Prepared by Client:
Cynthia Febrina (@cyncynthiaaa)
Bogor, 7 Juni 2006
Semuanya terasa begitu cepat. Pertemuan singkat yang membuat segalanya berubah. Sendratari Ramayana, theater tari yang indah di kawasan Candi Prambanan, tepatnya di Ramayana Open Air Theater adalah tempat pertama kami bertemu. Pertemuan pertama yang lebih cocok disebut sebagai musibah.
Yogyakarta, 7 Mei 2006
“Permisi… maaf mengganggu mas….maaf ya mbak, permisii…” Aku yang kebetulan mendapat kursi agak belakang, mencoba mendekati panggung. Adegan Dewi Shinta yang tengah menari dalam suasana sedih menggodaku untuk memotret dari jarak dekat. Ya, aku menyukai fotografi. Menurutku foto dan tulisan adalah ibarat surat dan prangko, lengket, saling melengkapi. Selain itu keduanya membuat suatu momen akan terus hidup walau sudah termakan waktu.
BRUKK!!! Aku terjatuh, bersamaan dengan kameraku yang lensanya jadi retak.
“Hey!!!! Kaki kamu ngehalangin jalan saya, saya kan udah bilang permisi, tuh lihat kamera saya jadi jatuh kan, duh…” Sontak aku pun jadi pusat perhatian dalam hitungan detik. Berani taruhan, orang-orang di kursi penonton pasti ingin segera melemparku dari gedung theater.
“Sssst, ini theater, bukan pasar. Jaga bicaramu nona. Nih, lensanya aku gantiin, lebih bagus ini kan?” Pria yang berdiri di hadapanku dengan santainya menyerahkan kamera yang bergantung manis di lehernya. Refleks, aku menarik kerah kemejanya, hendak meninjunya walau aku tahu jika pertengkaran terjadi aku akan kalah.
“Yuk kita selesaikan di luar.” Dia menarik lenganku erat.
Bogor, 7 Juni 2006
Memoriku tentang Yogya tidak sebatas hanya tulisan dan foto. Kali ini berbeda. Yogya memperkenalkan aku pada sosok baru. Dia, yang mengajarkan aku tentang pentingnya kesederhanaan. Dia, seseorang yang dapat bercerita dengan bebas. Dia, seseorang yang terobsesi untuk menjadi gitaris. Dia, imajinasi paling liar yang pernah kubayangkan.
Depok, 7 Desember 2006
“Key, dimana?”
Satu pesan singkat itu kuterima sesaat setelah turun dari kereta. Hari ini seharusnya hari libur tapi sayangnya aku tetap pergi ke kampus. Niat kakakku untuk menjalin bisnis dengan salah satu pengusaha mini market membuatku rela melepas hari libur ini. Seharusnya, aku sedang berada di dapur, bersama Ibu dan Bi Sumi, mengganggu mereka yang pastinya sedang asyik membuat sarapan pagi.
Dia yang (sebenarnya) menjadi alasan utamaku untuk bangun pagi-pagi sekali. Alhasil aku pun sukses mengejar kereta yang berangkat dari Bogor pukul 08.16 agar sampai disini tepat pukul 09.00. sesuai janjiku padanya.
“Baru sampe nih gue. Gue tunggu lo di halte bus aja ya?”
Pesan terkirim. Sambil merapikan rambut, aku duduk di samping seorang perempuan yang tengah asyik dengan smartphone-nya.
Tiba-tiba suara motor yang sudah aku hapal betul milik siapa sudah berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Dia melambaikan tangan.
“Hei, lama ya?” Deg! Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Kampungan.
“Hei, engga kok. Lagian, gue tadi kasih kabarnya juga telat. Hm, kita ke mini market lo yang dimana, Nik?” Ya, namanya Niki. Dari balik kacamata minus 5-nya semua orang akan tahu kalau dia sulit untuk dimengerti. Raut muka tukang mikir, begitu kalau Ariana, sahabatku, bilang. Tatapan matanya tajam dan terkesan serius. Tinggi badannya yang agak berlebihan membuatku hanya setingkat bahu jika berdiri di sampingnya.
“Di daerah Sawangan, cukup jauh dari sini, gapapa kan?” Niki tersenyum. Pertanyaan retoris seperti ini yang kadang aku benci.
“Iya, gapapa kok Nik.” Aku membalas senyumnya.
“Oke kalo gitu, ayo naik.”
***
“Nah, kita sampai!” Niki memarkirkan motornya di halaman sebuah mini market. Cukup besar. Ada beberapa pegawai disana yang sepertinya tengah mempersiapkan toko untuk dibuka. Niki menghampiri seorang pemuda yang kira-kira berumur 30 tahunan.
“Om, ada temen aku yang mau lihat-lihat toko. Kakaknya mau kerja sama dengan ayah.” Pria itu tersenyum ke arahku.
“Boleh kok boleh, silahkan, ayo masuk jangan sungkan.” Aku membalas senyum pria ramah yang satu ini.
“Dia itu manager disini Key, namanya Om Tio, dia yang punya tempat ini. Tapi, isi mini marketnya semua dari ayah gue. Jadi, sistemnya bagi hasil, 30 persen untuk yang punya tempat, 70 persen untuk yang punya barangnya.” Niki menjelaskan dengan telaten.
“Kalo yang kerja disini Nik, yang nyari siapa?”
“Kalo yang kerja disini sepenuhnya jadi tanggung jawab ayah gue semua. Ibu gue yang nyari.” Niki mulai bercerita perjuangan ayahnya dulu yang merintis usaha dari nol. Ayahnya sama sekali bukan keturunan pengusaha seperti pengusaha-pengusaha besar lainnya. Ayah Niki bekerja sebagai pedagang asongan sebelum akhirnya jadi pengusaha sukses seperti sekarang. Beda banget sama papa, pikirku.
“Nik, tau ga? Orang kaya ayah lo yang saat ini seharusnya lebih dihargai loh, seseorang yang memulai segalanya dari bawah.”
“Kata siapa? Kalo jaman sekarang itu yang lebih dihargai ya orang-orang yang punya uang sama kekuasaan.” Pembicaraan aku dan Niki semakin meruncing. Aku tetap bersikeras bahwa seharusnya seseorang dihargai bukan karena uang dan kekuasaan tapi karena perjuangan. Tapi, Niki bilang orang seperti aku itu tidak realistis, tidak melihat kenyataan.
“Coba deh gue tanya, apa seorang penulis pernah lebih dihargai dari seorang politikus? Apa seorang jurnalis pernah lebih dihargai dari seorang anggota DPR? Dan apa seorang yang hidup dengan mengais sampah pernah lebih dihargai dari seorang Presiden? Fakta kalo uang dan kekuasaan itu bukan keperluan, tapi kewajiban, Key.”
Aku terdiam. Semua yang Niki katakan memang benar. Tapi rasanya menyanyat. Niki adalah satu dari sekian banyak orang pesimistis kalau negaranya sendiri punya sisi positif. Atau mungkin ini memang tempat dimana uang lebih berharga dari perjuangan?
“Key, sorry. Hm, tadi gue menggebu-gebu banget, ya? Haha selalu emosi setiap ngomongin hal-hal berbau Indonesia.”
“Hmm, gapapa Nik, take it easy, memang harus ada pengusaha kayak bokap lo di negara ini supaya ada orang-orang yang pada akhirnya tahu kalau perjuangan itu penting.”
“Yap. You get my point Key. Perjuangan meraih sukses memang ga selamanya berjalan mulus. Dalam segala hal, termasuk cinta.”
“Hahaha tumben banget lo ngomong gitu Nik, gue pikir lo tipe orang yang idealis abis, termasuk soal urusan cinta. Nih ya, selama ini gue pikir lo cuma mikirin negara, negara, negara. Oh ya, satu lagi, uang. Gue pernah bayangin lo akan bersama seorang perempuan yang tipe-tipe aktivis kampus, kuliah sambil ngejalanin usaha, oh mungkin perempuan itu udah punya usaha dari orok kali yaa. Terus..”
DEG! Niki tiba-tiba memeluk gue, erat.
“Maaf tiba-tiba. Gue sayang lo Key, gue yakin lo dari dulu tahu. Tapi kita ga bisa sama-sama. Kita beda, entah karena apa. Mungkin karena Tuhan kita sama tapi cara menyembahnya yang berbeda.” bisik Niki lirih.
“Gue.. gue nggak tahu Nik. Denger ya Nik, lo kolot banget, gue benci. Cara menyembah yang berbeda pada Tuhan yang sama memang masih disebut perbedaan ? Itu kan sama saja seperti kamu minum obat, aku langsung ditelan sementara kamu harus dihaluskan terlebih dahulu.”
“Key, nggak sesederhana itu kamu bisa merumuskan segalanya.”
Niki melepaskan pelukannya perlahan bersamaan dengan Om Tio yang datang mendekat.
“Ehem.. Keyko, kalau sudah fix mau kerja sama bisa langsung hubungi ayahnya Niki saja ya, hmm tapi kalau boleh tahu, kamu nggak keberatan? Toko ini kan sistemnya bagi hasil, seperti sistem ekonomi syariah sesuai anjuran dalam agama Om dan Niki.. Eh, Om ga bermaksud…”
“Iya Om, aku ga keberatan sama sekali kok, tenang aja ya perbedaan bukan berarti penghalang untuk dapat menjadi profesional, aku cukup ngerti tentang ekonomi syariah kok om. Nanti pasti kukabari kalau sudah fix.” Gue melayangkan senyum manis pada Om Tio yang seraya kembali ke meja kerjanya. Niki hanya memandang gue dengan nanar.
“Key?”
“Ya Nik?”
“Sorry ya, harusnya ini cuma jadi kunjungan lo ke toko gue, tapi jadi begini..”
“Hmm, gapapa Nik, cinta kadang ga selamanya berjalan mulus. Yuk, anter gue pulang.” Gue berlalu meninggalkan Niki, ada setitik air mata yang jatuh disana.
Bogor, 7 Juni 2012
From : niki@sujowo.org
To : keyko@kim.id
Keyko, Aku sudah lihat fotomu sama si kecil, lucu sekali Key. Beruntung sekali papanya punya dua bidadari. Anw, aku pulang ke Indonesia bulan depan, nampaknya usaha mini market di Indonesia butuh aku tengok. Selain itu, program desa mandiri yang aku rancang untuk penduduk miskin di Indonesia sudah mulai jalan. Meet up ? Eh, ajak Keyza juga ya. Paman mau kasih hadiah :D
Niki Sujowo
From : keyko@kim.id
To : niki@sujowo.org
Sip Nik, tempat biasa, pukul 2 siang. Keyza ingin sekali bertemu paman. Bawa hadiah yang banyak ya :D
Kim Keyko
–The End–