• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Author Archives: clients

Perih

13 Wednesday Mar 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ 2 Comments

Tags

@sarahpuspita, cinta, hutang budi, obsesi, perih, Sarah Puspita

Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)

“Spaghetti bolognaise-nya satu ya, Mbak. Sama ice lemon tea.”

“Saya sama.”

Pelayan itu mencatat pesananku dan Dira dengan patuh. Setelah mengulang membacakan pesanan kami berdua, ia pamit undur diri.

“Sabtu ini jadinya gue ke tempat anak-anak ya. Lo nggak mau kemana-mana kan?”

Aku diam. Kemudian melukis senyum menyebalkan di bibirku. “Terserah elo. Kaya gue punya hak aja ngelarang-larang. Emang gue siapa?”

“Hahaha, iya ya. Emang lo siapa?”

“Yup, kita kan udah bukan apa-apa. Lo juga udah bukan siapa-siapa.” ujarku tawar.

Dira diam. Aku diam. Kami berdua duduk bersama, dengan pikiran yang menuju ke arah yang jauh berbeda. Lalu tiba-tiba saja aku ingin mengecek smart phone-nya. Aku pun meraih HP yang aku belikan untuknya itu, yang tergeletak di meja.

“Eh! Ngapain sih?” Ia panik, berusaha meraih smart phone-nya yang kini ada di tanganku. “Sini nggak! Nggak sopan banget sih lo jadi orang!” Nadanya meninggi. Mukanya memerah menahan geram.

Aku tersenyum mengejek. Kemudian melempar mobile cellular itu kembali ke meja.

“Kenapa sih? Kan gue cuma mau liat galeri aja… Pasti ada foto gebetan baru ya.” sindirku sinis.

“Pernah diajarin sopan santun nggak sih lo? Suka-suka gue. Mau ada foto gebetan kek. Siapa kek. Bukan urusan lo. Bukan hak lo buat nanya-nanya. Inget kan kita udah putus? Inget kan lo bukan siapa-siapa gue lagi? Ngapain mau tau? Ngaca dong. EMANG LO SIAPA?” tandasnya tajam.

Aku diam lagi. Masih berusaha menahan sakit yang ditimbulkan akibat ucapan kasarnya. Dira yang selalu temperamental. Aneh, mengapa aku belum juga terbiasa? Padahal, setiap kami bertemu, setiap kami bicara, aku selalu dihujani kepahitan yang sama. Tapi, mengapa air mata ini masih juga menggenang di sudut mata? Tidak turun dan keluar, serta terlalu bening untuk tertangkap mata.

“Tau kok. Lo emang bukan siapa-siapa. Cuma satu dari jutaan cowok brengsek di dunia.” jawabku singkat, berusaha mengontrol nada bicaraku. Sedemikian rupa aku berusaha menguasai diri.

“Yang selalu lo kejar-kejar? Yang nggak bisa lo lepasin? Yang selalu lo minta bahkan sampe ngemis untuk kembali?” balasnya tak kalah pedas. Continue reading →

Advertisement

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sayang yang (Telanjur) Membeku

06 Wednesday Mar 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@sindyshaen, cerpen, fiksi, Sindy Shaen

Prepared by Client:
Sindy Shaen (@sindyshaen)

Hujan belum juga berhenti saat kamu datang mengetuk pintu rumahku dalam keadaan basah kuyup.

“Mau apa kamu ke sini tengah malam begini?” Itulah pertanyaan yang spontan keluar dari mulutku.

“Aku mau minta maaf. Tolong, maafkan aku!” Jawabmu dengan nada lirih.

Malam ini, tiga hari setelah kata putus meluncur dengan berat dari mulutku.

“Kita putus saja! Aku tak tahan menjalani hubungan bersama seseorang yang masih mencintai mantan kekasihnya.”

“Tapi, aku hanya mencintaimu, Sayang. Tidak ada dia yang lain di antara kita.”

“Lalu, ini apa? Apa maksudmu masih menyimpan foto mantan kekasihmu di handphonemu?”

“Itu, itu…”

“Ah sudahlah! Aku capek meladenimu! Kita putus!”

Selintas pertengkaran malam itu memenuhi benakku sebelum perkataanmu memecah hening di antara kita.

“Boleh aku masuk?”

“Tidak! Kita bicara di teras saja!” Jawabku dengan nada ketus.

Aku melihat tubuhmu mulai menggigil kedinginan. Dua tangan dilipat di atas perut, seakan memeluk dirimu sendiri. Bibirmu mulai membiru. Ada rasa iba yang tiba-tiba muncul. Bajumu basah dan kamu kedinginan. Aku khawatir nanti kamu jatuh sakit.

Ah! Segera kulenyapkan rasa kasihan itu. Kamu bahkan tega menyakitiku lebih dari itu. Lagian, bukan aku yang menyuruhmu hujan-hujanan tengah malam begini. Bukan aku juga yang memintamu untuk datang meminta maaf. Aku tak butuh kata maaf darimu karena di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi.

“Aku minta maaf!” Sekali lagi perkataanmu memecah hening di antara kita, dan suaramu sedikit bergetar karena menggigil kedinginan.

“Kurasa tak ada yang perlu dimaafkan. Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Toh, maaf itu tak ada gunanya lagi.”

“Tapi aku benar-benar ingin minta maaf. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

“Kita? Tak akan ada lagi ‘kita.’ ‘Kita’ sudah mati!” Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Menikmati (Bersama) Bintang

27 Wednesday Feb 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@saputraroy, komedi, Roy Saputra

Prepared by:
Roy Saputra (@saputraroy)

 

Alkisah, hiduplah seorang Pocong. Semasa jayanya, Pocong adalah seorang superstar, bintang film papan atas, dan bahkan pernah bermain iklan bareng Luna Maya di sebuah iklan sabun cuci. Luna Maya jadi ibunya, Pocong jadi baskom cuciannya. Berbagai judul film yang ada kata Pocong-nya, pasti ia yang perankan. Saking suksesnya, ia pernah mendapat gelar sebagai pemain film horror dengan bayaran tertinggi.

Tapi itu dulu.

Sekarang tawaran main film mulai berkurang. Meskipun ada, itupun untuk film komedi atau parodi. Tidak ada adegan kejar-mengejar calon korban, tusuk menusuk jantung, atau gigit mengigit leher. Yang ada hanya adegan lompat-melompat lalu kejedot tembok. Dan semua itu minim dialog. Padahal Pocong sudah ambil kelas aksen berbagai macam negara sebanyak 5 pertemuan di sela-sela jadwal shooting. Ia merasa kemampuan beraktingnya kurang dieksploitasi saat bermain film komedi. Ia ingin kembali bermain film horor namun tawaran sedang sepi.

Di masa sulit seperti ini, Pocong berbagi sewa apartemen dengan Kuntilanak di Jakarta Pusat. Kunti -begitu sapaan akrab Kuntilanak- juga seorang pemain film kawakan, seangkatan dengan Pocong, Suster Ngesot, dan Jelangkung. Kunti berkenalan dengan Pocong saat ia sedang jalan-jalan ke Singapura naik budget airlines. Bertemu saat Pocong sedang bingung ingin minta tolong siapa untuk mengambil fotonya di patung Merlion. Jangankan teman, jempol untuk menekan tombol kamera pun ia tak ada. Untung ada Kunti di situ, dan singkat cerita, mereka menjadi akrab.

Di suatu malam yang naas, mereka berdua sedang santai di ruang tengah apartemen. Ditemani lagu yang bermain pelan dari radio, Pocong duduk di sofa, menonton acara berita di televisi yang dengan santainya bertanya bagaimana-perasaan-anda pada korban bencana alam. Kunti sendiri rebahan di karpet, membaca majalah anak muda masa kini, sambil menggoyang-goyangkan kaki. Awalnya mereka berbincang tentang politik dan kaitannya dengan harga cabai yang melonjak. Namun saat ada kesempatan, Pocong curhat tentang kariernya yang semakin suram. Tadinya ia mau curcol, alias curhat colongan. Tapi karena banyak yang ingin ia bahas, sepertinya ini akan jadi curpandik, alias curhat panjangan dikit.

“Kun, tawaran main film sepi banget ya sekarang?” Pocong memulai sesi curhat malam itu.

“Iya, Cong. Musim film sudah berganti. Film-film horror sudah ndak happening lagi,” jawab Kunti dengan logat Jawa-nya, sambil sibuk membalik-balikkan halaman majalah.

“Tapi kan gue gak mesti main film horror, Kun. Film apa aja gue cocok kok,” balas Pocong sambil menggaruk-garuk pipinya yang bernanah. Entah apa yang di pikirannya sehingga ia yakin bisa berhasil main di film non horror dengan pipi yang kurang higienis.

“Yang lagi ngetop itu film dari akun Twitter gitu. Kamu main Twitter ndak, Cong?” tanya Kunti.

Pocong terdiam sejenak dan membuka akun Twitter dari gadgetnya. Akun @Pocong_Asli_Sumpah_Deh sudah ia buat sejak beberapa bulan lalu, tapi followernya hanya 3. Ibu, Bapak, dan seorang satpam yang ia ancam sebelumnya. Isi twitnya berkisar tentang kehidupan sehari-hari, sambil sering kali meng-RT[1] artis idolanya, Anisa Chibi. Suatu kali si satpam menge-twit bahwa Pocong sepi follower karena ia RT abuser dan sering pakai twitlonger. Pocong mengiyakan pernyataan itu, dengan meng-RT sampai perlu pakai twitlonger.

Begitu semangatnya mencari follower, Pocong sampai memasang bio: Folbek? Just mention. Tidak hanya sampai di situ. Ia membuat kuis. Jika followernya sudah sampai 100, ia akan bagi-bagi voucher pulsa. Tapi itu semua gagal. Sempat terpikir untuk meng-copy paste twit akun lain, namun ia punya prinsip lebih baik sepi follower daripada harus mencuri kreativitas orang.

Diam-diam, Pocong meng-log out Twitter, “Gak, Kun. Gue gak main Twitter. Ada film lain?”

“Hmm,” Kunti berpikir sejenak, “Sekarang juga lagi banyak film yang diadaptasi dari novel gitu, Cong.”

“Wah, cocok ini!” seru Pocong antusias.

“Tapi ceritanya tentang kaum urban gitu,” jelas Kunti, “Orang kantoran dengan problematikanya.”

Pocong tak mau mati angin, “Bisa lah gue jadi orang kantoran! Bisa!”

Kunti menoleh ke arah Pocong dan menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala, “Orang kantoran, Cong? Putih lonjong kayak kamu mah paling banter jadi pilar di lobby kantor. Atau mentok-mentoknya jadi cadangan kertas mesin fax.”

“Ck. Jaman bener-bener sudah berubah ya, Kun?” keluh Pocong.

Kunti menghela nafas dan menutup majalah yang sedari tadi ia baca, “Begitulah, Cong. Musim berganti. Masa jaya kita sudah lewat, meski begitu…”

“Gue tau, Kun!” teriak Pocong memotong petuah Kunti, “Kita bikin boyband aja! Kan lagi happening tuh. Nyanyi sambil joget-joget.” Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan

21 Thursday Feb 2013

Posted by clients in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@dendiriandi, cerpen, cinta, Dendi Riandi

Prepared by Client:
Dendi Riandi (@dendiriandi)

Kulangkahkan kaki menyebrangi jalan raya, setelah memastikan tidak ada kendaraan yang lewat dari sebelah kiriku. Gerimis kecil yang terjatuh dari langit membuatku mempercepat langkah, berlari-lari kecil sambil menutupi atas kepala dengan kedua tangan. Tujuanku menuju kedai kopi yang terletak dekat tikungan, tepat di ujung jalan ini.

Dengan perlahan ku jejakkan kaki ke dalam kedai kop. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tempat ini masih sama seperti dua tahun lalu. Kursi-kursi dengan bentuk klasik namun beralaskan bantal empuk berjajar empat-empat, berbaris rapih mengelilingi meja berbentuk bongkahan kayu besar setinggi pinggang. Ada 20 meja di dalam kedai kopi ini. Beberapa lukisan dengan bergambar para petani kopi dengan bermacam bentuk menghiasi dindingnya. Sebuah meja barista, tempat kita memesan minuman berada di bagian belakang ruangan ini. Di belakang meja barista terdapat empat buah coffee maker.

Mataku kembali menyisir seluruh ruangan, mencari-cari seseorang yang baru saja masuk ke kedai kopi ini tadi. Seorang wanita ber-cardigan ungu dengan celana jeans hitam. Dia, wanita yang sudah berhari-hari ini sedang kucari. Malam ini aku menemukannya di sini, di dalam kedai kopi ini. Kedai kopi tempat pertama kali kami berjumpa.

Pandanganku berhenti tepat di pojok sebelah kiri dari ruangan. Di meja paling belakang, wanita itu sedang duduk. Di meja itu, dua tahun lalu, pertama kalinya aku menyentuh tangannya dan saling berkenalan. Dia duduk berdua, sepertinya dengan seorang pria. Kufokuskan mataku ke arah pria itu. Rambut belah pinggir dengan sisiran klimis, kemeja rapih, celana bahan dan sepatu pantopel. Sial, sepertinya aku kenal dengan pria itu. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Dua Tangis Untuk Kasih

13 Wednesday Feb 2013

Posted by clients in Fiction & Imagination

≈ Leave a comment

Tags

@kikisuriki, cerpen, fiksi, Kiki Raihan

Prepared by client:
Kiki Raihan (@kikisuriki)

Seperti juga kamu, aku tak tahu bagaimana caranya mengucap selamat berpisah pada mereka yang kucinta. Jadi, tolong jangan tanyakan bagaimana caranya mengatasi perasaan perih terkelupas saat kau harus melambaikan tangan pada mereka yang kau sayang.

Entah di depan pintu embarkasi bandara, peron kereta api, dermaga pelabuhan, terminal bis, atau bahkan di tepian ranjang seseorang yang napasnya tinggal satu persatu.

Dari kecil dulu aku sudah tahu. Aku bukanlah orang yang terampil membahasakan gumpalan pedih perih. Pun senang riang yang diam-diam berjejalan memenuhi ruang sanubari dan pikiran. Aku lebih suka tertawa dalam diam, memaki dalam hati tanpa dendam, dan menangis pelan-pelan bagai gerimis redam. Tolong maklumi diriku. Sebab ayah bundaku tak pernah mengalirkan tradisi membuka diri seperti yang kalian pelajari dari keluarga masing-masing. Continue reading →

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 41 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: