Tags
Prepared by Client:
Sindy Shaen (@sindyshaen)
Hujan belum juga berhenti saat kamu datang mengetuk pintu rumahku dalam keadaan basah kuyup.
“Mau apa kamu ke sini tengah malam begini?” Itulah pertanyaan yang spontan keluar dari mulutku.
“Aku mau minta maaf. Tolong, maafkan aku!” Jawabmu dengan nada lirih.
Malam ini, tiga hari setelah kata putus meluncur dengan berat dari mulutku.
“Kita putus saja! Aku tak tahan menjalani hubungan bersama seseorang yang masih mencintai mantan kekasihnya.”
“Tapi, aku hanya mencintaimu, Sayang. Tidak ada dia yang lain di antara kita.”
“Lalu, ini apa? Apa maksudmu masih menyimpan foto mantan kekasihmu di handphonemu?”
“Itu, itu…”
“Ah sudahlah! Aku capek meladenimu! Kita putus!”
Selintas pertengkaran malam itu memenuhi benakku sebelum perkataanmu memecah hening di antara kita.
“Boleh aku masuk?”
“Tidak! Kita bicara di teras saja!” Jawabku dengan nada ketus.
Aku melihat tubuhmu mulai menggigil kedinginan. Dua tangan dilipat di atas perut, seakan memeluk dirimu sendiri. Bibirmu mulai membiru. Ada rasa iba yang tiba-tiba muncul. Bajumu basah dan kamu kedinginan. Aku khawatir nanti kamu jatuh sakit.
Ah! Segera kulenyapkan rasa kasihan itu. Kamu bahkan tega menyakitiku lebih dari itu. Lagian, bukan aku yang menyuruhmu hujan-hujanan tengah malam begini. Bukan aku juga yang memintamu untuk datang meminta maaf. Aku tak butuh kata maaf darimu karena di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi.
“Aku minta maaf!” Sekali lagi perkataanmu memecah hening di antara kita, dan suaramu sedikit bergetar karena menggigil kedinginan.
“Kurasa tak ada yang perlu dimaafkan. Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Toh, maaf itu tak ada gunanya lagi.”
“Tapi aku benar-benar ingin minta maaf. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”
“Kita? Tak akan ada lagi ‘kita.’ ‘Kita’ sudah mati!” Continue reading