Kita (Pernah) Tertawa

Tags

, , ,

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Kita masih disini
Lepaskan semua untuk mengerti
Dan bila semua terhenti
Biarkan aku tetap menanti

“Sebuah buku?”

“Buku jerapah, begitu seharusnya buku ini disebut.”

“Pasti isinya gambar-gambar jerapah ya? Ha ha ha.”

“Ha ha ha. Enak aja. Itu loh cover depannya bergambar jerapah, jadi namanya buku jerapah. Isinya sih…”

“Apa?”

“Buka aja dan baca sendiri. Eh tunggu, bacanya dalam hati ya. Aku malu…”

“Justru aku akan membacanya keras-keras. Ha ha ha.”

“Jangan! Ah kamu tuh selalu begitu. Mana pernah menuruti kata-kataku.”

“Ha ha ha. Bodo!”

“Ha ha ha.”

“Baiklah aku buka, tapi aku tetap akan membacanya dengan suara ya. Pelan aja kok.”

The Story Of Us…hmmm..semacam diary?”

“Bukan sekedar diary. Di buku ini hanya kutulis kejadian-kejadian lucu yang pernah kita berdua alami. Sengaja hanya ditulis bagian yang membahagiakan saja. Only open up when I’m down. Ketika sedang sedih, aku akan membacanya dan mulai tersenyum. Bahkan tertawa. Ayo baca cepat.”

“Baiklah. 5 Juni 2010. 8 PM. Sebuah notifikasi kuterima di blackberry-ku. Ternyata itu kamu! Akhirnya kamu chatting-in duluan setelah aku menunggumu dari kemarin. Seperti biasa, kamu mengeluhkan yang harus lembur saat orang-orang sedang liburan weekend. Mencoba menghiburmu, akupun dengan tingkat kepercayaan diri meningkat 50%, mengirimkan foto penambilan baruku. Rambut keriting. Lalu komenmu hanya singkat. Gue suka lihat lo senyum.”

“Oke itu kan lagi lembur, capek. Foto yang aku lihat kayaknya fatamorgana deh. Aku pikir itu foto Megan Fox. Ya jelas suka. Ha ha ha.”

“Kyaaaaa! Reseeeee. Ha ha ha.”

“21 Juni 2010. 10 PM. Was it a date or what? Akhirnya kamu ajak aku pergi di malam minggu, just the two of us. Alasannya minta ditemenin beli modem! Makanya kita nge-date di Ambas! Oh yeah, nice try! Kamu bilang tadi, kita kayak orang pacaran aja berduaan. Dan bodohnya, kenapa aku tadi cuma tertawa! Itu kamu mancing kan?”

“Eh siapa bilang mancing. Dulu itu cuma bercanda tau. GR banget sih. Ha ha ha.”

“Hah! Kamu tuuuh. Ha ha ha. Itu masih ada lanjutannya, the best part-nya belum…”

“Setelah selesai menyantap pizza yang akhirnya kamu habiskan sendiri. Maaf ya, aku jaim. Kita pun berbincang cukup lama. Kamu benar-benar membiusku. Aku betah dibuat berlama-lama denganmu. Dan ketika tiba saatnya kamu harus mengantarku pulang, aku sedikit tak rela. Dan kenapa kamu membawa helm bukan SNI! Kita jadi ditilang polisi kan tadi.”

“Ha ha ha ha. Aku ingat ini. Ha ha ha. Ya ampun, memalukan. Sialan tuh polisi. Karena enggak ada uang kecil kan aku bayar 50 ribu tuh. Kampret.”

“Ha ha ha. Meski sudah setahun lewat, aku enggak bisa lupa. Lucu banget!”

“Aku lompat-lompat aja ya bacanya. Banyak banget, bisa-bisa sampai kafenya tutup belum kelar juga nih diary dibacanya. Ha ha ha.”

“Lebay!”

“Nah ini lucu. Kejadian ban motorku bocor sampai dua kali. Kamu sih gendut. Enggak kuat kan ban-nya. Ha ha ha.”

“Heh! Enak aja. Itu dasar aja si abang di tambal ban yang pertama enggak becus. Jadi bocor lagi kan. Tapi jadinya kita berdua jalan menelusuri trotoar gitu. Romantis ya.”

“Romantis apanya? Parah itu. Ha ha ha. Oke, lanjut baca.”

“Hmmm boneka jerapah. Kamu senang banget ya sama jerapah yang aku kasih? Itu kan biasa. Lagipula koleksi jerapah kamu sudah banyak banget dan lebih bagus. Tau enggak, itu kan murah. Dan yang beliin si Mamah, aku minta tolong dia cari. Males banget cowok-cowok keliling mall cari boneka. Jerapah pula. Dari dulu aku sudah mikir kok hobi kamu aneh banget. Biasanya cewek suka babi. Ha ha ha.”

What? Jadi selama ini aku kena tipu kamu? Ish, kenapa enggak cerita yang sebenarnya sih.”

“Nih aku cerita. Ha ha ha.”

“Cubit nih. Ha ha ha.”

Kita tertawa kita bicara
Untuk merasakan tentang kita

“4 September 2010. Hari jadi… “

“Kok berhenti bacanya?”

Dan terlepas kita terdiam
Untuk melupakan

“Enggak kerasa ya, waktu cepat berlalu.”

“Dan kamu masih saja diam.”

“Kamu menuntut jawaban apa lagi?”

“Aku tak ingin berpisah darimu.”

“Siapa yang memintamu pergi? Tetaplah di sampingku.”

“Untuk apa aku tetap di sampingmu, jika tak dapat memilikimu. Kamu pikir aku dapat bertahan dengan segala perih yang kurasa ini?”

“Memiliki? Untuk apa memiliki jika pada akhirnya kita berdua pasti berpisah. Ah kumohon jangan menangis. Aku enggak bisa melihatmu menangis.”

“Aku sayang kamu, sungguh. Dan penderitaan hati ini, mungkin hanya dapat berakhir dengan memiliki mu seutuhnya.”

“Sudahlah. Kita seharusnya enggak membahas ini lagi.”

“Diam lah terus, tapi waktu tak bisa menunggu. Simpanlah buku jerapah ini. Suatu saat kamu merindukanku, bacalah lagi. Kuharap kenangan kita di buku ini dapat membuatmu kembali padaku.”

“Sudahlah….”

“Baca dan tertawalah. Tapi kamu hanya akan tertawa sendiri. Karena tak akan ada lagi kita. Aku tak bisa terus di sampingmu. Bersamamu, sampai kamu menemukan orang lain…yang seiman.”

“Aku tau kamu tidak mempermasalahkan perbedaan ini, tapi buatku penting. Maafkan aku, Mei…”

“Aku pergi sekarang. Jaga buku jerapah ini baik-baik ya.”

Waktu terus berlalu
Tinggalkan kita masih membisu
Wajahmu tetap begitu
Biarkan semua tetap membeku

***

Jakarta, 28 Juli 2012.

Sebuah kisah tentang dua insan yang pernah tertawa bersama. Terinspirasi dari lagu ‘Kita Tertawa’ oleh Peter Pan. Untuk #CerpenPeterpan lainnya silakan cek blog Wira Panda.

-THE END-

Bayangmu Teman

Tags

, , ,

Prepared by: GP
Reviewed by : MH

Sebuah Kisah Persahabatan Masa Kanak-kanak.
Terinspirasi dari lagu “Sahabat” yang dipopulerkan oleh Peterpan pada tahun 2003

Seekor kupu-kupu kuning terbang mengitari halaman rumah. Dengan mudahnya membuatku kagum, dan mau tak mau akhirnya ikut berlari sambil menggapaikan tangan ingin menangkapnya.

“Tita… Makan dulu sini. Habis itu tidur siang ya Sayang,” Mama melambaikan tangan dari depan pintu, memanggilku masuk ke dalam rumah.

Aku menggelengkan kepala, “Bentar lagi ah Ma”, dan kembali memusatkan perhatian penuh mengejar si kupu-kupu cantik.

“Kamu jangan main terus, nanti kecapekan. PR kamu apa hari ini?” Mama tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku, bertanya sambil mengelus rambutku.

Sambil melepaskan tangan Mama di rambut, aku mengeluh, “Aduh, Mamaaa. Iya, nanti aku kerjain. Aku mau main duluuu…”

Mama menghela napas panjang, “Oke kalau gitu. Lima menit lagi Mama panggil ya. “

“He-eh,” aku menjawab singkat dengan bola mata yang berputar mengikuti pergerakan si kupu-kupu.

Mama kembali masuk ke dalam rumah sehingga aku pun bisa berkonsentrasi penuh bermain dengan si kupu-kupu kuning.

Tiba-tiba saja, ia terbang keluar dari halaman rumah. Sungguh, aku tidak rela kalau dia sampai pergi. Setengah berlari aku mengejarnya. Dan terkikik geli ketika sayapnya bergesekan dengan telapak tanganku.

Tak jauh dari rumah, aku melihat Ina, teman bermainku sehari-hari. Ia tampak tertarik dengan kupu-kupu kuning yang sedang kujadikan target operasi.

“Ta, lagi ngejar kupu-kupu ya?” Tanyanya dengan wajah berbinar. Continue reading

Cinta Ala Mereka

Tags

, , , ,

Prepared by Client:
Roy Saputra (@saputraroy)

“Eneng kedinginan?”

“Dikit, A’.”

“Maafin Aa’ ya, Neng. Aa’ cuma bisa ngajak Eneng ke jembatan layang kayak gini.”

“Ga apa-apa atuh, A’. Gini aja Eneng juga udah seneng kok.”

Sebutlah Aa’ dan Eneng. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta, menghabiskan malam minggu dengan berdua-duaan naik motor lalu nangkring di puncak jembatan layang. Padahal pacaran model begini sangatlah berbahaya. Ga jarang polisi menggelar razia muda-mudi yang pacaran di jembatan layang untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Namun tetap saja masih banyak pasangan yang memadu kasih seperti ini. Tak terkecuali, Aa’ dan Eneng.

Entah apa yang Aa’ dan Eneng cari di sana. Mungkin ingin menikmati pemandangan kerlap-kerlip lampu gedung-gedung bertingkat, atau untaian lampu kendaraan yang meliuk-liuk di tengah macetnya ibukota. Mungkin ingin merasakan apa yang orang rasakan ketika sedang makan malam mewah di sebuah restoran bertema roof top.

Situasi di mana Aa’ berada paling dekat dengan kata roof top adalah ketika Eneng sedang asik menonton sinetron kesayangan di rumah majikannya lalu hujan mengguyur deras. Eneng merengut saat wajah Haji Muhidin menjadi buram dan samar. Atas nama cinta, Aa’ pun naik ke atas genteng dan membetulkan arah antena, meski itu dengan risiko tersambar gledek yang bisa membuat badan jadi tidak enak.

Di temaram lampu jembatan, Aa’ dan Eneng berpelukan. Saling menghangatkan badan, melawan angin malam yang berhembus dengan kecepatan tinggi. Malam itu, Eneng memang hanya mengenakan cardigan warna hitam. Cardigan yang dibelikan Aa’ di ITC dekat rumah dua hari lalu itu ga mampu menahan angin yang dinginnya mulai menusuk-nusuk tulang Eneng. Cardigannya tipis, setipis penghasilan Aa’ yang masih di bawah UMP.

Aa’ berinisiatif melepaskan jaket bertuliskan ‘OLI BAGUS? YA OLI TOP TWO!’-nya dan memasangkannya ke punggung Eneng. Berharap kehangatan yang sempat ia rasakan sebelumnya dari jaket, bisa menular ke badan Eneng.

“Masih dingin ga, Neng?” Continue reading

Fix You – Part 2

Tags

, , ,

Prepared by Client:
Sarah Puspita (@sarahpuspita)

Sebelumnya pada cerita Fix You Part 1. Ketika berada dalam stasiun MRT yang dipadati para penduduk maupun turis asing, mataku menangkap seorang lelaki yang sedang duduk di sana. Orang Indonesia juga, sama denganku yang sedang melancong ke negeri singa ini. Kami berbincang sesaat, ia menjelaskan alasannya traveling.

“Saya justru sedang berlari. Saya ke sini untuk mengambil sebuah keputusan berat, melupakan seseorang.”

“Ketika takdir mempertemukan kita lagi, saya benar-benar berharap akan melihat senyummu yang hilang.”

***

Jakarta, Sebuah Rumah Sakit, pukul 17.35

“Duluan ya Jes, sekali lagi selamat, salam buat Adam.” ujarku sambil tersenyum. Setelah bercipika-cipiki, aku keluar dari kamar perawatan, kemudian menuju kafetaria, sambil menimbang-nimbang, akan macetkah kalau pulang sekarang?

Melewati UGD, aku memperhatikan seorang pasien yang baru masuk. Terbaring lemas di sebuah brankar. Parasnya tak terlihat, tertutup oleh tubuh seorang suster. Korban kecelakaan, kah? Aku memalingkan muka. Takut akan melihat darah, luka atau sejenisnya. Lalu pandanganku menangkap kaki pasien di atas brankar itu.

Sandal jepit hitam itu…

***

Aku menyusuri koridor rumah sakit dengan segelas teh hangat yang kubeli dalam perjalanan. Masih dengan pergumulan yang sama, untuk apa aku ke sini? Memuaskan rasa penasaran yang membekas? Atau menoleh ke belakang dan menagih permintaan yang pernah terlepas?

Bagaimana aku menemukannya di rumah sakit sebesar ini? Lagipula…

Dari mana aku akan mulai? Continue reading

Sang Penari

Tags

, , , , , ,

Prepared by: MH
Reviewed by: GP

Dua puluh menit menjelang pukul 6 sore!

Aku bergegas memacu kecepatan langkahku, setelah turun dari kendaraan yang aku sewa selama berada di Bali beberapa harike depan. Setengah berlari aku menuju loket, untuk kemudian mengeluarkan 3 lembar pecahan Rp5,000 sebagai harga yang harus dibayar untuk karcis memasuki Pura Uluwatu.

Setelah sampai Ngurah Rai jam 4 tadi, Pak Made, supir yang sudah menjadi langgananku itu segera membawaku ke Uluwatu. Denpasar yang kini macet dipadati kendaraan, membuat perjalanan kesana memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Kunjunganku ke Bali kali ini disertai misi penting. Sebuah kejutan! Kekasihku yang merupakan penduduk Bali hari ini berulang tahun.

Namaku Lily. Aku menetap di Jakarta. Dan pacarku, Putu, tinggal di Bali. Di desa Pecatu tepatnya. Sudah setahun ini kami menjalani hubungan jarak jauh, atau yang keren disebut LDR.

Aslinya aku ini memang wanita manis dan romantis, meski terpisah jarak, bukan halangan bagiku untuk menyenangkan kekasihku itu. Sudah sebulan aku mempersiapkan kedatangan mendadakku ke Pecatu, tepat jam 6 sore, di mana Putu sudah bersiap dengan kostumnya.

Aku akan duduk di barisan paling depan bangku penonton, menyaksikan pertujukkan Kecak Dance, dimana Putu adalah salah satu penarinya. Tapi bukan salah satu dari 70 penari pria bertelanjang dada yang meneriakkan “Cak! Cak!” itu. Dia adalah pemeran utama sendra tari Ramayana yang aksinya nanti akan diiringi oleh tarian Kecak.

Tarian kecak adalah salah satu budaya kebanggaan di Bali yang dapat dinikmati di berbagai tempat, namun di Uluwatu ini yang paling ramai dikunjungi. Hal itu dikarenakan pertunjukannnya yang bertepatan dengan matahari terbenam. Sehingga, ratusan pasang mata tidak hanya disuguhi tarian yang unik, tetapi juga pemandangan langit jingga yang luar biasa indahnya.

Sunset at Uluwatu

Sunset at Uluwatu

Tiket untuk menonton pertunjukkan tersebut sebesar Rp70,000. Dan tiketku, sudah dipersiapkan Pak Made agar ketika sampai tidak pusing dengan urusan tiket.

Rencanaku, Continue reading