• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Tag Archives: cerita pendek

Althaf

30 Saturday Jun 2012

Posted by myaharyono in Cerita Cinta

≈ 2 Comments

Tags

@myaharyono, Althaf, baby, cerita bayi, cerita pendek, Mia Haryono

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

30 Juni 2011.

Beep.

Sebuah broadcast message gue terima di blackberry gue.

“Alhamdulillah.” gue mengucapkan kata pujian kepada Tuhan enggak lama setelah membacanya.

“Oppie melahirkan.” Gue kemudian menyampaikan berita itu kepada pria yang sedang duduk di sebelah gue di kantin kantor.

“Laki-laki.” lanjut gue sebelum pria itu sempat bertanya. Fokusnya masih tertuju pada semangkuk bubur yang sedang disantapnya sebagai menu sarapan.

“Nanti pulang kerja langsung jenguk ya?” ajak gue.

“Jangan pulang kerja, nanti waktu kita enggak banyak. Minggu aja.” dia menawar ajakan gue.

“Udah pulang dari RS dong si Oppie. Ke rumah berarti ya jenguknya?” Dia mengangguk pelan.

Gue sebenarnya sangat-sangat enggak sabar untuk melihat bayinya Oppie. Gue sudah mengikuti perkembangannya selama dia masih ada di rahim sahabat gue itu. Tapi apa boleh buat, gue kan masih mengandalkan pria yang tampangnya lurus saja, meski mendengar kabar gembira ini.

Satu hal yang gue enggak suka dari pria ini adalah kurang excited terhadap seputar anak kecil atau bayi. Sangat-sangat bukan calon-suami-able.

Hari minggu siang, jadilah kami berdua pergi menjenguk Oppie dan bayinya seperti yang dia mau. Sebagai hadiah untuk keponakan tercinta ini, gue membawakannya sebuah boneka jerapah.

“Kamu kasih kado jerapah?” tanyanya sambil tertawa. “Mau didoktrin pelan-pelan supaya suka jerapah juga kayak kamu? Dia tertawa lepas.

Sebuah tinju gue daratkan di bahunya. Motor yang kami kendarai oleng. Hampir saja jantung gue lompat saking kagetnya.

“Udah jangan ketawa terus, bawa motornya pelan-pelan” suara gue naikkan tingkat volumenya agar bisa didengar mengalahkan kebisingan jalan raya.

Setelah hampir 45 menit menempuh perjalanan, kami sampai juga di rumah Oppie.
“Aku mau lihat keponakanku. Udah dikasih nama, Pi?” tanya gue dengan semangatnya.

“Udah tante. Tapi tante dan om cuci tangan dulu sana sebelum liat bayi ganteng.” kami berdua mengikuti instruksi Oppie.

Sementara pria yang sudah berbaik hati mengantarkan gue ini duduk istirahat, gue langsung menghamburkan diri ke kamar tempat si bayi berada.

Mungil dan merah, dalam lilitan kain. Bayi itu mengulet-ulet enggak mau diam sambil memainkan liur di dalam mulutnya.

Subhanallah.

“Namanya Khalafi Shafwan Althaf. Artinya anak laki-laki yang baik, berhati lembut dan penuh belas kasih.” jelas sahabat gue itu.

“Amiin.” jawab gue. “Namanya seindah orangnya. Aku boleh cium?” gue kemudian memasang muka memelas.

“Kamu gendong juga. Biar nular cepat nikah terus punya bayi sendiri.”

“Takut.”

“Harus coba sayang. Kamu tuh sama saja sama laki kamu, takut anak kecil. Bawa Althaf ke dia, biar dia suka terus jadi pingin cepet-cepet deh.” si Oppie mengikik pelan.

Iya gue takut gendong bayi. Gue takut bayinya menangis. Kalau sudah begitu gue akan dipenuhi rasa bersalah. Apakah gue melukainya sampai menangis? Atau malah bayi itu menangis karena menolak gue?

Bayi ganteng ini terus menatap gue. Kedua tangan mungilnya dikepak-kepakan di kasur. Kemudian mengarahkannya ke gue. Seolah si bayi ingin digendong.

Oppie kemudian mengangkat Althaf.

“Ayo, siapkan posisi gendong. Hati-hati ya.”

Gue menahan nafas.

Beberapa detik kemudian, bayi ini sudah ada didalam gendongan gue.

Diluar dugaan, bayi ini enggak menangis. Malah masih menatap gue, tersenyum. Gue angkat sedikit tubuh mungilnya lalu gue kecup kening dan pipinya.

Bayi ini tampak kegirangan. Boys will be boys.

Gue melangkahkan kaki keluar dari kamar si bayi yang penuh dengan boneka dan hiasan lucu. Jerapah dari gue sudah gue berikan tadi waktu datang. Dan sekarang si jerapah bergabung dengan boneka-boneka lain milik Althaf.

Gue hendak mengantarkan bayi laki-laki ini ke pria yang sedang duduk di ruang tamu, berbincang dengan Ayahnya si bayi.

“Ini loh bayi gantengnya. Namanya Althaf.” gue kemudian duduk di samping pria itu.

“Halo Althaf.” Sudah begitu saja kata yang keluar dari bibir pria itu. Benar-benar kaku menghadapi bayi.

Bayi Althaf ini juga menatap si pria. Tangannya malah mencoba meraih muka si pria.

“Itu Al sepertinya pingin interaksi sama kamu. Jangan takut.” kata Oppie pada pria itu.

Kemudian pria itu memegang tangan si mungil lalu menggoyangkannya. Si mungil tertawa, dia senang sepertinya.

Si pria juga tertawa. “Eh dia ketawa. Lucu banget.” ucapnya. Lalu tangan yang satunya mengelus rambut Althaf. “Rambutnya banyak ya.”

“Hadeuh, ngelusnya kaku banget. Kayak kamu elus rambut aku aja, sayang.” goda gue.

Dia nyengir lebar.

Lima belas menit berikutnya, si pria itu malah enggak ada berhentinya bermain dengan si bayi. Sampai waktunya si bayi minum ASI.

Kami pun pamit pulang.

Di perjalanan pulang, tiba-tiba pria itu bersuara. Memecahkan keheningan di antara kami.

“Kita nikah yuk. Aku ingin punya kayak Al juga.”

Lamaran macam apa ini? Di motor dan di tengah kemacetan. Begitu tiba-tiba dan tak terduga. Saking bahagia mendengarnya sampai-sampai mau jatuh dari motor rasanya.

Sungguh Althaf rupanya seketika membawa perubahan besar pada pria yang sedang membonceng gue ini. Si pria yang selama ini mengaku belum siap menikah, seperti mukjizat, setelah melihat Althaf keraguan dan ketakutannya menghilang.

Dia ingin segera menjadi Ayah. Sangat mengejutkan.

Semengejutkan kecelakaan yang merenggut nyawa pria itu tiga hari setelahnya.

***

Satu tahun kemudian.

“Selamat ulang tahun, Althaf sayang.” Gue menyerang bocah ganteng ini dengan ciuman bertubi-tubi.

Waktu sangat cepat berlalu. Rasanya baru kemarin Al dilahirkan, lalu gue dan dia menjenguknya. Ah…hati ini terasa sesak karena memikirkannya.

Gue masih belum dapat melupakannya. Sejak kepergiannya, satu-satunya yang dapat menghibur gue adalah Althaf. Gue rutin ke rumah Oppie hanya untuk bermain dengan Althaf, bayi yang sangat disayangi pria itu. Bayi yang telah membuatnya memutuskan untuk siap berumah tangga. Gue merasa berhutang budi pada Althaf.

Meski akhirnya kenyataan berjalan enggak seperti harapan.

Dengan bermain bersama Althaf gue merasakan kehadirannya. Sangat kental terasa. Seperti kami sedang tertawa-tawa bertiga.

Gue tau dia masih ada bersama kami.

“Al sayang, mari kita doakan Om baik-baik ya di sana. Dia pasti sudah bahagia di tempat dimana dia dicintai sekarang.”

Bocah itu menatap gue dengan matanya yang sipit. Makin lama seperti bocah korea deh.

Lalu Al tertawa sendiri. Sangat menggemaskan. Gue serbu si asem ini lagi dengan kelitikan di perut. Al makin senang.

“Al sayang, doakan tante cepat dapat pengganti Om ya?”

Al menatap gue dengan bengong. Lalu menganggukkan kepalanya dan tertawa lagi sambil teriak kecil.

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Seratus Dua Puluh Detik

10 Sunday Jun 2012

Posted by gelaph in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph. Grahita Primasari, cerbung, cerita cinta, cerita pendek, fiksi

Prepared by: GP
Reviewed by: MH 

Matahari telah terlelap ketika Cherry gue pacu keluar mall. Gagal sudah keinginan gue untuk memanjakan diri di salon. Hilang mood. Sebagai gantinya, gue malah pergi ke supermarket guna berbelanja keperluan bulanan.

Lampu merah menyala. Menghitung mundur seratus dua puluh detik sebelum akhirnya berganti hijau. Seratus dua puluh detik. Dua menit. Lumayan lama juga.

Ekor mata melirik jam tangan. Ah, sudah delapan menit lewat dari jam tujuh malam.

Astaga. Bahkan kegiatan melihat jam tangan pun dapat mengingatkan gue lagi dengannya. Gue ingat, ketika sedang menulis, ia harus berhenti menggerakkan pulpennya demi mengetahui jam berapa sekarang. Apabila sedang minum, ia terpaksa memindahkan gelasnya ke tangan kiri, sebelum akhirnya bisa melihat jam tangan.

“Kenapa pake jam tangan di sebelah kanan sih?” Protes gue pada suatu waktu. Saat itu tangan kanannya melepaskan genggaman tangan kiri gue demi mengecek, sudah terlalu larutkah bagi kami berdua dalam menghabiskan waktu bersama.

Ia hanya tersenyum. Tangan kanannya menggapai telapak tangan kiri gue. Jari-jari kami pun kembali bertautan, tergenggam erat satu sama lain.

“Kalau gue make jam di tangan kiri, jam tangan kita nggak akan pernah ketemu. Liat deh. Mereka bakal jalan sendiri-sendiri. Kasian kan?” Katanya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Ya, gue mengenakan jam tangan di sebelah kiri. Sedangkan ia, di tangan kanannya. Dan kami selalu tersenyum berpandangan penuh arti apabila kedua jam tersebut bergesekan, ketika kami bergandengan tangan.

Makanya gue benci melihat pemandangan di mallsore tadi. Bahwa ada tangan kiri lain yang bertaut dengan tangan kanannya. Wanita itu mengenakan jam tangan di sebelah kiri, persis seperti gue.

Lampu hijau menyala.

Thanks, God.Dua menit yang ditunggu akhirnya datang juga. Klakson berbunyi sana sini, khas Jakarta. Pertanda para pengemudi sudah tak sabar untuk segera memacu kendaraannya.

Cherry tepat berada di depan lampu lalu lintas ketika akhirnya si merah kembali menyala dan menghitung ulang seratus dua puluh detik. Lirikan maut polisi di ujung sana membuat gue tidak berani mengambil resiko dengan menorobos lampu merah.

Ah…sial. Maki gue dalam hati. Seratus dua puluh detik kedua yang harus dilewati malam ini. Dan lagu Tertatih oleh Kerispatih ter-shuffle di CD player Cherry. Seolah turut berbela sungkawa atas keadaan gue hari ini.

Begitu dalamnya aku terjatuh…
Pada kehampaan rasa ini…
Jujur… Aku tak sanggup…
Aku tak bisa…
Aku tak mampu…
Dan aku tertatih…
Semua yang pernah kita lewati…
Tak mungkin dapat kudustai…

Mendadak hujan turun. Langsung lebat. Seperti ada sepasang tangan raksasa yang menyiram permukaan bumi dari angkasa. Sontak pengguna jalan berlarian. Mencari tempat berteduh terdekat dari jangkauan.

Tak disengaja, mata gue terpaku pada seorang anak lelaki. Berusia kurang lebih sepuluh tahun. Berperawakan sedang, cenderung kurus. Kulitnya hitam, pertanda sering terbakar matahari. Sekarang ia basah kuyup, badannya menggigil kedinginan.

Berhenti di halte bus, ia meletakkan barang bawaan yang dipanggulnya. Semacam tongkat panjang yang diletakkan di bahu, yang di kedua ujungnya terdapat keranjang anyaman bambu.

Keranjang anyaman bambu tersebut dijadikan tempat duduk olehnya. Setelah gue teliti, ternyata kedua keranjang tersebut berisi cobek. Iya, cobek. Alat untuk mengulek sambal atau bumbu masakan. Terbuat dari batu. Berat sekali tampaknya.

Gue mengernyitkan dahi, bingung. Anak berusia segitu, jam segini, memanggul cobek? Siapa yang mau membeli benda tersebut di sini? Oh, atau mungkin ia baru saja pulang sehabis berjualan di pasar tradisional di perempatan sebelum ini.

Sang anak duduk termenung. Menunggu hujan reda. Barang dagangannya masih penuh, pertanda dewi fortuna belum mengunjunginya hari ini. Kedua tangannya tergenggam satu sama lain, diletakkan di depan mulut. Mengusir hawa dingin yang datang bersamaan dengan hujan.

Seketika, gue merasa tertampar keras di wajah. Ia masih belia, namun sudah harus memikul perjuangan berat hanya untuk bertahan hidup. Sementara gue? Beban terberat yang pernah gue rasakan hanyalah…patah hati.

Suara klakson mobil bersahut-sahutan seolah membentak gue untuk segera bangun dari lamunan.

Dan gue pun segera menjalankan Cherry perlahan. Konyol sekali rasanya kalau sampai harus terjebak selama seratus dua puluh detik untuk ketiga kalinya, di tempat yang sama.

***

Senin pagi. Identik dengan kesiangan atau terlambat bangun pagi. Kali ini penyebabnya adalah alarm telepon genggam tidak menyala. Gara-garanya ia mati kehabisan baterai, dan pemiliknya ini ketiduran semalam. Terlalu lelah untuk memberinya makan terlebih dahulu.

Tergesa-gesa gue menyusuri lobi, menuju ke lift. Untungnya gue kenal baik dengan para satpam gedung ini. Jadi gue bisa mempercayakan Cherry untuk dicarikan parkir oleh salah satu dari mereka.

Sambil menunggu lift, gue merapikan rambut. Dan pakaian. Serta napas yang masih memburu kencang.

Okay…. rileks…

Tarik napas….. Buang napas….

Tarik napas lagi….. Buang napas lagi…..

Tarik napas……

Hhhffftttt…..

Nyaris saja gue lupa membuang napas lagi ketika melihat sesosok lelaki yang tampak familiar berjalan mendekat.

Oh, God. No. Please, not now.

Sambil mengatur napas, gue berdoa dalam hati. Mudah-mudahan lelaki itu bukan dia. Gue belum siap bertemu dengannya saat ini. Semoga gue salah lihat, karena gue nggak mengenakan kaca mata gue pagi ini. Demi semua dewa dewi lift, please God. Please.

TING!

Syukurlah pintu lift akhirnya terbuka. Secepat kilat gue memasuki lift. Gue sempatkan untuk melirik ke arah lelaki mencurigakan itu. Dan, ah. Ternyata dewa dewi lift sedang tidak bersahabat. Doa gue tak terkabul.

Lelaki itu memang dia.

Rambut ikal, hidung mancung, kemeja abu-abu. Seratus persen itu memang dirinya. Gue tidak salah lihat.

Okay, Blackberry mana Blackberry? Dengan gaya yang sangat di-cool-cool-kan, gue mengambil Blackberry dari dalam tas. Ah, sial. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Nobody miss me.

Demi menghilangkan grogi, gue membuka linimasa Twitter. Kata-kata berseliweran di depan mata, tanpa ada satupun yang tertangkap di kepala.

Gue melirik ke penunjuk lantai di bagian atas lift.

Astaga naga terbang! Dari tadi baru sampai lantai tiga? Perasaan udah lama banget deh.

Mata gue terus mengawasi penunjuk lantai.

Lantai empat. Seorang wanita oriental berkemeja pink keluar, berbarengan dengan seseorang yang tampaknya merupakan teman lelakinya.

Lantai lima. Di Twitter ternyata sedang ramai permainan tagar #CapekGakSih. Ingin rasanya mem-post “#CapekGakSih satu lift sama #nomention?”, tapi itu terdengar terlalu kekanak-kanakan. Jadi gue batalkan.

Lantai enam. God please. Dua lantai lagi.

Lantai tujuh. Lift berhenti lagi. Seorang lelaki gemuk pendek bermata besar, masuk. Ia menekan angka sepuluh sebagai lantai tujuannya.

Gue mengalami seratus dua puluh detik mengingat caranya mengenakan jam tangan. Seratus dua puluh detik berikutnya mengamati bocah si pedagang cobek. Namun, rasanya tidak ada yang lebih lama dari seratus dua puluh detik di lift bersama dia, orang yang pernah gue sayang. Oh, atau mungkin sebenarnya masih gue sayang.

Saatnya melangkah keluar. Apakah gue harus menoleh ke belakang, sekedar memberi senyuman?

Sepersekian detik, gue merasa bimbang.

Tapi akhirnya gue memutuskan untuk tidak membuang energi. Yang berlalu, biarlah berlalu. Karena diri gue menolak untuk melihat ke belakang. Baik secara harfiah, maupun secara istilah. Terima saja, sayang.

TING!

(to be continued…)

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Satu Hari Tanpa Koma

10 Thursday May 2012

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 1 Comment

Tags

@deardiar, cerita cinta, cerita pendek, cerpen, Diar Trihastuti, fiksi

Prepared by Client:
Diar Trihastuti (@deardiar)

Ganesh

Jam menunjukkan pukul 21.15. Sudah tiga gelas kuminum demi orang yang aku sendiri tidak tau  harus kutemui atau tidak. Tidak sesuai janjinya, sudah hampir 2 jam aku menunggunya.

Sendiri.

Di kafe favorit kami, dahulu.

Aku kembali melihat smartphone di tanganku, apa sebaiknya ku-chat atau tidak. Dan kembali, yang kulakukan hanya membaca potongan-potongan percakapan kami melalui WhatsApp kemarin.

Lolita : Kamu yakin mau ketemu aku? Gendut banget lho aku sekarang
Ganesh : hahaha.. kenapa nggak? Lagian aku udah tau segendut apa kamu
Lolita : Lho? Tau darimana?
Ganesh : Lah.. 
itu profile picture kamu di what’s app isinya pipi semua. 
Itu aja baru mukanya, apalagi badannya
Lolita : hahaha… oke jam berapa?

Kubaca kembali, sambil tersenyum sendiri. Entah mengapa membacanya saja sudah sanggup membuat mukaku memerah. Pffftt…. Sudah lama aku tidak merasakan seperti ini…lagi. Mungkin hanya dia wanita yang bisa membuatku seperti ini.

 

Lolita

“Jadi…?” Aku mengaduk hot chocolate yang sudah mulai dingin, “aku ketemu dia nggak ya?”

“Menurutku sih nggak usah, toh dia juga dulu yang memilih ninggalin kamu,” sahut wanita manis di seberangku.

“Hmmm iya sih. Tapi aku penasaran sekarang dia kayak gimana. Lagipula kan dia dulu ninggalinnya juga karena kita LDR, dia sekolah lagi ambil S2 di Berkeley,” belaku.

“Kamu yakin karena itu? Bukannya lebih tepatnya dia pergi jauh – jauh keluar negeri karena kamu minta dikawinin?“ Ucapnya seperti memberikan pertanyaan retoris.

“Aku nggak minta dikawinin. Aku cuma nanya, rencana ke depannya kayak gimana,” sanggahku.

“Iya, abis itu dia pergi kan. Lariiiii dari keinginan berkomitmen, dengan sok – sok bilang mau sekolah biar abis itu bisa langsung nikah sama kamu. Nyatanya? Makin lama dia disana, yang ada adalah omongan ‘aku mau aku begini’, bukan ‘aku mau nanti kita begini’. Ya kan?” Cerocos Vaya panjang lebar.

Aku terpekur. Tertohok. Ya, memang seperti itu. Dan kembali mataku berkaca – kaca

“Setelah tiga tahun kamu ditinggalin dia dan merasa tersakiti, masih tetap sayang ya kamu ternyata sama dia?” Tanya Vaya bernada prihatin.

“Nggak kok. Aku cuma keinget aja rasa sakit waktu itu,” sahutku sambil cepat – cepat mengambil tisu sebagai langkah siaga pencegahan pertumpahan airmataku, takut menjadi pemandangan para pengunjung restoran yang melihat kami mulai memainkan “drama”. Susah memang berkelit dengan psikiater seperti sahabatku ini. Pekerjaannya sehari – hari memang bermain dengan jiwa dan hati orang. Walau kuakui dia sangat pandai menjaga hatinya sendiri. Tak pernah sekalipun kudengar dari bibirnya kalau dia disakiti oleh lelaki. Mungkin yang ada kebalikannya

“Loli, oke gini deh. Kalau kamu tetep mau ketemu dia, aku temenin. Tapi sekali lagi aku liat kamu ditangisin dia lagi, aku samperin dia dan aku nggak mau janji apa yang bakal terjadi sama dia ataupun kamu nantinya,” ujar Vaya berapi-api.

Oke, sepertinya aku harus berfikir ulang. Wanita di depanku ini bersabuk hitam, dan dia termasuk orang yang sangat menepati omongannya. Dan akhirnya dengan berjanji dalam hati bahwa tidak akan ada airmata lagi, setidaknya depan Vaya atau Ganesh, aku mengangguk pasti.

“Oke Vay, temani aku ya. Tapi kamu nunggunya di meja lain aja. Pura – pura nggak kenal sama aku. Biar aku bisa mengorek lebih jauh tentang dia selama tiga tahun ini dengan berduaan aja,” pintaku

Sekilas dia nampak keberatan namun akhirnya yang keluar dari bibirnya hanya. “Sip! Yuk kita pergi!”

Vaya

Gue gagal mencegah Lolita pergi. Pfft.. mungkin memang sekarang waktu yang tepat untuk Lolita akhirnya tau. Tiga tahun ternyata bukan waktu yang cukup untuk dia melupakan Ganesh. Semoga setelah pertemuan ini, dia tetap menjadi Lolita yang gue kenal. Ya Tuhan, jagalah hati Lolita.

Bertemu

Ganesh

Dia tetap cantik seperti dahulu. Tak menyesal rasanya aku menunggunya berjam – jam. Mungkinkah dia ke salon dulu sebelum bertemu aku? dalam hati aku tersenyum. Ah andai saja..

“Hai Lolita, kamu nggak berubah. Tetap cantik,” ucapku sambil memeluknya erat dan merasakan harum rambutnya. Ternyata dia masih menggunakan shampoo yang sama.

“Eh Hai Ganesh, apa kabar?” Balasnya dengan terengah – engah. Apakah dia habis lari?

Seorang pelayan datang, memecahkan keheningan diantara kami yang entah mengapa dalam diam saja aku merasa nyaman dengan wanita yang pernah mengisi hidupku selama empat tahun.

“Mau pesan apa mbak?” Ujar pelayan itu, tanpa bertanya kepadaku. Ya, aku sudah pesan 4 gelas selama menunggunya. Buat apalagi kan? Dengan memandangnya saja, rasanya dahagaku sudah hilang.

“Baileys,” ujarku bersamaan dengan bibir mungilnya. Aha! Aku masih ingat apa yang dia selalu pesan di café bergaya apartment ini.

Susah memang tiga tahun tidak bertemu, namun begitu banyak yang ingin disampaikan. Sehingga saat benar-benar bertemu seperti ini, kami atau setidaknya aku, bingung untuk memulai pembicaraan dari mana.

“Jadi, kamu dapet darimana nomor handphone-ku?” tembak Lolita. Ya, sejak kami putus dan Lolita memutuskan untuk mencoba melupakan kebersamaan kami, dia mengganti semua nomor yang biasa kuhubungi

“Oh itu, aku nemu di yellow pages, ada namanya Lolita cantik mempesona, ya udah aku simpan deh di handphone-ku. Ternyata kamu punya WhatsApp dan here we go,” ucapku menggodanya

“Seriusan deh….kalau nggak aku pergi lagi nih,” jawab Lolita sambil bergegas ingin mengambil tasnya yang langsung kutahan.

Aku menahannya langsung dan sambil tersenyum berkata, “Lolita, kalau kamu nggak ingin dihubungi sembarang orang, kenapa kamu kasih nomor handphone kamu di linked-in (situs lowongan pekerjaan berbasis social media)”.

“oh.. itu.. aku .. kan itu buat headhunter yang nawarin aku kerjaan, bukan buat lelaki iseng kayak kamu!” sahutnya mulai mencair. Ah.. tawanya.. seandainya aku bisa selalu membuatnya tertawa seperti itu… hfff…

“Iya, jadi ceritanya aku mau pindah Negara, tapi yaa aku harus cari – cari pekerjaan baru lagi kan. Jadilah aku bermain di situs itu dan nemuin kamu,” ujarku berusaha memamerkan gigi putihku.

“Oh ya? Kamu mau pindah ke Negara mana lagi? Nggak bosen – bosen yah melarikan diri,” ujarnya sambil menyeruput Baileys kesukaannya pelan – pelan.

Aha! Jleb! Kata – kata melarikan diri itu sepertinya memang sudah patut kuterima dari dulu.

Sepertinya setelah sekian lama aku menghilang dan memberikan dia kekacauan batin yang luar biasa, inilah saatnya aku menjawabnya… sesuai dengan janjiku pada wanita di ujung sebrang sana.

Lolita

“Aku mau menikah,” ucap lelaki di hadapanku. Jleb! Rasa itu makin menjadi. Mataku mulai berkaca – kaca. Oh Tuhan, setelah tiga tahun menanti, dan ternyata inikah jawabannya?

“Wah, selamat Ganesh! Akhirnya ada yang bisa bikin kamu berkomitmen yaaa,” ucapku menguatkan diri berusaha tersenyum.

“Terimakasih Lo-li-ta,” ucapnya sambil menggenggam tanganku. Tapi buat apa? Toh sudah ada wanita lain yang bisa dia genggam. Namun aku tak kunjung melepaskan genggaman tangannya. Terpekur dalam pikiranku sendiri. Empat tahun pacaran denganku, tapi lelaki ini tidak kunjung berkata ingin menikahiku. Dan dengan selang tiga tahun berpisah denganku, ada wanita lain yang membuatnya tergerak untuk menikah. Oh Tuhan, bolehkah aku mati saja?

“Aku bertemu dia di California waktu kuliah dulu, waktu itu pelajaran …………….. dan akhirnya aku menyadari, bahwa dialah yang selama ini kucari, yang ingin kunikahi”.  Aku sudah tidak terlalu mendengar apa yang dia jelaskan karena pikiranku menerawang. Hanya bisa mendengarnya sepotong – potong.

“Kenapa bukan aku, Ganesh?” akhirnya kata – kata itu muncul dari bibirku.

“Lolita, aku sayang sekali sama kamu. Kamu pasti tau itu. Tapi aku nggak bisa nerusin hubungan kita ke jenjang pernikahan,” jawabnya pilu

“Iya nesh. Tapi kenapa?” suaraku mulai meninggi. Aku tidak pernah mendapatkan inti dari permasalahan kenapa aku diputuskan. Aku terlalu penuntutkah? Aku sudah tidak menarik kah? Atau???

“Kamu tau selama 4 tahun kita pacaran, aku selalu menjaga kesucianmu. Aku tidak pernah berusaha menodai kamu.”

“Iya. Aku tau. Itu pasti karena kamu sayang aku kan?”

“Iya dan umm… tidak”

“Maksud kamu?”

“Iya, benar aku sayang kamu. Tidak, karena ternyata aku menyayangimu mungkin tidak lebih dari sebagai adik”

“Apaaa???!!!”

Aku sudah mulai tak tahan. Aku tak peduli jika Vaya akan langsung datang dan menghajar lelaki di depanku yang pernah menjadi kesayanganku ini

“Aku tidak bisa memberikan kamu anak, Lolita. Bahkan untuk mencoba membuat anak denganmu pun aku tak bisa.”

Mataku sudah kabur dengan airmata. Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sosok yang sekarang terasa asing buatku.

Vaya

“Lolita, akulah calon istri Ganesh,” ucapku pelan.

“Apa maksud kamu, Vaya?” Tergagap Lolita menganga tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Mungkin dalam pikirannya, orang yang selalu dipercaya untuk tumpah ceritakan segala isi hatinya, ternyata merampas tambatan hatinya.

“Tapi… Kamu tidak pernah kuliah di California, Vaya! Please jangan bohongi aku!” hentak Lolita sudah mulai lepas kendali.

“Iya, kakakku yang kuliah disana Lolita. Kamu inget kan?” ucapku berusaha menenangkannya.

“Terus? Apa hubungannya denganmu? Kenapa kamu yang menikah dengan Ganesh-ku?” Lolita sudah tidak mengerti dan merasa menyesal kenapa tadi tidak benar – benar menyimak pertemuan Ganesh dengan pacar barunya.

“Kakakku laki-laki, Lolita. Apa kamu lupa?” ucapku getir.

Lolita terlihat tergugu. Berusaha menyerapnya. Dan akhirnya menoleh ke orang yang pernah amat sangat dia cintai. Mencoba mencari jawaban.

“Aku gay, Lolita. Dan itu baru kusadari setelah kuliah disana, menghabiskan hari-hariku disana. Disanalah aku menyadari mengapa aku selalu ingin melindungimu, namun tidak pernah memiliki hasrat untuk melakukan apapun denganmu. Dan ya, aku jatuh cinta, cinta yang juga memiliki nafsu di dalamnya dengan Haris, kakak Vaya,” ucapnya berat menghela nafas.

“….”

“Namun atas nama adat ketimuran, dan agama, kami tidak bisa menikah. Hanya dengan kebaikan hati Vaya, yang juga kakaknya Haris, dia mau berkorban agar kami dapat tinggal serumah dengan cara yang halal,” sambung Ganesh lagi.

“Halal maksudmu dengan menikahi Vaya, namun sebenarnya yang kau nikahi adalah Haris???” Lolita membelalak tak percaya.

Lolita

Aku sekarat. Setidaknya itu yang aku rasakan sekarang. Aku kehilangan lelakiku dan juga sang sahabat kesayangan. What could be worse?

“Iya Lolita,  maafkan aku. Aku tidak bisa menjelaskannya selama ini via Skype, telpon atau apapun tentang hal ini. Aku pun tau ini salah, tapi ini hatiku yang berbicara. Di sisi lain, hanya kamu wanita yang dapat membuatku tertarik, merasakan getaran-getaran apalah itu namanya. Tapi di lain sisi,aku tau aku tidak normal. Setidaknya menurut kaum awam begitu. Aku ingin menghabiskan hidupku dengan Haris, melalui menikahi Vaya”. Mata Ganesh mulai sendu. Aku langsung tau dia tidak bermaksud membohongiku selama empat tahun kami bersama. Empat tahun  dan dia baru menyadari bahwa dirinya gay. Oh great!

“Namun bagaimana dengan Vaya? Dia pasti juga ingin punya masa depan yang indah! Anak yang lucu – lucu dengan suaminya yang NORMAL nanti,” ucapku sambil menekankan kata – kata NORMAL. Ya Tuhan, aku ingin hari ini tidak terjadi. Aku ingin tidak tau hal ini!

“Masa depan yang indah buatku adalah melihat kita semua bahagia bersama. Kakakku dengan Ganesh. Aku dan kamu. Aku cinta kamu, Lolita. Dan aku ingin kamu menikah dengan kakakku, agar nanti kita bisa tinggal serumah bersama. Maukah kamu menghabiskan hidupmu denganku?” ucap Vaya menggenggam tanganku erat.

“……….”

 -THE END-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

My Kind of Guy

30 Monday Apr 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ 6 Comments

Tags

@gelaph, cerita pendek, cerpen, fiksi, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Layar laptop berkedip-kedip, pertanda ada pesan masuk. Karena sedang tanggung dengan spreadsheet, gue mengacuhkan pesan itu untuk sementara waktu.

Kecepatan detak jantung gue nyaris setara dengan seorang pelari cepat jarak pendek ketika mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.

Raka:
Busy?

Si lelaki pencepat-detak-jantung ini cukup mengirim satu kata. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat gue kebingungan harus menjawab apa. Okay, kita lihat saja apa maunya.

Grahita:
Nope. You?
Raka:
I’m bored.

Well, percakapan satu dua kata. Akan gue jaga sesuai keinginannya.

Grahita:
Hmm…. So?
Raka:
I’m sleepy also.. 
So why don’t we go downstair and get some coffee there? 

Shoot! To-the-point man! My kind of guy.

Grahita:
Sounds great. Let’s!

Kedai kopi di lantai dasar gedung ini pun menjadi tempat tujuan utama. Tidak banyak yang berkunjung, mengingat ini masih terhitung office hour. Akan berbeda halnya jika kami berkunjung selepas jam kerja. Pasti penuh sesak oleh pegawai kantoran di sekitar sini.

Dua cangkir kopi menemani istirahat kami sore itu. Triple Shot Espresso untuknya yang merasa super-ngantuk, dan Dark Mocha untuk gue yang tidak suka kopi pahit. Kami mengobrol ringan saja, seputar sisi lain lingkungan pekerjaan dan hobi di kala senggang.

Dari ceritanya, gue mengetahui kalau dia sudah empat tahun di kantornya sekarang. Dan kebetulan, assignmenttahun ini membuatnya ditempatkan di kantor gue.

Ya, Raka adalah auditor perusahaan tempat gue bekerja. Ia berbadan tegap, berwajah oriental, dan berkaca mata minus tipis. Walaupun tampilannya terlihat serius, ternyata ia sangat kocak. Humoris. Again, my kind of guy. Perempuan mana yang tidak suka dengan lelaki humoris?

And… By the way, tahu auditor itu apa?

Hmmmm…

Okay, gue jelaskan sedikit.

Auditor, berbeda dengan editor, adalah orang yang berprofesi untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan. Apakah laporan keuangan suatu perusahaan telah ditampilkan dengan wajar, tidak ada yang overstated ataupun understated.

Tahu BPK? Badan Pemeriksa Keuangan? Nah, itu contoh auditor pemerintah. Kalau Raka, berasal dari kantor swasta. Istilah umumnya sih kantor akuntan publik.

“You said that you’re bored? And sleepy?” Gue menyedot Dark Mocha, “how come?”

Raka tersenyum tipis, “I’m overloaded, not enough sleep. So much to do with very little time. I think I can bang my head against the notebook. Just like… Bang! Bang! Bang!” Raka berakting seolah-olah membenturkan kepalanya ke meja, dan kami pun tertawa berdua.

Di dunia pergaulan gue, sangat jarang ada orang yang bisa menertawakan kepedihannya sendiri. Dan gue menyukai orang-orang yang dapat melihat sisi positif dari kesulitannya. Satu poin plus untuknya. Oh, my kind of guy, again.

Beberapa saat kemudian, terdengar alunan musik jazz dari telepon genggam miliknya. Bukannya mengangkat, ia malah berkata, “my boss. Going back to the cage, shall we?”

Sambil membenahi rambut, gue mengangguk.

Kami berdua berjalan menyusuri koridor gedung pencakar langit ini. Menuju lift yang akan mengantarkan kami kembali ke lantai 24, sang kantor tercinta.

Sebelum akhirnya pintu lift terbuka, telepon genggam milik Raka berdering lagi. Syukurlah ia tidak mengenal teknologi anti spy untuk layar teleponnya, karena gue bisa melihat dengan jelas nama yang terpampang di sana.

Anastasia.

“Who’s calling?” tanya gue santai.

“Hmmm.. My boss again,” Raka terlihat kikuk, “it must be very urgent.”

“Calm down,” gue meremas bahunya, ”everything is under control.”

Ia tersenyum lebar. Dan saat itu gue mengetahui bahwa ia sangat manis dengan lesung di kedua pipinya.

Anastasia.

Siapapun perempuan itu, anggap saja ia bernasib sial.

Because Raka, is really my kind of guy.

Pintu lift terbuka lebar. Hanya ada dua orang di dalamnya.

Raka menggamit tangan gue, menuntun masuk ke dalam lift. Gue menekan tombol 24 sambil mengulum bibir. Masih ada rasa Espresso pahit di sana. Ya, Triple Shot Espresso, minuman milik Raka.

My kind of guy is must be a good kisser, and love to play. Raka got both of them.

Senyum gue lempar ke arahnya, yang dibalas dengan bisikan di telinga, “you drive me crazy when smiling.”

Pintu lift terbuka lebar, menunjukkan lobi lantai 24. Gue tidak membalas kalimat terakhirnya, malah mengedikkan kepala dan mengibaskan rambut ke belakang, sambil berjalan keluar lift. Suatu gerakan yang gue yakin membuat parfum dari leher berhembus samar ke indra penciumannya. Membuatnya makin penasaran dan lupa daratan.

Dan suara tak-tok-tak-tok high heels gue ketika beradu dengan lantai seolah berkata…

You wanna play? Let’s play, darling.

-THE END-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...

Hati-hati, Hati

29 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Fiction & Imagination

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Sepotong Hati berjalan terseok-seok menuju rumah sakit, butuh pertolongan pertama. Di dalam kepanikannya ia berkata “Dok, tolong saya, saya tidak enak badan, nyaris pingsan rasanya. Ada apa dengan diri saya?”.  Dokter hanya tersenyum, “Tenang dulu Mbak Hati, berbaring saja dulu, sini saya periksa.”

Setelah Dokter selesai memeriksa Hati, ia mengeluarkan statement “diagnosa saya sih Mbak Hati keracunan Air Mata. Cukup akut dan tampaknya sudah cukup lama. Saya tidak akan membuatkan resep apa-apa, karena obatnya hanya waktu, serta menolak datangnya Air Mata. Tapi kalau Mbak Hati pingin bedrest di sini sekedar untuk menenangkan diri juga tidak apa-apa. Saya akan minta tolong perawat untuk menyiapkan kamar untuk Mbak Hati.”

Mendengar statement Dokter, Air Mata langsung menyela “Saya bukannya jahat mendatangi Hati terus-menerus, Bu Dokter. Tapi si Wajah sombongnya setengah mati. Jaim parah. Saya mau mendatanginya, ditahan habis-habisan. Kalau saya nekat, langsung dihapus paksa. Terpaksalah saya mendatangi Hati, karena ia selalu mau menerima saya tanpa banyak kata.”

Mendengar perkataan Air Mata, Wajah langsung membela diri. “Mana mungkin aku membiarkan kamu seenaknya datang dan pergi, Air Mata? Kalau aku sedang sendirian sih aku tidak berkeberatan sama sekali. Tapi terkadang kamu mau datang seenaknya, tidak kenal waktu, bahkan ketika sedang banyak orang. Kan aku malu kalau ada kamu, Air Mata!”

“Ya jangan salahkan aku dong, Wajah. Aku juga muncul gara-gara Kaki melangkahkan dirinya ke tempat itu lagi. Tempat yang membangkitkan kenangan menyakitkan.” Air Mata menjawab sewot.

“Eh eh, kok jadi aku yang disalahkan? Aku juga terpaksa menyeret diriku pergi ke tempat itu lagi. Kalau tidak terpaksa ya mana mungkin aku pergi ke sana? Kurang kerjaan, apa?” Kaki menjawab sengit.

Tangan pun ikut terpancing dalam suasana yang mulai memanas ini. “Kamu tuh Air Mata, jangan terlalu sering keluar rumah, sebentar-sebentar mau main ke Wajah, sebentar-sebentar mau main ke Hati. Kan aku juga yang repot. Kalau kamu main ke Wajah, aku yang sibuk mencari-cari tisu dan mengenyahkanmu. Kalau kamu main-main ke Hati, aku juga yang repot mencari-cari kegiatan sekedar agar ia bisa melupakan kedatanganmu. Ah, kamu memang selalu menyusahkan.”

Terdengar batuk-batuk kecil dari ujung keramaian, ternyata itu Otak yang hendak ambil suara. “Sudah sudah, jangan ribut-ribut. Lain kali, kalian semua sebelum bertindak itu harusnya berkonsultasi denganku dulu, jangan jalan sendiri-sendiri. Kalau tidak, ya jadi begini ini kejadiannya, jadi bertengkar tidak karuan, menyalahkan satu sama lain, merasa diri paling benar.”

Semua terdiam mendengar perkataan Otak. Otak pun langsung menutup percakapan malam itu dengan menyuruh Kaki melingkar di atas guling, meminta Tangan meluruskan diri dengan nyaman, memerintahkan Air Mata untuk tetap di rumahnya, menyuruh Wajah untuk tenang, dan menugaskan Hati untuk melupakan masalahnya sesaat saja. Dan seperti biasa, Otak merasa kesal karena si satu itu lagi-lagi tidak mau menuruti perkataannya. “Terkadang ia memang pantas diberi sedikit penyakit”, gumam Otak di sela-sela tidurnya.

-Jakarta, 20 Desember 2011-

-THE END-

Share this:

  • Click to share on X (Opens in new window) X
  • Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

  • gelaph's avatar
  • clients's avatar
  • myaharyono's avatar

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph's avatar gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients's avatar clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono's avatar myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

Tweets by myaharyono

Gelaph on Twitter

Tweets by gelaph

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Subscribe Subscribed
    • working-paper
    • Join 41 other subscribers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Subscribe Subscribed
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d