Tags

, , ,

Prepared by Client: 
Evan Januli (@evanjanuli)

Pemuda tampan itu kupanggil Andre karena nama aslinya, Andreas, terlalu panjang jika kupanggil dengan bibir mungilku ini. Selebihnya karena pada saat pertama kali kami dikenalkan, dia bilang agar aku cukup memanggilnya dengan sebutan Andre.

Andreas Winarko, lelaki keturunan Tiong Hoa dengan mata yang tidak terlalu sipit dengan rambut yang terurus rapi, bahkan terkesan klimis. Tubuh yang atletis didukung dengan mata yang agak cekung ke dalam dan ternyata memiliki bola mata kecoklatan. Bulu halus di wajahnya terjaga dengan rapi di sekitar dagu dan lingkar mukanya yang semakin menimbulkan kesan maskulin. Penampilan yang bagiku cukup dapat meluluhkan hati semua wanita.

Berangkat dari pertemuan yang telah tersusun rapi dan berakhir dengan pertukaran kontak, alamat dan saling mengirimkan pesan singkat melalui perangkat kecil yang mengambil nama dari buah blackberry. Setelah itu, pertemuan-demi pertemuan berlanjut. Dimulai dari rutinitas menikmati pekatnya kopi hitam di sebuah kafe di daerah Senopati, hingga sekedar menonton film di bioskop.

Sekian banyak pertemuan tanpa rutinitas yang monoton, mulai dari kopi, film, hiburan, makanan, belanja hingga menikmati suasana alam, akhirnya mulailah fase yang disebut dengan kencan. Kencan yang semakin lama menjadi kencan yang tak kenal waktu maupun tempat. Semakin lama fase ini berjalan, semakin berwarna indah hidupku.

Seringkali Andre, yang memang lebih tua 4 tahun dariku, menjemputku di kantor dan mengajakku untuk makan malam sederhana lalu mengantarku pulang. Tak jarang pula Andre datang ke rumahku dan kita hanya melewati malam berdua hingga berpisah dengan selesainya sarapan.

Semakin banyak hal indah yang terbentuk dari kesamaan kami berdua hingga semakin tidak sanggup aku jika harus meninggalkan Andre, dengan alasan apapun.

Hari ke dua puluh sembilan di bulan sebelas, aku terdiam sendirian saat hujan turun dengan deras. Satu hal yang terus melintasi pikiran membawaku melihat ke belakang awal kisahku dengan Andre. Di pertengahan tahun kemarin.

Aku lahir dua puluh empat tahun yang lalu di Jakarta dan aku besar di lingkungan keluarga yang harmonis dan cukup ketat dalam aturan keseharian, juga dengan nilai kehidupan. Aku cukup bahagia di keluarga, setidaknya sampai sebelum aku mengenal Anita. Anita yang seumur denganku adalah sahabatku sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Anita. Iya, Anita adalah sahabatku yang paling dekat. Aku bisa membicarakan apa saja dengan Anita, bahkan sampai hal  yang paling pribadi sekalipun. Aku dan Anita sama-sama memiliki jiwa petualang dan berani mencoba hal baru. Kebanyakan sifat kami memiliki kesamaan, bahkan sampai selera dan kesukaan kami pun banyak yang sama. Tidak jarang, saking dekatnya kami, kami dikira bersaudara.

Di hari yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan hari yang lain, tetiba Anita membicarakan tentang sekumpulan temannya yang masih dianggap agak berbeda oleh kebanyakan masyarakat yang menganut paham timur. Anita membicarakan topik yang ternyata sangat menarik bagiku di kala itu. Membicarakan topik semenarik itu membuat sang waktu menyediakan tempat khusus hanya untuk kami berdua. Topik tentang Gay, Lesbian dan Bi-sexual.

“Gila juga yah, Nit, mereka sampe kaya gitu. Mereka sadar gak sih yah mereka sebenernya tuh salah jalan?”

Responku yang sangat spontan setelah Anita memberitahu tentang detail apa saja yang mereka lakukan. Jujur saja, aku cukup kaget mengetahui fakta seperti itu. Namun, entah mengapa di dalam diriku muncul keinginan yang cukup berani sekaligus mulia.

“Eh Nit, gue pengen deh kenal mereka lebih dalem, pengen bantu mereka buat balik ke jalan yang lurus lagi. Gimana menurut lo? Mau bantuin gue gak?”

“Kenapa lo jadi mikir kaya gini?”

“Iya lah, mereka mungkin belom ketemu orang yang bisa bikin mereka balik ke jalannya aja jadi gue pengen bantu mereka buat balik ke jalannya sih. Inget gak waktu si Lina yang rela beliin cowonya apa aja tuh padahal cowonya brengsek terus abis gue ngomongin ke dia kan dia gak gitu lagi karena dia baru sadar dia cuma dimainin doing. Ya sama aja Nit.”

“Beda lah. Ini menyangkut perilaku hidup. Lo yakin? Gak takut emangnya?”

“Gak lah, kok takut sih? Mereka kan juga manusia biasa dan mereka tuh bisa juga deket banget sama cewe kan. Sampai ada istilah women’s best friend. Lagian gue kan maksudnya baik, bantuin mereka jadi mereka bisa balik ke jalan yang bener.”

“Hmmm. Beneran?”

Didukung dengan keinginanku yang semakin bulat dan latar belakang keluarga yang selalu menekankan nilai-nilai baik sejak aku masih kecil, jadi aku memutuskan untuk melakukan apa yang aku katakan.

“Yakin seyakin-yakinnya dong! Lo mau bantuin gue gak nih? Ada kenalan lo yang punya link ke komunitas mereka gak? Ke yang gay aja kali yah jadi gue beneran bisa dalemin gitu, kan cowok gay biasanya lebih terbuka juga.”

“Capek gue nanya berulang-ulang sebenarnya. Sekali lagi gue tanya, yakin nih lo yah? Gak nyesel nantinya? Gue udah ingetin loh nih. Kenalan sih ada kok. Gampang lah itu kalo lo beneran mau dikenalin.”

“Iyaaaaa, minggu depan yah. Tapi kalo gue boleh tau sebenernya lo kenapa sih sampe segini semangatnya?”

“Gue tuh sebenernya gak suka aja ngeliat kaum gay sih, karena mereka tuh kaya hidup di dunianya sendiri dan mereka emang beneran banyak gak dianggep sama masyarakat kan.”

“Ya tapi kan itu hak mereka dan udah jadi pilihan mereka juga sih dan itu gak ganggu lo ya udah gak masalah dong.”

“Ya tapi tetep aja gue gak suka ngeliatnya! Gue pengen coba buat bikin mereka normal lagi. Lagian banyak banget cewek cantik plus seksi di Jakarta. Lah kenapa mereka malah mikir sesama jenis gitu? Kita aja gak mau sama sesama jenis kan nih!”

“Jadi lo yakin dengan niat ngubah mereka bakal bikin kehidupan yang lebih baik? Gue sih gak yakin, kan semua manusia berhak punya jalan hidup yang beda-beda juga.”

“Iya lah!! Jelas itu! Gue pribadi juga gak suka ngeliat cowok yang lemah lembut terus jalan sama sesama cowok gitu! Apaan tau tuh kaya gitu! Gue aja ogah pegangan tangan sama sesama jenis tapi gue bingung mereka mau.”

“Lo terlalu idealis deh ini, beneran deh! Gue tetep gak setuju banget sama jalan pikiran lo ini.”

“Gak dong Nit, ini justru bagus bagi gue sih. Gue gak suka banget sama sesuatu dan gue pengen ngubah sesuatu itu, toh juga jadi lebih baik kan.”

Percakapan aku dengan Anita selesai tidak lama setelah kalimat penegasan akhirku tersebut.

Di minggu depannya setelah aku dikenalkan dengan seorang pria yang ternyata adalah gay yang ‘top’, aku pun mulai menjalin pertemanan terlebih dahulu dengannya karena memang tujuanku adalah mencoba untuk mengubahnya agar tidak menjadi gay lagi. Top itu adalah gay yang merupakan pacar yang lebih ‘pria’ daripada pasangannya, sebaliknya pasangannya adalah bottom. Namun, ada lagi yang bisa menjalankan fungsi keduanya yang biasa disebut dengan ‘Versatile‘.

Semakin aku mengenal pria ini, aku bisa semakin dekat dengannya karena memang pada kenyataannya, dia ini merupakan pria yang asyik diajak ngobrol tentang apapun. Dia pintar dan mampu membawa diri, ditambah dari segi fisik, dia cukup tampan.

Semakin lama aku mengenalnya, aku pun tidak sadar bahwa aku mulai membawa emosiku ke dalam hubungan ini. Aku mulai nyaman dengannya dan ternyata dia berasal dari keluarga yang cukup terpandang di Jakarta. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang cukup baik sebagai seorang General Manager di sebuah perusahaan properti dengan skala nasional.

Aku mulai bisa bercerita dan mulai menghabiskan waktu dengannya. Aku semakin merasa nyaman jika dekat dengannya. Aku pun semakin bingung apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap pria ini.

Semakin kusadari bahwa sisi idealism yang dari awal terbentuk lebih kokoh daripada sebuah benteng sekalipun ternyata semakin lama hancur juga, bahkan sekarang idealism tersebut sudah hilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Pengikis idealism itu tidak lain adalah kata hatiku sendiri. Kata hati yang semakin hari semakin kencang berteriak.

Gundah? Iya.

Galau? Iya.

Bingung? Iya.

Malu? Iya.

Namun, otak manusia tidak dirancang untuk berpikir menghadapi hati manusia. Jadi apakah aku harus bertekuk lutut di hadapan hati ini?

Idealisme terbentuk di otak, sehingga ketika kata hati berbicara, idealisme pasti akan runtuh juga.

Dan di sini lah aku sekarang menatap ke jendela sambil ditemani sebatang rokok kretek menikmati hujan, memikirkan hal yang berputar di kepalaku didukung dengan akhir pembicaraan dengan Anita di ujung telepon.

Namaku Deni Putranda dan aku sedang bingung bagaimana aku mengenalkan Andreas Winarko di makan malam tahun baru nanti bersama keluargaku? Dan aku mengakui telah jatuh cinta pada Andre, pria gay yang semula ingin aku tuntun karena idealismeku tapi aku malah jatuh cinta kepadanya. Dan sekarang aku hanya mampu terdiam menerima cacian sahabatku Anita di ujung telepon.

“I’ve told you deh, makanya jangan sok idealist! Akhirnya lo kemakan sama idealism gak mendasar lo itu kan. Kena batunya deh lo. Udah lo tenangin diri dulu aja, besok kita ketemuan deh ngomongin ini lagi.”

–THE END–