• Gelaph’s Blog
  • Mia’s Blog
  • Gelaph on Tumblr
  • Mia on Tumblr
  • About Working-Paper

working-paper

~ Documentation of Emotion

working-paper

Author Archives: gelaph

Matahari, Bumi, dan Bulan

29 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Fiction & Imagination

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, bulan, bumi, cerita pendek, fiksi, Grahita Primasari, matahari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

 

Bumi

Ah, kemana lagi si Matahari? Tidak tahukah ia di sini aku merindukannya? Apa sajakah gerangan hal yang menjadi urusannya sampai-sampai ia sering menghilang?

Bulan

Aku selalu mengagumi Bumi. Ia begitu cantik. Warna biru lautannya bercampur indah dengan warna hijau daratannya. Apalagi kalau ia mengenakan awan putihnya, berarak di atas pelupuk matanya, sungguh aku jatuh cinta. Tapi tampaknya ia sangat mencintai Matahari. Si makhluk angkuh yang semena-mena, yang selalu menutupi keberadaanku dengan kekuatan cahayanya.

Matahari

Aku capek dengan Bumi. Kerjanya mengomel terus tiada henti. Aku berikan cahaya untuk menumbuhkan pepohonannya, ia bilang ia kepanasan. Saat aku menyingkir dan membiarkan Hujan menumpahkan air matanya, ia bilang ia kedinginan. Saat aku bersamanya, ia mengenakan awan putihnya, tak mau menatapku. Saat aku tak ada, ia mencariku. Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya.

Bumi

Dan hey, siapa itu yang muncul di balik pekat malam? Menarik juga dia. Tampan dan tenang. Cahayanya sungguh lembut menyentuh wajah.

Bulan

Akhirnya ia menyadari keberadaanku. Ia harus tahu bahwa selama ia sibuk mengelilingi Matahari, aku selalu berada di dekatnya, mengelilinginya, berharap bahwa ia menyadari aku akan selalu ada untuknya. Dan malam ini, aku sedang dalam kondisi terbaikku, purnama. Kulemparkan senyum dan kuajak ia bersenda gurau. Kubiarkan ia berkeluh kesah. Hanya itu yang dapat kuberikan kepadanya. Mana sanggup aku memberikan cahaya yang ia butuhkan untuk menumbuhkan pepohonannya? Mana sanggup aku menyelaraskan Merkurius, Mars, Venus, dan lain-lainnya itu agar tetap berada di lintasan masing-masing dan tidak mengganggunya?

Matahari

Akhir-akhir ini aku merasa bahwa Bumi agak aneh. Ia tidak sering cemberut seperti biasanya. Cemberut yang menyebabkan lempengan wajahnya bergeser dan membuat gempa. Atau marah-marah sambil melontarkan kerikil-kerikil panas dari kawah berapinya. Apa yang terjadi padanya? Ia tampak, bahagia? Ah tapi sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Bumi

Dan hey, apa ini? Kenapa banyak kupu-kupu beterbangan di sekitar khatulistiwaku? Semakin lama semakin banyak, membuatku mau tak mau jadi tersenyum melihatnya. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi? Dengan sosok lembut nan menenangkan itu? Ah, mengingatnya saja sudah mampu membuatku mengundang Bu Pelangi ke rumah, padahal Pak Hujan sudah lama tidak kuajak mampir.

Matahari

Tampaknya aku tahu apa penyebab keanehan Bumi akhir-akhir ini. Aku memergokinya sedang bercanda tawa dengan Bulan. Ia tampak sangat bahagia. Garis bawahi kata “sangat”.

Bulan

Kenapa malam berlalu begitu cepat? Tumben Matahari bangun lebih awal, jadi tadi ia sempat melihatku sedang mencela Bumi gara-gara ia bilang kalau ia lupa membersihkan salah satu sungainya. Astaga, cantik-cantik jorok ya dia ternyata? Hahaha. Tapi aku tetap mencintainya, dan ia hanya perlu tahu hal itu. Itu saja sudah cukup bagiku.

Bumi

Ah, aku bingung sekali. Pagi itu Bulan menyatakan perasaannya padaku. Bahwa ia sangat mencintaiku. Sungguh, yang ingin kulakukan saat itu hanyalah memeluknya, tapi entah kenapa aku malah berlari menjauhinya. Aku tak sanggup berlama-lama menatap mata teduhnya. Aku takut aku makin jatuh cinta. Aku tidak mungkin mengkhianati Matahari yang begitu setia menjagaku. Aku tidak bisa. Itu saja.

Matahari

Ada apa dengan Bumi? Kenapa beberapa hari ini badai tsunami menghiasi wajahnya? Begitu aku mendekat untuk menghiburnya, ia malah makin terlihat merana, menolak untuk kudekati. Baiklah, akan kubiarkan ia sendiri saja dulu untuk menenangkan dirinya.

Bulan

Sungguh aku sedih sekali melihat Bumi beberapa hari ini. Sakit rasanya melihat ia bergulung dengan kesedihan. Mungkin memang ini yang terbaik untuk semuanya. Kalau aku mengikuti egoku, akan kubawa ia agar selalu bersamaku. Tapi aku tahu, itu tidak baik untuknya. Ia bisa mati tanpa keberadaan Matahari. Tampaknya aku yang harus menarik diri dari kehidupannya. Agar ia bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Pertanyaannya, mampukah aku hidup jauh darinya?

———————————————————————————————————————————————————————

Dari kejauhan Sang Sutradara tersenyum melihat ketiga aktornya. Ia telah merancang skenario untuk mereka bertiga. Pada suatu waktu, ia akan memercikkan api cemburu sedikit lebih banyak pada Matahari dan menambahkan sejumput ego pada Bulan. Hal ini akan membuat perang antara keduanya tak terelakkan, dengan Bumi sebagai pelerai. Sehingga pada akhirnya, mereka bertiga akan hancur, lebur, lalu kembali kepada ketidakadaan.

-Jakarta, 11 Desember 2011-

 

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Si Jaket Merah

29 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Estafet Working-Paper

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerbung, cerita pendek, estafet WP, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Deru mesin sepeda motor terdengar menjauh. Begitu pun dengan punggung berjaket merah, yang pada akhirnya menyisakan sebias titik di ujung jalan.

Setelah beberapa detik termenung di balik jendela, gue merapatkan kembali kedua kelepak tirai merah muda bermotif bunga. Lelaki tersebut baru saja mengantar gue pulang dari taman. Dan mata gue mengekor kepergiannya dari balik jendela kaca.

Hmm, tampaknya sudah saatnya mandi. Gue nggak betah berlama-lama mengenakan pakaian yang berbau asap rokok. Dari dulu gue selalu suka melihat ia merokok, namun benci dengan baunya yang menempel di rambut dan baju. Apalagi kalau menempel di terusan biru laut favorit gue ini. Urghhh… mana rela?

“Bajunya cantik.” Begitu komentarnya ketika pertama kali melihat gue mengenakan pakaian ini.

“Tapi, cantikan lo sih…” lanjutnya dengan senyum jahil tertahan.

Gue yang tahu dia hanya bercanda, hanya ingin menggoda, mendaratkan sebuah pukulan ringan di bahunya sambil tergelak kencang.

Dan asal tahu saja, hari ini gue sengaja berdandan lebih keras dari biasanya. Itu semua karena gue berniat menyatakan cinta padanya di taman kota. Semua sel tubuh gue kuatkan untuk mengatakan bahwa betapa dia sangat berarti. Pun segenap keberanian gue kumpulkan untuk mengakui kalau ia diinginkan, lebih dari sekedar teman.

Namun sayangnya, gayung tidak bersambut. Alasannya standar saja, ia tidak bisa, katanya. Ia hanya menganggap gue sebagai sahabat baiknya. Tidak kurang, tidak lebih.

Tahukah ia, saat kalimat penolakan itu meluncur dari bibirnya, hati gue terluka? Seperti terkena silet tajam. Lukanya kecil, namun dalam. Meninggalkan perih yang tak tertahan.

Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah penolakan?

Air mata menetes lagi. Gue mengusap paksa, berusaha menghapus bayangannya yang berwujud dalam tangisan. Namun, semakin gue berusaha melupakannya, semakin ingatan tentangnya menancap kuat di kepala.

Dan sungguh, gue ingin melupakannya.  Melepaskannya. Merelakan hatinya yang tidak bisa dipaksa untuk mencinta.

Gue baru bisa memejamkan mata sekitar jam tiga dini hari. Untungnya besok adalah hari Sabtu, akhir pekan, sehingga gue bisa bangun agak siang.

Demi menghilangkan kesedihan, gue memutuskan untuk melakukan me time. Kali ini pilihan jatuh ke salon dan spa di salah satu mall ternama di bilangan Jakarta Selatan. Kayaknya enak nih dipijat. Apalagi plus lulur dan creambath. Ada getar bahagia yang terasa, hanya dengan membayangkan nikmatnya spa seharian.

Sudah tak sabar ingin memanjakan diri, gue pun langsung memacu Cherry si sedan merah di tol dalam kota. Tidak terlalu kencang tentu saja, mengingat Sabtu sore adalah waktu favorit Jakarta untuk menyuruh Si Komo menari-nari di tengah jalan raya.

Untungnya parkir mobil dengan mudah bisa gue temukan. Mendapat parkir di mall ini pada Sabtu sore sudah selayaknya dihitung sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, saking sulitnya.

Begitu turun dari mobil, gue melihat sekelompok remaja putra dan putri sedang tertawa bahagia. Canda riang mereka mengingatkan akan persahabatan gue dan dia yang kandas begitu saja karena ia menolak untuk menaikkan status hubungan kami.

Kaki gue melangkah memasuki ruang perawatan spa yang terdapat di lantai dasar mall. Bunyi pintu kaca yang berderit tertutup di belakang tidak mampu mengalihkan perhatian gue dari pemandangan di depan mata.

Si jaket merah.

Di depan meja kasir.

Digandeng seorang wanita langsing dan manis rupawan.

Ah, gue mengerti apa arti kata “tidak bisa” yang ia maksud. Kenapa kamu tidak berterus terang saja, sayang?

(to be continued..)

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Manusia Zaman Batu

23 Monday Apr 2012

Posted by gelaph in Fiction & Imagination

≈ 3 Comments

Tags

@gelaph, cerita pendek, fiksi imajinasi, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Hari ini saatnya gue belajar mata pelajaran Sejarah Manusia Abad 21. Dan tadi gue bangun kesiangan, jadi agak telat sign in di virtual college modul. Dosen dan semua mahasiswa sudah lengkap ketika gue bergabung di kelas ini.

Ding!

Sebuah broadcast message muncul di dinding kamar yang gue jadiin layar komputer. Melihat ID dan wajah pengirimnya aja udah bikin gue mules.

Bapak Dosen Killer yang Suka Ngiler:
Grahita. Kemana saja kamu? Terlambat lagi, terlambat lagi.

Zzzzz si bapak ini yah. Kenapa harus di broadcast message sih? Kenapa nggak personal message aja? Bikin malu aja deh. Gengsi kan sama Raka, gebetan gue yang gantengnya bikin garuk-garuk meja.

Hmmm… tapi masih untung sih dia nggak melakukan broadcast video call. Bisa keliatan muka malu gue diomelin sama dia di depan para mahasiswa lain. Ehem, di depan Raka maksudnya.

Kuliah Sejarah hari ini membahas peralatan elektronik yang digunakan oleh manusia abad 21. Gue hanya bisa prihatin melihat peralatan yang mereka gunakan. Masak mereka harus membawa laptop, handphone, dan MP3 untuk fungsi yang berbeda? Sementara sekarang, hanya butuh satu alat kompak yang disebut handtool. Berukuran seperti handphone manusia abad 21, namun bisa dipakai sebagai laptop juga. Tinggal pilih menu laptop, maka akan bisa menyulap permukaan datar vertikal sebagai layar, dan permukaan datar horizontal sebagai keyboard. Dan lagi, walaupun alat ini sedang berfungsi sebagai laptop, bukan berarti ia nggak bisa dipakai sebagai telepon dan MP3.

Parahnya lagi, baterai peralatan elektronik manusia abad 21 hanya tahan satu hari! Demi semua dewa dewi, satu hari! Bahkan tak jarang, baterainya hanya tahan setengah hari. Mereka harus bolak-balik mengisi ulang baterai ke stop kontak listrik terdekat. Kasihan banget. Gue yang harus ngisi ulang baterai setahun sekali aja udah misuh-misuh kalau saatnya tiba.

Yang lebih kasihan adalah, jaringan internet hanya bisa diakses di tempat-tempat tertentu atau dengan menggunakan alat khusus. Namanya wi-fi dan modem. Sementara sekarang udah ada global internet. Setiap titik di muka bumi mendapatkan akses internet, tanpa terkecuali.

Hhhhh… Wajar sih. Toh itu peradaban tiga abad yang lalu. What do I expect?

Gue menarik napas lega ketika mata kuliah ini berakhir. Sekarang saatnya bertemu dengan teman-teman. Secara kita udah janjian untuk ngopi-ngopi lucu di café langganan. Tepatnya di lantai 151 salah satu gedung pencakar langit di Thamrin.

Dengan malas, gue merayap ke arah garasi tempat Bibo disimpan. Ia mobil kesayangan gue. Warnanya kuning cerah, favorit gue banget.

Gue memasukkan tujuan Thamrin dari Grogol. Dan berdasarkan petunjuk GPS si Bibo, jalan terdekat yang bisa gue dapatkan hanyalah dengan cara terbang melewati Roxy dan mulai turun di Harmoni, karena jalan darat dari Harmoni ke Thamrin terpantau ramai lancar. Untung aja rute kali ini nggak perlu lewat Kali Grogol. Terakhir Si Bibo disuruh berenang di kali dekil itu, ia ngambek abis-abisan. Gue terpaksa membelikan oli paling mahal untuk cemilan sorenya.

Auto-driver Si Bibo gue set on. Waktu perkiraan sampai di tempat tujuan adalah 22 menit 8 detik. Saatnya meluruskan kaki sambil melanjutkan membaca novel yang gue beli semalam. Gue mengeluarkan handtool, mengarahkan lampu sorot ke arah dashboard, lalu mengatur luas permukaan novel agar bisa nyaman dibaca.

Ketika mendarat di Harmoni, gue melihat ada sebuah kios bertuliskan “Jual Es Potong”. Penampilan kiosnya sangat klasik, persis seperti arsitektur tahun 2000-an awal yang sering gue liat di mata kuliah Sejarah.

Gue memutuskan untuk membeli sepotong. Harganya 2 Point. Murah. Sama seperti harga sepiring nasi instant.

Tas gue aduk-aduk, namun gak menemukan Pay Card di sana. Pay Card ini semacam kartu pembayaran yang berlaku di dunia internasional. Hanya ada satu mata uang di dunia, Point. Dan satu kartu pembayaran, Pay Card, untuk semua jenis transaksi di seluruh dunia, tanpa terkecuali.

Mbak penjaga kios es potong hanya melihat prihatin ke arah gue yang membatalkan pembelian karena nggak menemukan Pay Card di dalam tas. Setelah gue deteksi dari handtool melalui nomor kartunya, ia ternyata tersimpan manis di tas yang lain.

Huh sebal.

Kalau gue tinggal di abad 21 sih, gue bisa mengorek tas dan mungkin menemukan uang logam di sana. Jadi kan gue nggak perlu repot pulang hanya sekadar untuk mengambil Pay Card.

Dan kalau dilihat dari penampilannya, gue yakin si Mbak penjaga kios ini suka berdandan. Ia pasti bersedia membarter lima es potong dengan lipbalm strawberry milik gue.

Gue jadi bertanya-tanya, apakah gue lebih cocok hidup di zaman batu? Di mana manusia bertransaksi dengan tukar-menukar barang dan jasa?

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

Sebuah Perjalanan

15 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ 5 Comments

Tags

@gelaph, cerita pendek, fiksi, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Dengan tergesa-gesa, gue berjalan masuk ke dalam ruang tunggu travel. Raka, sang pacar dua bulan belakangan, tampak kedodoran mengikuti langkah gue. Dia mengantar ke pool travel yang akan membawa gue ke Jakarta, seperti biasa.  Ini memang kegiatan rutin nyaris setiap akhir pekan. Gue naik travel dari Jakarta, dan dia akan menjemput di Bandung. Begitu gue balik ke Jakarta, ia akan mengantar sampai ke pool.

Gue  memang sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Hal ini dikarenakan gue bekerja di ibu kota, namun punya orang tua yang tinggal di kota kembang. Sementara ia, lahir, tumbuh, dan menetap di kota-seribu-wanita-cantik ini sampai sekarang.

“Mas, atas nama Grahita, ke Grogol,” kata gue begitu setiba di depan meja check in.

Petugas front office berseragam merah mengangkat muka, “sebentar, saya cek dulu. Untuk keberangkatan jam berapa, Ibu?”

“Jam lima, Mas.” Gue menjawab sambil menahan diri untuk gak protes dipanggil dengan sebutan ‘Ibu’. Sudahlah, mungkin itu prosedur standar. Lebih sopan dan rapih dibanding memanggil kakak atau teh atau mbak, mungkin?

“Maaf, Bu,” dia menghela napas, “untuk keberangkatan jam lima ke Grogol, sudah penuh.”

“Lah? Sudah penuh gimana? Kan saya udah booking?” gue melirik jam dinding, “dan saya kan gak telat.”

“Iya, tapi seharusnya Ibu datang 15 menit sebelum keberangkatan. Sekarang kan udah jam 16.50.” si petugas berusaha menjelaskan.

“Kan baru lima menit, Mas. Masak saya udah nggak bisa naik,” gue melemparkan poni ke belakang, “hoo, saya ngerti…. Tiket saya udah dijual ke orang lain ya? Begitu?”

Ia tidak menjawab, mendadak sibuk dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

“Yaudah, keberangkatan berikutnya aja. Jam berapa adanya?” terdengar pertanyaan dari Raka yang dijawab dengan takut-takut oleh si petugas, “maaf sekali, untuk hari ini kita udah fully-booked Pak. Sampai  yang terakhir jam 10 malam juga udah penuh.”

“APA?! Terus saya naik apa dong ke Jakarta? Kamu main jual aja sih. Nggak confirm dulu ke saya.”  Gue mulai naik darah.

Didi, begitu nama yang tertulis di ID card yang tertempel di dadanya, hanya bisa terdiam.

“Coba aku telpon travel lain ya, kali aja masih ada yang kosong,” kata Raka sambil mengeluarkan telepon genggam dari kantong celananya.

Gue merengut, “yaudah, aku juga telpon travel lain deh. Walaupun nggak yakin juga sih. Ini long weekend,  gitu kan…”

“Udah, kamu tenang aja ya…” Raka mengacak rambut gue pelan.

Ia berhenti mengacak rambut gue ketika tersambung dengan travel lain di daerah dekat sini.  “Eh, halo? Mbak? Mau pesan travel buat sore ini ke Jakarta, masih ada nggak ya?”

Pertanyaan yang sama diulangi untuk beberapa travel, dan menemui jawaban yang sama pula: semua kursi penuh. Gue yang mulai gemas dan kesal langsung meminta dipertemukan dengan manager on duty dari travel ini. Dan di sinilah gue sekarang, di depan meja sang manager.

“Jadi gini ya Pak. Saya tau kalian mau mengejar pendapatan maksimal. Daripada kursi yang udah saya book itu kosong, makanya kalian langsung jual aja. Tapi kenapa nggak confirm dulu sih? Tanya dulu dong, saya jadi pake kursi itu atau nggak? Jangan main jual aja!” semprot gue emosi.

Sang manager on duty ini masih muda. Perkiraan gue, umurnya sekitar akhir dua puluh atau awal tiga puluhan. Penampilannya bersih dengan kemeja berwarna biru langit dan rambut di-gel ala anak muda zaman sekarang.

“Begini, Mbak. Kita mengerti permasalahannya. Tapi kita tidak menyalahi prosedur. Penumpang harus hadir 15 menit sebelum keberangkatan. Kalau tidak, kita bisa anggap ia membatalkan pesanan,” jelas Pak Vino, si manager on duty.

“Ya tapi etikanya di mana?” Gue mendengus sebal, “Masak penumpang nggak dikasih tau? Ini pembatalan sepihak namanya!”

Raka menyentuh punggung gue, “yaudah deh Pak. Sekarang gimana caranya biar dia dapet kursi. Semua travel penuh hari ini. Bapak nggak bisa ngusahain satu kursi aja buat pacar saya?”

Pak Vino tersenyum, “sayang sekali Mas, kita udah fully booked. Mungkin Mbaknya mau saya daftarkan di waiting list untuk keberangkatan berikutnya? Jam enam sore, gimana?”

“Kenapa Bapak nggak nelponin semua penumpang yang berangkat jam enam sore? Siapa tau ada yang cancel. Kalo nggak ada, ya calon penumpang keberangkatan berikutnya yang Bapak telponin!” Gue masih nyolot bak orang kebakaran jenggot.

“ Wah, maaf sekali Mbak,” kata Pak Vino sambil merapikan kerah kemejanya, “itu di luar prosedur dan budaya perusahaan.”

“Prosedur?! Budaya?! Yang bener aja, Pak!” Gue mulai melotot marah.

“Mbak tunggu aja,” sambungnya tenang,  “keberangkatan terakhir kita ada di jam sepuluh malam kok. Biasanya pasti ada yang cancel barang satu dua orang.”

Ketenangannya membuat gue semakin naik darah. Enak aja ni orang nyuruh gue nunggu. Gue terancam nggak bisa balik ke Jakarta nih. Mana besok pagi gue ada meeting penting pula, nggak mungkin datang telat apalagi bolos.

“Ya sampe kapan saya harus nunggu? Jam sepuluh?! Belum tentu ada kan?! GILA APA?!”

BRAKK!

Emosi yang tinggi tanpa disadari mengantarkan gue untuk menggebrak meja. Air putih di gelas Pak Vino bergetar. Sehelai kertas di mejanya tampak berubah posisi setelah sempat melayang selama sepersekian detik. Suasana menjadi hening. Sangat hening. Di antara kami bertiga, tak ada yang angkat suara.

Untungnya gue nggak perlu berlama-lama menunggu. Pak Vino akhirnya setuju untuk menelpon calon penumpang di keberangkatan jam enam sore. Dan syukurlah, ada satu orang yang membatalkan pesanannya sehingga gue bisa mendaratkan pantat di kursi mobil yang empuk ini.

Tiga jam perjalanan gue isi dengan tidur lantaran lelah berkeliling kota kembang seharian bersama Raka. Ketika terbangun, gedung bioskop Slipi Jaya merupakan pemandangan pertama yang gue lihat.

Wah, udah mau sampai nih. Saatnya untuk beres-beres barang bawaan kali ya.

Jaket. Check. Dompet. Check. Oleh-oleh. Check. Telepon genggam. Check.

Lampu LED telepon genggam berkedip-kedip. Gue segera memeriksa apakah ada pesan atau panggilan tak terjawab.

Ternyata ada tiga panggilan tak terjawab. Satu dari nomor asing dan dua dari Raka. Gue segera mengirimkan pesan agar ia tak khawatir. Sekedar mengabari kalo gue udah hampir sampai, dan berjanji akan menelponnya begitu tiba di kosan.

Kening gue berkerut ketika menyadari ada SMS masuk. SMS dari nomor asing yang tadi panggilannya nggak terjawab. Ada keanehan yang gue rasakan, bukan hanya karena siapa pengirimnya, tapi juga karena isinya.

Hai Grahita. Ini Vino, yang kamu marahin 3 jam yang lalu. :P 
Cuma mau nanya, kamu udah nyampe?

Perhatian banget ni orang, sampai mengecek apakah gue udah sampai apa belum. Hmm.. mungkin ini udah jadi prosedur kali ya?

Pesannya gue balas singkat saja.

Oh, udah. Thanks.

Telepon genggam gue berdenting pelan kurang lebih tiga menit kemudian.

Baguslah kalo begitu. Maaf soal yang tadi. 
Mudah-mudahan nggak bikin kamu kapok naik travel kita ya. :)

Tuh, bener kan. Ngapain gue GR. Wong dia memang menjalankan tugasnya. Menjaga konsumen loyal agar tak pindah ke lain hati.

Tampaknya lebih dari cukup kalo gue membalas pesannya dengan lima karakter. Huruf S, kemudian U, lalu R, dan E. Tak lupa tanda titik sebagai penutup.

Selesai membalas pesan, gue mengaduk isi tempat pensil dan menemukan kunci kamar di sana. Ah, akhirnya sampai juga.

Sementara itu, 130 kilometer dari sana, Vino tersenyum lebar.

Hmmm, lumayanlah untuk langkah awal. Biar gue bisa sering-sering melihat dia di sini. Udah lama gue merhatiin dia. Tadi bahkan gue sempat memfoto dia tanpa sepengetahuannya. Gue emang bakat jadi paparazzi.

Senyum Vino semakin mengembang ketika melihat sebuah foto blur di galeri telepon genggam­nya.

Seorang lelaki berpolo shirt putih.

Raka.

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...

First Thing on My Head

08 Sunday Apr 2012

Posted by gelaph in Cerita Cinta

≈ Leave a comment

Tags

@gelaph, cerita cinta, cerita pendek, fiksi, Grahita Primasari

Prepared by: GP
Reviewed by: MH

Hal pertama yang  terlintas di kepala saat memulai hari, merupakan hal yang paling kau anggap penting dalam hidup.

Demikian potongan kalimat yang sedang kubaca di sebuah artikel. Aku menganggukkan kepala tanda setuju sambil merapikan letak bantal dan selimut. Sesaat sebelum tidur memang biasanya kuhabiskan dengan membaca. Bisa buku atau majalah, tergantung suasana hati. Dan malam ini, pilihanku jatuh pada sebuah majalah wanita metropolitan.

Tanganku berhenti membalik halaman. Pikiranku melayang, mencoba mengingat hal apa yang pertama terlintas setelah terlelap semalaman.

Dan sebagai jawabannya, aku menemukan satu hal:

Pekerjaan.

Setiap pagi, aku selalu memikirkan bagaimana cara untuk memulai hari agar berakhir sempurna. Atau paling tidak, berakhir menyenangkan. Dan karena aku menghabiskan sebagian besar waktu di kantor, mau tak mau aku harus memutar otak seputar pekerjaan di pagi hari.

Hal-hal semacam “pending item kemarin apa aja ya?”, atau “hari ini ngerjain apa dulu ya?”. Kurang lebih begitu.

Pikir punya pikir, profesiku sebagai akuntan publik benar-benar menyita waktu. Di saat orang kantoran pada umumnya pulang jam lima sore, terkadang aku baru bisa pulang jam lima pagi. Sama-sama jam lima, memang. Namun berbeda a.m dan p.m.-nya.

BIPPP BIPPP… BIPPP BIPPP… BIPPP BIPPP…

Aku tersentak kaget. Terbangun. Terbangun karena mendengar suara alarm harianku. Kulirik jam digital ponsel, dan mendapati sudah saatnya bangun. Aku menarik selimut yang membalut tubuh, memaksa untuk berdiri. Lalu terlihatlah sebuah majalah tergeletak ringsek tak berdaya di balik bantal guling. Oh, ternyata aku semalam tertidur begitu saja, bahkan tanpa merapikan majalah yang tak berdosa itu.

Sambil berusaha mengumpulkan nyawa yang masih berceceran entah di mana, aku berjalan ke kamar mandi.

Bip… bip… bip…

Langkah kakiku terhenti karena mendengar notifikasi pesan masuk. Setengah terhuyung, aku meraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Sambil mengucek mata, aku mengarahkan kursor ponsel ke arah pesan baru. Mau tak mau, senyum tersungging di bibir kala membaca sebaris pesan sederhana itu.

Good morning, sunshine :)

Ah, dari dia. Lelaki manis nan periang yang akhir-akhir ini menemani keseharianku.
Dengan lincah, kuketikkan pesan balasan untuknya.

Morning to you too…

Seraya berbisik dalam hati,

Morning to you too, dear first-thing-on-my-head…finally, after months….

Mana cukup keberanianku untuk mengatakan bahwa ia adalah hal pertama yang terlintas di kepalaku pagi ini?

-Bandung, 07 April 2012-

-THE END-

Share this:

  • Twitter
  • Facebook

Like this:

Like Loading...
Newer posts →

Two nice-young-Taurean ladies who are passionate on sharing some fiction stories. Read, and fall for our writings :)

Just click follow and receive the email notification when we post a brand new story! :)

Our Filing Cabinet

Working-Paper Preparers

  • gelaph
    • Bayangmu Teman
    • Penyesalan Selalu Datang Terlambat
    • Seratus Dua Puluh Detik
    • My Kind of Guy
    • Hati-hati, Hati
    • Matahari, Bumi, dan Bulan
    • Si Jaket Merah
    • Manusia Zaman Batu
    • Sebuah Perjalanan
    • First Thing on My Head
  • clients
    • Cinta Ala Mereka
    • Fix You – Part 2
    • Sepatu untuk Titanium
    • Susan dan Sepatu Barunya
    • My Mysterious Friend
    • Perih
    • Sayang yang (Telanjur) Membeku
    • Menikmati (Bersama) Bintang
    • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
    • Dua Tangis Untuk Kasih
  • myaharyono
    • Kita (Pernah) Tertawa
    • Sang Penari
    • Jangan Jatuh di Bromo
    • Perkara Setelah Putus
    • A Gentle Smile in Amsterdam
    • The Simple Things
    • Sepatu Sol Merah
    • Tell Us Your Shoes Story
    • How To Be Our Clients
    • Hari Yang Ku Tunggu

Ready to be Reviewed

  • Kita (Pernah) Tertawa
  • Bayangmu Teman
  • Cinta Ala Mereka
  • Fix You – Part 2
  • Sang Penari
  • Sepatu untuk Titanium
  • Susan dan Sepatu Barunya
  • Jangan Jatuh di Bromo
  • My Mysterious Friend
  • Perih
  • Sayang yang (Telanjur) Membeku
  • Menikmati (Bersama) Bintang
  • Malam Ke-Tiga-Puluh-Sembilan
  • Dua Tangis Untuk Kasih
  • Fix You

Ledger and Sub-Ledger

  • Cerita Cinta (44)
  • Estafet Working-Paper (5)
  • Fiction & Imagination (12)
  • Writing Project (2)

Mia on Twitter

  • As I remembered her, she hates farewell so much. Setiap mau pisahan abis ketemu suka mewek. Sekarang yang ditinggal… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • Lihat kondisi Konih semalem udah bikin nangis, pagi ini dapet kabar Konih gak ada jadi lemes banget. Sedih banget. Nangis lagi. 3 years ago
  • Gak banyak temen Twitter yang awet sampe sekarang temenan, salah satunya @Dear_Connie . Bersyukur semalem sempet ke… twitter.com/i/web/status/1… 3 years ago
  • RT @lyndaibrahim: Akhirnya gak tahan juga untuk gak mengomentari klaim @prabowo semalam soal menang 62%. Mas @sandiuno — you went to biz… 3 years ago
  • RT @KaryaAdalahDoa: “Masalah negara nggak bisa cuma berdasarkan keluh kesah satu dua orang. Ibu ini.. Ibu ini.. Kita ini lagi ngomongin neg… 3 years ago
Follow @myaharyono

Gelaph on Twitter

Error: Please make sure the Twitter account is public.

Meet our clients

  • @armeyn
  • @cyncynthiaaa
  • @deardiar
  • @dendiriandi
  • @dheaadyta
  • @evanjanuli
  • @kartikaintan
  • @NH_Ranie
  • @nisfp
  • @romeogadungan
  • @sanny_nielo
  • @saputraroy
  • @sarahpuspita
  • @TiaSetiawati

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • working-paper
    • Join 1,990 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • working-paper
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
%d bloggers like this: