumpah_Deh sudah ia buat sejak beberapa bulan lalu, tapi followernya hanya 3. Ibu, Bapak, dan seorang satpam yang ia ancam sebelumnya. Isi twitnya berkisar tentang kehidupan sehari-hari, sambil sering kali meng-RT[1] artis idolanya, Anisa Chibi. Suatu kali si satpam menge-twit bahwa Pocong sepi follower karena ia RT abuser dan sering pakai twitlonger. Pocong mengiyakan pernyataan itu, dengan meng-RT sampai perlu pakai twitlonger.

Begitu semangatnya mencari follower, Pocong sampai memasang bio: Folbek? Just mention. Tidak hanya sampai di situ. Ia membuat kuis. Jika followernya sudah sampai 100, ia akan bagi-bagi voucher pulsa. Tapi itu semua gagal. Sempat terpikir untuk meng-copy paste twit akun lain, namun ia punya prinsip lebih baik sepi follower daripada harus mencuri kreativitas orang.

Diam-diam, Pocong meng-log out Twitter, “Gak, Kun. Gue gak main Twitter. Ada film lain?”

“Hmm,” Kunti berpikir sejenak, “Sekarang juga lagi banyak film yang diadaptasi dari novel gitu, Cong.”

“Wah, cocok ini!” seru Pocong antusias.

“Tapi ceritanya tentang kaum urban gitu,” jelas Kunti, “Orang kantoran dengan problematikanya.”

Pocong tak mau mati angin, “Bisa lah gue jadi orang kantoran! Bisa!”

Kunti menoleh ke arah Pocong dan menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala, “Orang kantoran, Cong? Putih lonjong kayak kamu mah paling banter jadi pilar di lobby kantor. Atau mentok-mentoknya jadi cadangan kertas mesin fax.”

“Ck. Jaman bener-bener sudah berubah ya, Kun?” keluh Pocong.

Kunti menghela nafas dan menutup majalah yang sedari tadi ia baca, “Begitulah, Cong. Musim berganti. Masa jaya kita sudah lewat, meski begitu…”

“Gue tau, Kun!” teriak Pocong memotong petuah Kunti, “Kita bikin boyband aja! Kan lagi happening tuh. Nyanyi sambil joget-joget.” Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sebuah Siang di Salemba

20 Thursday Sep 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 6 Comments

Tags

@saputraroy, cerpen, cinta, modus, Roy Saputra

Prepared by Client: 
Roy Saputra (@saputraroy)

“Permisi. Numpang tanya.”

Kamu pun mengangguk. Di pinggir jalan Salemba, kamu berdiri sendiri. Nampak seperti mahasiswi dari kampus sebrang sana. Jadi sepertinya cocok untuk kutanya-tanya tentang daerah sekitar sini. Awalnya aku hanya menurunkan kaca jendela dan bertanya di mana letak sebuah mall yang lokasinya dekat dengan bundaran HI. Namun suaramu yang pelan membuatku harus turun dari mobil dan mengulangi pertanyaanku. Kamu bilang dari sini lurus saja, ketemu perempatan belok kanan, lalu ikuti saja jalurnya. Aku tak mungkin tersasar, begitu jawabmu.

“Makasih ya. Ngomong-ngomong, di sana itu ada…”

Lalu aku menyebutkan salah satu brand pakaian yang sedang happening. Lagi-lagi kamu mengangguk. Di sana ada semua, begitu katamu. Pakaian segala rupa, semua warna. Tapi semuanya dengan harga yang bukan jangkauan mahasiswa. Aku tertawa. Sepertinya itu lelucon andalanmu. Jadi sepertinya aku harus tertawa.

“Eh, kamu tuh temannya Icha ya?”

Echa, begitu ralatmu. Aku pun mengiyakan. Ternyata dunia memang sempit. Aku bilang sepertinya pernah melihat entah di mana. Mungkin di sekitar rumah, karena Echa itu tetanggaku. Kamu bilang memang pernah main ke rumahnya di Pondok Kopi. Aku bilang iya sambil mengeluarkan mimik pantas-saja-pernah-lihat. Kemudian aku membahas Echa dan kamu mengangguk-ngangguk sambil tertawa. Terima kasih untuk kebiasan-kebiasaan buruk Echa yang sudah membuat kita tertawa bersama.

“Kamu mau ke mana?”

Sarinah, jawabmu. Kamu ada pertemuan dengan dua orang teman dan beberapa cangkir kopi. Sudah janji, namun sedari tadi sulit mendapatkan taksi. Setauku itu dekat dengan bunderan HI. Aku tawarkan tumpangan dengan barter penunjuk jalan. Dan sekali lagi, kamu mengangguk.

“Kenal Echa udah lama?”

Baru setahun belakangan, katamu. Sebelumnya hanya kenal biasa, namun menjadi dekat di semester lima ini. Sering bersama dalam tugas kelompok, membuat kamu tau lebih jauh tentang Echa. Tentang lucunya, tentang ramahnya, dan tentang orang tuanya yang tidak memperbolehkannya pulang malam. Kelas ekonomi makro yang membuat kalian dekat. Begitu penjelasanmu. Lalu kamu bertanya balik. Aku bilang juga baru beberapa bulan kenal Echa. Dulu rumahku bukan di Pondok Kopi dan baru saja pindah ke sana. Kamu hanya mengangguk pelan sambil bilang pertigaan depan belok kanan.

“Ini masuk parkirnya dari mana ya?”

Kamu bilang tak usah masuk parkir. Turunkan saja kamu di depan sini agar aku bisa menghemat waktu. Aku jawab sebetulnya tak apa. Sebagai tanda terima kasihku untuk kamu yang sudah berbaik hati mengantarku. Sempat ada debat kecil namun akhirnya kamu mengalah. Ku masuk kan mobil lewat spasi besar sebelah gedung. Saat petugas mengetikkan nomor plat mobil, saat itu aku bertanya,

“Boleh minta nomor handphone-nya?”

Dengan segera kamu bilang boleh. Kamu sebut 10 digit angka dan sebuah nama setelahnya. Rani Priwasdani. Lalu kamu menunjuk café yang paling depan. Dari balik jendela, sudah terlihat dua orang teman yang sudah menunggu dengan secangkir minuman di tangan masing-masing. Sesaat sebelum kamu menutup pintu, kamu bilang kapan-kapan main ke kampusmu dan kita bisa jalan sama Echa juga.

“Iya. Hehehe.”

Begitu jawabku berbarengan dengan suara pintu mobil yang tertutup. Kutancap gas dengan senyum terkembang di wajah. Dari depan Sarinah, aku lurus. Ketemu bundaran HI belok kiri. Kembali ke arah Salemba, kembali ke sebrang kampus nomor satu di negara ini, kembali mencari beberapa mahasiswi yang sedang berdiri sendiri.

“Main ke kampus dan jalan sama Echa?”

Dalam hati aku tertawa. Entah kampus yang mana, entah Echa siapa. Yang jelas, aku hanya tau bahwa semua orang setidaknya punya satu teman bernama Icha atau Echa.

Dan itu lah caraku memodusimu.

-The End-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sebuah Malam di Thamrin

25 Wednesday Apr 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@saputraroy, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Roy Saputra

Prepared by Client:
Roy Saputra (@saputraroy) 

Hari itu hari Rabu. Pukulnya pukul tujuh. Gedung BI menjulang megah di sisi kiri. Departemen Agama berdiri di sebelah kanan. Para karyawan kedua instasi negara ini sudah pulang dari petang. Mobil lalu lalang di depan mata. Jalur busway bersih dari kontaminasi mobil pribadi.

Trotoar Thamrin ramai oleh calon penumpang yang sedang menunggu bus langganannya lewat. Berteduh di bawah pohon-pohon rindang yang ditanam di antara beton pelapis sisi jalan. Pedagang kopi bersepeda menjadi ornamen tersendiri bagi trotoar Thamrin. Lampu-lampu jalanan jadi penerang nomor satu. Memberi cahaya pada langit Jakarta yang sudah tak berbintang dari dulu.

Sebuah Kopaja seliweran tak beratturan. Sang kondektur yang berseragam menjajakan tujuan akhir dari rutenya. Tenabang, Tenabang. Begitu katanya. Seolah mengatakan Tanah Abang secara lengkap bisa membuatnya sesak napas. Kopaja itu lalu berkelok cepat di tikungan Departemen Agama. Si supir seperti lupa apa itu pedal rem.

Aku berdiri di situ. Di antara gedung BI dan Departemen Agama. Di bawah lampu jalanan dekat tikungan Kopaja tadi berbelok. Berkemeja dengan lengan dilipat, tas kugendong di belakang, dan sepasang earphone menggantung di telinga.

Mataku fokus melihat ke depan. Menatap plang biru Bangkok Bank yang ada di seberang jalan sana. Menanti mobil dari arah Sudirman dan sebaliknya berhenti melintas. Tepat di sebelahku, motor-motor juga sedang menunggu. Gas mereka tarik dalam posisi gigi netral. Seakan mereka pembalap yang sedang menanti aba-aba.

Yang aku dan mereka tunggu hanya satu. Detik lampu lalu lintas, berubah dari merah jadi hijau. Karena ketika itu, motor akan meliar, mobil pasti memadati jalan Kebun Sirih, dan aku bisa menyebrang jalan dan bertanya pada seseorang di sana. Seseorang yang kusebut mantan.

Ia sedang berdiri dengan blazer hitam dan celana panjang. Mendekap tas di depan, seperti terakhir kali dia mengucap pisah. Entah ia tau atau tidak keberadaanku yang sedang mengamatinya dari jauh. Perjumpaan tak sengaja ini tak akan kusiakan. Akan kutanya satu hal yang dari dulu menggangguku.

Kenapa kita putus?

Waktu ia mengucap pisah, itu hanya lewat pesan singkat. Kubalas dengan geram namun tak ada balasan. Ditelpon pun tak diangkat. Entah apa maunya. Setelah hari itu, tak ada kabar berita. Kutanya temannya, semua enggan menjawab. Kudatang ke rumahnya, tak ada yang membukakan pintu. Ia bagai hilang begitu saja. Namun, dua purnama kemudian, aku tak sengaja melihatnya.

Hari itu hari Rabu. Pukulnya pukul tujuh. Entah siap atau tidak, aku ingin mendengar darinya langsung tentang kenapa kita putus. Lebih baik hidup menderita karena kejujuran daripada mati menyesal penasaran. Malam ini, akan ku dapat jawab darinya.

Ah.

Yang ditunggu tiba juga. Lampu lalu lintas berubah jadi hijau.

Dan aku menyebrang jalan.

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...
 

    %d bloggers like this: