Tags

, ,

Prepared by Client:
Tia Setiawati (@TiaSetiawati

“Akan ada seseorang yang datang,
kemudian pergi,
memberikan sesuatu padamu,
kebesaran cinta, barangkali,
ya, semua itu bisa saja terjadi…”

Hari ini adalah genap hari ke tiga aku di opname di Rumah Sakit besar ini. Rasanya semuanya begitu membosankan. Bau obat-obatan, latar belakang serba putih, orang-orang hilir mudik di setiap jam besuk. Ah, aku bosan. Ingin keluar, ingin pergi, ingin kabur. Tapi seperti kebanyakan pasien lainnya, aku belum bisa. Penyakitku lah yang membawaku sampai kesini. Demam berdarah dan tipes. Dua kombinasi yang sepertinya memang bersahabat. Dan aku adalah salah satu yang tidak beruntung karena mereka mampir ke tubuhku. Ya, tubuh yang memang sepertinya membutuhkan istirahat total dari semua rutinitas harian yang membuat tubuh ini kelelahan.

Ruang tempat ku dirawat tidak terlalu besar. Ruang ini cukup dihuni oleh tiga orang pasien dengan luas ruangan perpasien ala kadarnya. Yah, inilah kelas medium. Bukan VIP. Ah tak penting memang, karena mau seluas dan seleluasa apapun, aku toh memang tidak suka Rumah Sakit. Tidak suka semuanya. Karena disini itu tempat kesedihan, kesakitan. Atau mungkin beda kasus bila RS nya RS Bersalin.

Ah ada yang lupa aku sampaikan, di hari ketiga ini pula, si kamar rawat ku ini mendadak saja menjadi penuh. Para pasien berdatangan. Awalnya aku pikir, aku bisa istirahat dengan baik disini. Dengan situasi yang lebih tenang tentunya. Namun mungkin tidak lagi setelah hari ini. Kamar yang tadinya hanya dihuni oleh ku seorang, kini mulai dihuni oleh dua orang. Dan bahkan di subuh hari keesokan harinya, kamar ini resmi penuh. Sungguh tak nyaman untuk beristirahat diruangan penuh seperti ini.

*

Salah satu wanita yang menemaniku di kamar inap itu bernama Liliana. Wanita separuh baya itu tersenyum simpul menatapku dengan sangat ramah. Dari sejak kedatangannya, tak pernah ku lihat sedikitpun raut muka kesedihan seperti kebanyakan pasien yang datang ke sini di hari-hari awal mereka. Dia selalu tersenyum. Entah sedang sakit atau tidak. Senyum itulah yang setiap hari selalu aku lihat. Senyum itu pula, tak pernah absen setiap hari dari wajah yang sudah keriput itu. Nenek Liliana juga tipikal wanita yang memperhatikan penampilan. Sungguh dia terlihat segar dan cantik setiap hari. Dengan make up yang teroles di wajahnya, dia tak tampak seperti sedang sakit.

Setiap pihak (suster terutama, dimana dengan mereka lah aku banyak berinteraksi) di Rumah Sakit ini selalu merahasiakan apa penyakit pasiennya. Begitupun dengan penyakit yang di derita oleh Nenek Liliana. Entah kesamaan apa yang dapat membuat kami begitu cepat akrab satu sama lain. Padahal, aku berani bersumpah aku sudah hampir mati kebosanan berada disini. Trombositku yang makin hari makin menurun juga di tambah dengan keadaan perut akibat tipes yang tak semakin membaik. Itu saja bisa membuatku bosan setengah mati. Dan bantuan novel-novelpun rasanya sama sekali tidak membantu. Rasa bosan itu memang bisa kukatakan hampir membunuh hari-hariku. Bosan sekali. Dan kehadiaran nenek Liliana bisa sedikit menghiburku.

Saat itulah si Nenek itu menawarkan beberapa hal baru yang mampu menghilangkan rasa bosanku. Ya, dia itu seorang nenek yang unik. Seorang nenek tua yang masih sangat enerjik. Seorang nenek yang masih sangat bersemangat untuk hidup. Walau sampai detik aku menulis inipun aku masih belum tau apa penyakitnya, dia tetap ajaib buatku.

*

‘Nona Tirania, selamat pagi. Mau langsung mandi atau mau di lap saja?’

Sambil bersungut-sungut aku mencoba bangun dari atas kasurku.

‘Ha? Jam berapa ya, Sus?’

‘Sudah jam sembilan’

‘Hah? Wow. Saya ga mandi ah. Males’ jawabku seenaknya sambil menoleh ke kasur tempat dimana Nenek Liliana berada. Sang suster mengetahui kemana arah mataku menatap.

‘Nenek Liliana sudah dari pagi tadi keluar’

‘Hah? Kemana, sus? Memang beliau sudah boleh pulang? Memang sudah sembuh total?’

‘Bukan, kan Jumat itu waktunya beliau ke luar di pagi hari setiap jam sembilan sampai jam sebelas’

‘Hmmm’ gumamku sambil kembali menarik selimutku dan kemudian berpikir kemana gerangan si nenek itu berada sepagi itu.

*

‘Nek, tadi pagi kemana aja?’ tanyaku di waktu makan siang masih di hari yang sama

‘Hehe, nenek melakukan rutinitas’

‘Rutinitas?’

‘Iya, rutinitas. Namanya rutinitas kan mau sakit atau ga, mau sedang di rawat atau ga, harus tetap dilaksanakan tho? Sama saja kalo kita makan. Kalo sakit ga jadi tiba-tiba ga butuh makan kan? Hehe’ jawabnya sambil tersenyum jenaka

‘Ah, nenek ini bisa aja deh. Jadi, rutinitas macam apakah itu?’

‘Nanti juga kamu tau’

‘Nanti itu kapan ya, nek? Tahun depan juga kan masih nanti, hehe’ jawabku tak kalah berkelakar

‘Hihi, bisa aja kamu. Ya nantinya nenek sih ga selama itu. Tunggu saja tanggal mainnya ya’

*

Lagi-lagi, hari ini aku kehilangan  jejak nenek Lili (begitu akhirnya aku memanggil namanya). Jam sembilan pagi dia sudah tak berada di kasurnya. Ini sudah berselang satu minggu dari sejak pertama kali aku mengetahui jadwal rutinitas dia. Ah, aku jadi heran sendiri. Bagaimana bisa dia seperti sangat leluasa untuk keluar masuk rumah sakit ini sesukanya? Aku yang baru berhari-hari saja tidak bisa seleluasa dia. Apa yang aneh yah? Atau memang begitu sikap pihak rumah sakit dalam memperlakukan pasiennya yang sudah renta? Ah, itu sepertinya lebih tak masuk akal buatku.

‘Suster, Nenek Lili kemana lagi ya?’ tanyaku ketika suster masuk sambil membawa seperangkat alat suntik. Ah, saat inilah yang paling menyebalkan dari semuanya. Aku benci jarum suntik. Sangat.

‘Oh, nenek Lili kan sedang melakukan rutinitasnya’

‘Iya, saya tau. Tapi, rutinitas macam apa ya, suster?’

‘Waduh, kalo itu, lebih baik mba tanya langsung saja ke beliau. Saya takut lancang kalo memberitahu tanpa seijinnya’

Huh, suster ini juga berkomplot ternyata. Ya Tuhan, aku benar-benar penasaran.

Ngomong-ngomong, sudah lama juga ya aku berada di Rumah Sakit ini. Seminggu lebih. Sebenarnya keadaanku sudah cukup membaik. Trombositku pun sudah semakin meningkat. Hanya saja, dokter belum mengizinkan aku untuk keluar. Karena dia sepertinya dapat membaca gelagatku, gelagat untuk langsung beraktifitas seperti biasa setelah keluar dari Rumah Sakit ini. Padahal jelas-jelas dokter sudah megatakan berkali-kali, aku butuh lebih lama waktu untuk beristirahat. Benar-benar total dan tanpa aktifitas. Dan dia memang tak salah. Aku memang sudah tak tahan untuk segera masuk kantor lagi. Rasanya pekerjaanku pasti sudah menumpuk. Ah stress sendiri aku membayangkan akan sebanyak apa nanti pekerjaanku.

*

‘Tira, kamu kemarin nyari-nyari nenek lagi yah?’ tegur nenek Lili di suatu senja ketika aku baru saja keluar dari toilet dan hendak mengambil novelku.

‘Iya. Nenek kemana sih? Aduh nek, aku dikasih tau dong, nenek kemana sih kalo Jumat pagi-pagi gitu? Aku beneran penasaran lho’ jawabku

‘Hihi, lucu deh kamu. Kenapa juga mesti penasaran sih?’

‘Ya penasaran ya penasaran, nek. Memang harus ada alasannya ya untuk penasaran? Hehe’

‘Ah, kamu ini. Ngeles aja’

Lalu kami tersenyum bersamaan. Selang beberapa menit, aku kembali menanyakan hal yang sama.

‘Jadi, nenek kemana?’

‘Ya Tuhan, kepala kamu itu terbuat dari apa sih? Kok ga kapok-kapok nanya’ jawabnya sambil tersenyum jahil

‘Ih nenek. Aku kan tadi udah bilang, aku penasaran. Makanya nenek cepet jawab dong, biar aku ga nanya-nanya terus. Emang nenek ga bosen aku cerewetin pertanyaan yang sama?’

‘Hmmm, gimana ya? Nanti kalo nenek jawab, ruangan ini jadi sepi deh. Kehilangan si nona tukang bertanya, hihi’

‘Aahh, nenek. Jail banget deh. Ayo doooong, nek’

‘Gimana kalo nenek jawab langsung aja? Besok jam sembilan kamu sudah harus siap ya! Kita ke tempat rutinitas itu. Mau?’

Dan tanpa ba-bi-bu aku langsung menyetujuinya. Bersiap untuk terbangun tepat waktu di pagi esoknya, ya sepertinya itu akan sedikit merepotkanku. Tapi tak apa lah, demi menjawab rasa penasaran ini.

*

Pukul sembilan pagi, kami sudah menyusuri taman kota. Taman di dalam perumahan ini memang sangat asri. Menyenangkan sepertinya untuk berlama-lama berada disini. Terlebih jika memang aku tinggal di sekitar perumahan elit ini.

Nenek Lili berbelok ke sebuah ruko. Dan disana tertera tulisan SALON CANTIK.

‘Nek?’

‘Iya, Tira. Kenapa?’

‘Ini? Lho? Jadi ini?’

‘Yuk masuk. Nenek mau apa ya hari ini?’

Dan aku terbengong-bengong mengikuti langkah kaki nenek Lili ketika dia memasuki salon tersebut. Ya Tuhan, bagaimana mungkin tempat itu adalah sebuah salon?

*

Aku masih berdiam diri selama beberapa waktu. Selang beberapa jam, kami sudah berada di dalam ruang rawat kembali. Dan aku masih tak habis pikir, bagaimana mungkin tempat itu adalah sebuah salon? Haruskah aku menanyakan hal itu lagi pada nenek? Atau menunggunya menjelaskan hal tersebut?

‘Tira, kok daritadi kamu diam saja?’ tegur Nenek Lili saat suster mengantarkan makan siang kami

‘Ah, gapapa kok, nek’ jawabku berbohong

‘Yakin gapapa? Kamu kan biasanya cerewet. Apa juga diobrolin’ seru nenek sambil tersenyum

Aku hanya balik tersenyum sambil tak tahu mau berkata apa. Kecewakah aku akan terjawabnya rasa penasaran itu? Atau aku hanya tak berpuas diri akan kenyataan tempat itu yang nyatanya memang tidak sesuai dengan bayanganku?

Kami berdua makan siang dalam diam. Hanya sebuah siaran berita di siang hari yang menemani. Hari ini nenek Lili terlihat tak seperti biasanya. Bukan wajah penuh senyum yang aku maksud, ini lebih ke staminanya yang terlihat semakin berkurang. Dari hari ke hari dia terlihat melemah. Dan para suster pun terlihat lebih sering mengunjunginya. Ada apakah gerangan dengan keadaan kesehatan nenek Lili?

*

Beberapa hari berselang dari terjawabnya rasa penasaranku, aku mendapati nenek Lili tergeletak lemah tak berdaya di kasurnya. Ini sangat berbeda dengan keadaanku. Aku yang makin hari makin membaik tentu prihatin dengan keadaan beliau. Sakit apakah dia?

Suster memberitahuku untuk tak banyak mengajaknya bicara. Ya, bahkan untuk bicara saja dia terlihat tak berdaya. Miris sekali hati ini melihat keadaan fisiknya. Jauh sekali berbeda dengan keadaan satu minggu yang lalu. Dia masih mampu berjalan-jalan, masih mampu bersuara dengan volume keras, masih mampu melakukan rutinitas itu. Ah, nenek, dirimu mengapa jatuh secepat ini? Bukankah kita berjanji untuk keluar dari Rumah Sakit ini bersama-sama?

‘Tira? Sedang tak tertidur kan?’ sebuah kalimat meluncur tiba-tiba dari Nenek Liliana. Hari sedang hujan lebat saat itu. Dan aku sedang asik menatap kelluar jendela, memandang hujan yang tak kunjung berhenti.

‘Ya nek. Aku lagi ga tidur kok. Kenapa, Nek?’ jawabku bergegas menghampiri kasurnya

‘Tidak apa-apa. Hanya ingin mengobrol saja. Kamu sedang ga baca novel mu kan? Takut nenek mengganggu’

‘Ah, nenek, jangan sungkan begitu. Aku ga lagi baca novel kok. Tadi itu aku lagi liat hujan, hehe. Aku kan suka hujan, nek. Damai kayanya kalo menatap tanah disaat hujan mengguyur’ jawabku sambil duduk di samping kasur Nenek Lili

Nenek hanya tersenyum. Senyum yang tidak dipaksakan memang, hanya saja itu terlihat sedikit sulit untuknya.

‘Tira, kamu suka salon kan?’ serunya selang beberapa menit sejak beliau tersenyum tadi

‘Iya dong, nek. Suka banget. Kan enak bisa memanjakan diri, hehe. Lagian, emang ada ya cewe yang ga suka salon?’ jawabku jujur

‘Seharusnya sih ga ada yah. Tapi pada kenyataannya, masih ada kan wanita yang ga suka ke salon’

‘Iya juga sih, Nek. Tapi emang kenapa nenek nanya begitu sama aku?’

‘Soalnya kamu terlihat ga suka sejak hari itu. Pas nenek ajak kamu ke salon. Nenek ga salah kan kalo nebak kamu ga suka salon?’

Aku terhenyak. Ya Tuhan, ternyata nenek menyadari hal itu. Aku jadi tak enak hati. Aku berpikir keras sekali saat itu, apa yang harus aku katakan pada nenek ya? Rasanya tak etis jika aku terlalu jujur dan mengatakan bahwa aku bukannya tidak menyukai salon. Aku hanya kecewa. Itu saja.

‘Tuh kan, kamu diam saja’ seru Nenek lagi

‘Ah, ga kok nek. Itu mah perasaan nenek aja. Aku gapapa kok’ jawabku, lagi-lagi aku mencoba berbohong

‘Jangan berbohong, Tira. Biar bagaimanapun, kamu sangat tidak cocok untuk berbohong. Dan sejujurnya, tak ada satu manusiapun yang cocok dengan kebohongan’ tiba-tiba kalimat itu terdengar begitu serius dan berhati-hati. Aku tertegun namun tetap menyimak apa yang akan Nenek Lili ucapkan selanjutnya.

‘Nenek tau, kamu sepertinya bukan tak menyukai salon. Kamu hanya kecewa atas jawaban rasa penasaran kamu tempo hari. Benar begitu kan?’

Aku mengangguk. Tak lebih. Entah apa yang harus aku ucapkan saat itu. Tak terpikirkan sepatah kata pun.

‘Kamu punya seseorang yang kamu sayang dengan sepenuh hati? Atau kamu pernah menyayangi seseorang sepenuh hati kamu?’

Lagi-lagi, aku menggangguk.

‘Dan bagaimana rasanya?’

Aku terdiam. Sungguh itu bukan pertanyaan yang akan dengan mudah aku jawab.

‘Ada yang bilang, dicintai dan mencintai seseorang dengan tulus dan sepenuh hati itu seperti merasakan sinar matahari dari kedua sisi, bukan hanya dari satu sisi saja. Kamu mengerti apa maksud kata-kata itu?’

Aku menganggguk. Sampai kapan setiap kalimat Nenek Lili hanya mampu aku jawab dengan anggukan kepala? Ah, mengapa jadi serba sulit begini berkomunikasi dengan beliau?

‘Nenek sudah merasakan sinar matahari itu, dari kedua sisinya. Dan itu sangat membahagiakan. Tapi, dia sudah tiada. Toni sudah pergi meninggalkan dunia ini tepat di usia pernikahanan kami yang ke tigapuluh’

Nenek terdiam beberapa menit. Terdiam dan menatap ke arah jendela. Hujan masih mengguyur di luar. Dan aku pun terbawa suasana saat itu.

‘Kalo kamu bertanya, kenapa salon? Kenapa Jumat? Itu karena, Toni bilang, dia menyukai wangi rambut nenek yang abis di creambath. Cream kiwi. Wanginya memang segar kan, Tira?’ jelas nenek sambil tertawa kecil

‘Iya nek, yang kiwi memang enak. Aku juga suka cream kiwi. Lebih mirip wangi permen karet deh, ya kan nek?’ jawabku sambil juga tertawa kecil. Aku mencoba mencairkan suasana yang terlanjur menjadi terlalu serius sejak awal pembicaraan kami.

‘Iya, kamu benar. Nenek juga heran, kenapa Toni bisa sesuka itu dengan wangi rambut kiwi. Sampai setiap Jumat, jadwal biasa nenek creambath, dia selalu menyempatkan diri menjemput nenek ke salon di jam makan siang. Tepat di waktu dia selesai melaksanakan ibadah sholat Jumat’ suara nenek Lili tiba-tiba saja menjadi lebih pelan

Kami lagi-lagi terdiam selama beberapa menit.

‘Kematian itu hanya mengakhiri hidup, Tira. Bukan suatu ikatan atau suatu hubungan, terlebih cinta. Dan itulah yang nenek rasakan sampai detik ini nenek hidup. Toni masih disini, dia masih hidup di hati nenek. Sampai kapanpun’ nenek Lili memegang dadanya saat mengucapkan kalimat ini. Lalu setelah itu, dia tertidur pulas. Sambil tersenyum. Dan aku kembali ke kasurku. Masih menatap ke luar melalui jendela kamar Rumah Sakit.

*

Nenek Lili meninggal keesokan harinya. Tepat di hari Jumat, di jam makan siang, sekitar pukul 13. Aku sedikit kaget dengan kepergiannya, namun tak ada yang bisa aku katakan mengenai hal itu. Keadaan Nenek Lili memang melemah dengan drastis. Dan sejak pembicaraan kami yang serius sehari sebelum Nenek Lili meninggal, aku merasakan ada yang berbeda dari setiap kata yang dia ucapkan. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Sebuah pelajaran hidup sepertinya.

Dan ya, beliau berhasil. Semua yang dia katakan sangat mengena. Semua yang dia katakan memang benar. Kematian tidak mengakhiri suatu hubungan apalagi sebuah cinta. Kematian hanya mengakhiri hidup.

Aku mengaguminya. Dengan semua hal yang sempat dia tunjukkan dan ajarkan padaku. Semangat hidup, ketulusan mencintai, dan semua hal baik yang aku lalui selama beberapa hari aku menghabiskan hari-hari bersamanya.

Terimakasih, Nek. Terimakasih untuk semuanya. Cintamu masih disini. Tentu saja. Kan kematian hanya mengakhiri hidup. Begitu kan katamu?

-THE END-

Advertisement